Pages

Sabtu, 31 Desember 2016

Burung Bangau Sarmin

Namanya Sarmin.
Ia sudah resmi menjadi orang gila di kampung daun sejak 2005. Sarmin, yang dulu dikenal sebagai pemuda tampan semi berandalan, sekarang hilir mudik dari kidul ke kaler kampung sembari bermonolog ria sepanjang jalan, diselingi oleh cengir yang kadang berubah menjadi tawa terbahak-bahak, atau cekikikan, yang mana dirasa pas dengan suasana hatinya saja. Warga kampung daun sudah mafhum dengan Sarmin, meski kadang ia berkeliling kampung dengan hanya bercelana tanpa baju, sering juga kebalikannya. Meski begitu, Sarmin adalah orang gila yang santun. Selalu salim kepada yang lebih tua dan  menyapa ramah mereka yang lebih muda, tetap sambil bermonolog tentunya. Sudah seperti itulah Sarmin sejak ia masih waras pun. Sarmin disayangi warga kampung. Makanya, walau gila, Sarmin tidak kurang makanan dan pakaian, apalagi kurang hiburan. Sarmin, dalam beberapa hal, malah lebih kaya dari pada sarjana muda yang pengangguran. Yang miskin hanyalah jalan nalarnya saja.

Sarmin tiap hari selalu tampil berbeda. Baik rute perjalanan, baju atau celana yang ia kenakan, tema monolog, atau pun tinggi rendah nada cekikikannya. Tapi ada satu yang tidak berubah dari Sarmin. Ia selalu terlihat memegang beberapa carik kertas yang telah dicabik membentuk persegi sama sisi. Kertas-kertas yang berasal dari koran bekas, ataupun sisa-sisa selebaran kampanye yang terbuang, sepertinya telah dipungut oleh Sarmin saban hari. Petang hingga malam, Sarmin akan terlihat duduk anteng di sudut-sudut desa, melipat-lipat kertas bekas tadi menjadi seekor burung kecil. Burung bangau, dengan ekor yang lurus dan sayap yang terbentang.

Tentu saja para warga pusing, ibu-ibu bergosip, bapak-bapak berteori, dan anak-anak bernyanyi mengejek. Ibu-ibu bilang, Sarmin sebenarnya pura-pura gila, cuma akting agar dapat makan dan baju gratis tiap hari. Bapak-bapak berteori, Sarmin gila karena ngelmu, dan burung bangau kertas itu adalah bentuk sesembahan, syarat, sajen, tetek bengek dunia ilmu hitam. Dan anak-anak tetap berlarian dalam tawa sambil bernyanyi "burung Sarmin gila, gila burung Sarmin, kalau tidak gila, bukan burung Sarmin".

Sarmin memang gila, itu otentik. Semua dokter dan dukun dalam radius 100 km dari kampung daun telah sepakat dalam hal ini. Dan Sarmin tidak ngelmu apapun, selain sebatas ilmu sosial sampai SMA kelas 2. Dan masalah burung Sarmin, tentu saja burungnya gila, karena kalau bukan, ya pasti bukan burung Sarmin.  
Kertas-kertas yang telah dilipatnya dikumpulkan di dalam kantong plastik besar berwarna hitam yang telah cabik sana dan sini, bersatu dengan makanan, baju, dan sampah. Itulah harta Sarmin di dunia ini. Meski alasan Sarmin menekuni seni origami itu masih menjadi misteri, toh Sarmin tetap warga kampung daun. Ia tetap memberi warna kepada suasana kampung yang semakin moderen itu. 

Entah siapa yang memulai, kelakuan Sarmin mulai direkam untuk di sebarkan di dunia maya, viral, kalau istilah zaman sekarang. Tujuannya tak lain untuk menambah viewer sang penyebar, berharap nebeng terkenal dari keanehan Sarmin. Sarmin, sang orang gila berhobi itupun mendapat perhatian khalayak dari luar kampung. Foto-foto dan video di internet, sebuah artikel di koran, bahkan sebuah liputan untuk pojok hiburan dari sebuah stasiun tv lokal pun pernah memuat gambar dan video sarmin dengan burungnya. Burung bangau kertas.

Semenjak itu banyak yang menghampiri Sarmin, rata-rata adalah orang dari luar kampung untuk melihat sendiri bagaimana Sarmin burung beraksi menjalani hobi. Ya, Sarmin burung adalah nama baru untuknya. Wajah-wajah yang tak dikenal membuat Sarmin takut. Ia sering berteriak tidak seramah biasanya kepada wajah-wajah baru itu. Sekali waktu, Sarmin melempar seorang fansnya dengan seekor bangau yang baru selesai dibuatnya, lalu berlari pergi sambil bermonolog setengah berteriak. Yang dilempar malah girang, menjadikan burung Sarimin sebagai azimat yang pasti mandraguna.

Seminggu setelah burung Sarmin menjadi trending topic, Sarmin hilang. Ia tak lagi terlihat hilir mudik di jalanan kampung. Monolognya tak lagi terdengar di depan warung-warung. Burungnya tak lagi terlihat menggantung, juga bangaunya. Para warga perlahan merasa kehilangan. Ada yang kurang dari jalannya hari di kampung daun tanpa kehadiran Sarimin. Seorang demi seorang mulai mencari Sarimin, hingga rombongan pencari menjadi kian besar dibawah pimpinan Pangkalan Komando Strategis Pertahanan Sipil, dengan legalisasi dari Surat Perintah Sekarmadji Mardjan, sang kuwu kampung daun. Anehnya, tak seorang pun fans Sarmin yang menjadi anggota search and rescue Sarmin burung.
Akhirnya, pada suatu hari yang biasa*, Sarmin ditemukan telah membuntang di kolong jembatan perbatasan desa dengan posisi terlentang berbantalkan kresek hitam harta berharganya, dengan tangan yang menggenggam seekor bangau yang belum selesai terlipat. 

Di antara bau busuk mayat dan bau busuk Sarmin yang memang kurang disiplin menjaga kebersihan badan, warga menemukan sebuah dompet kulit usang yang tipis dan jelek. Di dalamnya tak ada apa-apa selain terselip selembar foto seorang gadis ayu, dan secarik sobekan koran lama berisi sebuah tajuk hiburan edisi minggu yang berjudul: Cara Mudah Menjadi Bahagia dengan Seni Lipat Origami
Burung bangau berdesakkan di dalam kantong plastik hitam milik Sarmin.
Sekarang warga kampung tahu alasan burung bangau Sarmin.
Sarmin mati dalam senyum.


JTR, 31 Des '16
*Soe Hok Gie – Catatan Seorang Demonstran, 1983

Rabu, 21 Desember 2016

22 Desember

Gelap mulai merambat setiap sudut Jakarta. Dari dalam sebuah bus yang tengah melaju di riuhnya tol dalam kota, terlihat lansekap yang mungkin terasa indah bagi sebagian orang: gedung-gedung tinggi dengan kerlip warna-warni cahaya lampu berlatar langit yang mulai mengelam.
Jalanan mulai macet, kaum pekerja Jakarta ramai berlalu lalang di pinggiran jalan, para penjaja makanan kaki lima, kendaran roda empat maupun dua yang seperti sedang berlomba siapa yang paling cepat bisa sampai ke rumah, semua terpantau dari jendela bus yang terjebak di tengah-tengah semua itu. 


Bus ini menuju Bandung, kota dingin nan ramah, jauh lebih lembut dari Ibukota. Ketika semua penumpang yang lain seakan terpaku pada pohon-pohon beton Jakarta, terdapat seseorang penumpang yang sedari tadi selalu terpaku ke satu titik yang sama: seorang ibu muda kepada anaknya. Lihatlah bagaimana cara-cara yang ia lakukan untuk menenangkan tangis si bayi kecil. Si bayi yang nampaknya sedang tidak sehat, menangis sejadi-jadinya. Lalu berhasil ditenangkan, untuk kembali menangis kencang setelahnya. 

Betapa sang ibu harus menahan malu, perasaan bersalah kepada penumpang lain, dan menahan emosi yang sekali-sekali tidak tertahankan untuk terbit. Tapi lihatlah betapa kuat ia menahan semua itu. Betapa rajinnya ia memasang muka-muka lucu dan menyanyikan lagu-lagu. Memutar otak demi mencari cara-cara baru untuk menahan tangis sang buah hati, atau memunculkan anugerah: sang bayi akan tertawa. 


Semua orang punya pengorbanannya masing-masing. Tentara kepada negara. Guru kepada muridnya. Dokter-dokter di pedalaman kepada sumpahnya. Tapi bayangkanlah bila profesi-profesi tersebut diemban oleh seorang ibu, seperti sang ibu muda di dalam bus itu. Maka alangkah kecilnya kita yang selalu mengeluh kepada beratnya pekerjaan kita hari ini, kurangnya uang untuk jalan-jalan nanti, sedihnya belum mendapat kenaikan gaji. 
Tenggelam dalam semua keluhan-keluhan itu kita lalu pulang dengan kelelahan. Setelah pulang, makan, dan mandi yang kian tak bisa melepaskan semua rasa lelah. Tapi kita tahu ada seseorang yang suaranya bisa membuat semua menjdi cerah. 
Sebuah nama di daftar kontak telpon yang rasa-rasanya telah lama terlupakan, terpinggirkan oleh ratusan chat kantor dan obrolan grup. 
Sebuah nama yang telah tertanam di benak sejak jabang: Ibu

Jumat, 16 Desember 2016

Sore yang Biasa di Bulan Agustus

Sore yang biasa di bulan Agustus.
Observatorium terasa dingin setelah basah oleh hujan kemarau yang ramai rintiknya tapi tiada deras. Tapi segala mendung telah disapu angin khas kemarau, dan langit kembali di bakar rona jingga bercorak terang. Bima melangkah diantara kilauan hijau rumput halaman yang basah, melalui jalan dari batu-batu pipih yang telah disusun menjadi penjejakan setapak mengarah ke pintu utama observatorium. Gemerincing kunci ditarik dari cantolannya di pinggang, dipilih satu kunci yang paling tua penampakkannya. Pintu terbuka dan suatu aroma tua yang akrab menyeruak masuk ke rongga hidung Bima. Sebuah aroma cengkeh, kopi, dan petualangan. 

Setelah di tariknya tiga buah tuas di pinggir ruangan, maka teranglah seluruh gedung kubah yang telah berumur itu. Waktu bumi telah menunjukkan pukul lima sore, dan sudah waktunya lampu-lampu taman dihidupkan pula. Diantara seluruh kewajibannya, Bima paling berar untuk menghidupkan lampu-lampu untuk menerangi taman, jalan, dan seluruh kawasan eksternal observatorium. Menurutnya, itu suatu perbuatan dosa, dimana membiarkan sebuah cahaya asing mengganggu pendar cahaya-cahaya langit yang sejak purba telah menerangi bumi sesuai kodratnya kala malam turun untuk: bintang-bintang.

Hari ini sungguh hari yang biasa. Bukan hari-hari yang ramai nan sibuk meski bulan kemarau tengah berlangsung dan jadwal observasi malam telah dibuka. Hari ini belum nampak rombongan anak-anak sd yang riuh, atau muda-mudi sma yang serba sok tau, atau mereka yang sekedar ingin merasakan keromantisan gedung tua berteropong raksasa, yang pasti sangat yahud bila difoto untuk media maya. Di hari biasa ataupun tidak, tugas Bima tetaplah sama saban sore: menyalakan lampu-lampu, membersihkan ruangan-ruangan, memeriksa secara sederhana keadaan teropong kecil (teropong utama bukanlah bagian Bima), lalu bersiaga di meja kecil yang tersudut bertuliskan "informasi" di atasnya. Di antara kegiatannya itu, obrolan antar manusia hanya sesekali terjadi, yaitu antara Bima dan mas Iwa yang bertugas di ruang teropong utama, atau dengan Udin penguasa dapur dan petugas serba bisa. Sedang dengan para punggawa antariksa, Bima hanya sesekali bertukar sapa dengan ramah, karena mereka selalu terlihat sibuk dalam segala sesuatu urusan. Sisanya, sepanjang sore hingga waktunya pulang Bima lebih sering mendengar  playlist lagu yang mengalir dari headset biru minimalisnya. Playlist lagu adalah penentu tempo langkahnya. Musik memberi bentuk pada hari-harinya. Maka, playlist Bima adalah sesuatu yang selalu baru, beriringan dengan barunya hari yang tiba. 

Hari ini tema playlist bima adalah smooth acoustic. Jam besar di dinding aula menunjukkan pukul 17.30. Bima meletakkan sapunya meski sisa debu belum sempurna hilang dari peradaban aula. Ia menuju ke pintu tempat ia masuk tadi. Dari sana, di depan pintu, terlihat hiruk yang tidak terlalu riuh yang terjadi di desa-kota di bawah sana, berlatar semburat jingga pada senja bulan Agustus yang mebuncah ria seperti menari, kala suasana di atas sini masih basah dan dingin bakda hujan pada pangkal sore tadi. Semua terasa begitu kontras sekaligus begitu padu. Bima menikmati semua itu dengan perlahan menutup mata dan menarik nafas dalam perlahan. Dalam sepersiekian detik pada tiap tarikan nafasnya itu ia bersyukur dipertemukan oleh observatorium tua di atas bukit hijau nan dingin ini.

Bima perlahan membuka matanya. Langit masih jingga, tetapi di ujung jalan sana, berlatar langit senja dan dipayung kanopi pendar lampu-lampu jalan, Bima melihat siluet seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Ah bukan, ke arah observatorium ini. Pandangannya terpaku pada sosok itu, mencoba mencari-cari apa saja yang dapat di jadikan identitas. Semakin dekat, ia tahu bahwa sosok itu ialah seorang gadis. Makin dekat, ia juga tahu bahwa gadis itu seorang yang jelita. 

Gadis yang dari ujung jalan sana berjalan menunduk, sekarang mengangkat kepalanya, ia berjarak sekitar 10 meter dari Bima. Sembari menunjukkan ekspresi kaget yang ceria, lalu menyapu keningnya dari bulir-bukir keringat dengan lengan jaketnya, ia terus berjalan kearah bima.
"Haaaah, sampe jugaaaa, jauh... juga... ya bang... dari bawah..", seru sang gadis dengan nafas yang memburu.
Aroma vanilla yang manis menggantikan aroma tua yg tadi bersarang di hidung Bima
"Capek mbak?", Bima menyambut sang gadis dengan senyum yang sama sekali tidak bisa ia kendalikan sembari melepas sebelah headset-nya dari kuping sebelah kanan. Yang kiri ia biarkan tetap menggantung.
"Mayan bang, ini jadi kurusan deh kayaknya" katanya sembari mencubit pipinya
Aih lucu, pikir Bima yang sekali lagi tidak ia sengajakan. Benar-benar gestur yang lucu, pikirnya, dan senyum tak beranjak dari bibir Bima.
"Mau liat bintang mbak? Atau foto-foto doang?"

"Mau liat bintang dong bang, kalo foto doang udah luntur make up saya saya keringat"

"Udah reservasi?" 

"Hah, harus reservasi ya bang? Yah gimana dong saya ga tau bang. Tadi pas nyampe langsung kesini, ga tau juga kalo kudu reservasi", katanya dengan nada yg memelas tanpa dibuat-buat.
Bima melihat kebelakang, ke arah observatorium. Hari ini hari yang biasa. Tidak ramai, dan belum tampak pengunjung lain mendatangi gedung berteropong itu.
"Oke, saya bisa bantu mbak, tapi syaratnya mbak harus bener-bener liat bintang, kurangin foto-foto, dan panduan saya di dalam ya"

"Serius bang? Siap! Saya kesini beneran mau nge-date sama bintang kok bang. Bang makasih banyak ya bang", katanya sembari meraih tangan Bima untuk bersalaman lalu menempelkan ke keningnya.
Bima kaget, yang dalam beberapa milidetik kagetnya terkonversi menjadi tawa yang sedikit menyimpan malu meski tetap dibalut senyum senang. 

"Sekarang mbak reservasi dulu dari hp nya, nanti biar saya langsung verifikasi. Di dalam aja gimana mbak, udah mau maghrib". Kata-kata Bima disambut anggukan berkali-kali sang gadis dengan senyum yang mengembang. Aih lucu, pikir Bima sekali lagi.

Bima melangkah menuju pintu tua aula utama. Di belakangnya, sang gadis mengikuti sambil berceloteh girang tentang betapa ia dilimpahi keberuntungan hari ini. Bima pun berpikir begitu, betapa ia tiba-tiba merasa beruntung hari ini, dan senyum di bibirnya terus merekah. Di telinga kiri nya terdengar melodi awal Bloom milik The Paper Kites. Pintu besi tebal aula utama bergeser dengan suara yang berat, tapi yang terdengar oleh Bima hanyalah melodi indah pada sore yang biasa di bulan agustus.


When the evening pulls the sun down,
And the day is almost through,
Oh, the whole world it is sleeping,
But my world is you


Can i be close to you?



Pantai Panjang 16 Dec '16

Rabu, 14 Desember 2016

Bila Bertemu

Dendam menumpuk lamat-lamat
Sebuah garis hampir dilewat tamat
Sesak amat
Memejam pun hampir tak guna
Bila sepoi telah purna rasa
Cuma ada pekak ngiang nama
Juga cerah wajah nan jelita

Aku marah
Pada hari yang telah terbiasa
yang sajaknya cuma searah
Pada hati yang dera mendera
lagu hujan berpuisi rasa
Pada kedua sudut bibirmu
Pada lembut jari-jemarimu
Kukepalkan jemari, kurapalkan sumpah
Bila bertemu, kutinju itu rindu

1 des 16

Selasa, 29 November 2016

Sewarna

Bila iseng kucoba melukis
Dengan sapuan mata kujelajahi sekitar pandang
Kutangkap, kupotong, lalu kugambar ulang
Dengan kuas pena atau malah sejoli ibujari
Kata-kata bagiku ialah spektrum warna
Warna yang baik adalah rima
Kupilih sebaik-baiknya diksi demi estetika idealis picisan: Realis, romantisis, sosialis, persetankan makna
Kadang hanya lukisan tanpa tema
Mungkin lukisan kita berbeda
Meski dunianya tetap sewarna

12 nov 16

Rabu, 23 November 2016

Kepada Hutan yang Kurindu

Kepada hutan yang dirindu
Hai teduh, apa kabarmu?
Semalam mimpiku berisi dirimu
Sungguh terasa nyata hingga-hingga
Kata Ibu, kaki tanganku turut meraga
Hei teduh, masihkah kau teduh?
Mesrakah hijaumu masih padaku?
Aku impikan dinginnya sungai
Dingin kaki di riak celupan
Lalu ada daun lewat sangat santai
Kuambil saja jadikan kapal-kapalan
Di pucuk dahan ada kenari tertawa
Di bawahnya ayam cemanik berceloteh
Aku jadi ngantuk, tidurlah di tenda
Tenda rindang tempat aku mengoceh
Lalu lucu, ada ibu di dalamnya!
Ibu bilang: "pulanglah nak, hampir turun malam"
Malam yang kelam hitam legam
"Tapi di langit berbintang toh bu?"
"Ya, tapi kau bukan milik hutan
Kau milikku "
"Haruskah aku pulang, bu?"

Kepada hutan yang dirindu,
Tunggulah aku menemui
Sebentar lagi, tak lama lagi
Aku kangen malam dalam alam
Tunggu ibu sudah tidur dulu
Ssst, pintu depan tiada dikunci!

Bubat, 23 Nov '16

Sabtu, 12 November 2016

Gradasi senja

Siapa yang menyangka
Ada ungu dalam semburat senja?
Spektrum yang terbaca dengan bahagia
Di antara siluet beberapa cemara dan batang randu
Di jauh kepak beburung membayang beradu
Setelahnya hadirlah gradasi merah yang menyenangkan
Marun? Muda? Entahlah
Membias oranye sedikit saja nun di bawah
Menjadi latar dari berbagai tetek-bengek urusan hati
Happy reading, sebutmu untukku
Dalam sebuah potongan senja yang kau tangkap dan bingkai dalam sebuah pembatas buku
Senjaku selamanya membias ungu
Bukuku selamanya berbatas senjamu


Bubat, 12 Nov '16

Selasa, 25 Oktober 2016

Hujan tiada deras, kecil-kecil saja gerimisnya. Hanya sang hujan tidak berhenti menghujam bumi sejak pagi, menyipratkan bercak-bercak tanah pada kaki-kaki yang berlalu lalang di bawah siramannya. Pada pandanganku, sang geulis berselimut kabut putih yang tipis. Rimbunnya masih samar menghijau, dan herannya, ia terlihat hangat dalam semua kedinginan ini. 

Bukan, bukan aku akan mengeluh. Bukan aku mengharapkan hujan berhenti diantara semua tetesan dari daun jambu. Biarlah saja hujan ini awet dan mengawetkan, dunia dan para khalayak gulma sekalian. Tapi begini: mengapa tuan bawa-bawa semua balatentara rundung pada hati? Mempertanyakan lagi semua yang harusnya sudah pasti? 

Hamba tak ingin menjadi seseorang tanpa tulang belakang, yang meliak-liuk dan senantiasa merubah arah perjalanan. Hamba ingin menjadi sesuatu yang pasti, memegang janji-janji: bahwa apa yang telah aku pastikan takkan kuhilangkan keyakinan. Aku telah yakin kepada semua segala, maka enyah kau ragu! Biar saja cemburu-cemburu itu! Ini kugenggam tanah basah dan kuratakan ke seluruh muka, biar ia menunjukkan wajah masa depan yang sesunggunya. Inilah resiko hidup, ia yang tak berani mati oleh pilihannya sendiri maka tak berhak mati sama sekali. Aku harap aku adalah hamba yang diberkahi oleh mantra itu. 

Baiklah hujan, sila kau tak berhenti. Kurasa aku tak kedinginan lagi, karena dunia kini berpihak pada hamba dengan memancarkan cahaya matahari pada hati hamba pribadi. Dan itu aku syukuri, bahkan di tengah gelap mendung yang tak berkesudahan ini.

Baiklah hujan, telah kau dengar celotehanku sore ini, terimakasih aku haturkan padamu, pada warna-warni payung terkembang di bumi dan pada geulis yang tidur berkelimbung selimut putihnya. 

Nuhun ah.



PP, 25 Okt '16

Selasa, 04 Oktober 2016

Hujan di Mimpi


Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari



Hujan semakin deras meski tidak terlalu ganas seperti badai pada bulan-bulan kemarau. Derasnya terasa hadir pada setiap titik rintik yang menempel ramai pada kaca depan mobil, kian cepat berganti oleh titik-titik yang baru. Yang lama dengan cepat tersapu ke pinggir oleh sebuah sapuan sepasang wiper kaca. Seperti manusia saja rintik itu, pikirku. Ah, aku mulai merenung kejauhan, padahal mobil masih berjalan di bawah kuasaku.

Langit kota berselimut mendung yang membuat sore ini temaram. Padahal menurut perasaanku siang baru saja beranjak, dan petang masihlah terlalu muda untuk semurung ini. Kutarik tangan kiriku untuk melihat jam tangan yang melekat, tetapi tanganku tertahan oleh sesuatu yang lembut, yang mesra. Tanganmu masih erat menggenggam tanganku. Dan matamu masih rapat memejam pulas. 
Aku sempatkan memperhatikanmu sejenak, yang lalu menghasilkan senyuman tanpa disengaja pada bibirku. Entahlah, mungkin aku merasa nyaman melihat parasmu. Dan melihatmu tidur tenang seperti ini membuatku merasa tenang dan senang, terbuai seperti ketika terbangun dari tidur yang mengistirahatkan raga yang dibalut mimpi-mimpi indah. Aku mengeratkan genggamanku padamu. Persetan dengan waktu, pikirku. Aku tak lagi peduli sekarang jam berapa. 


Aku kembalikan pandanganku ke arah jalan. Cukup berbahaya juga bila fokusku teralihkan lama seperti barusan. Untung saja jalanan sore ini lengang, sepi. Aneh, tak seharusnya jalan J seperti ini kala pukul dan kondisi seperti sekarang. Harusnya mobil berteret dan saling berteriak antar sesamanya dengan klakson yang memekakkan, sedang pengendara motor bakal ngaso di pinggir-pinggir jalan, kalau bukan di bawah beton jalan layang. 


Tapi tidak kali ini. Jalan J sepi. Benar-benar sepi. Yang ada hanya suara deras hujan yang turun. Ke aspal, ke pohon, ke tiang-tiang lampu yang mulai benderang, dan ke kaca mobil, dimana di kaca mobil, mereka, rintik-rintik itu, terlihat saling berlomba antar sesamanya dalam bulir yang bergulir. 
Tak seharusnya J sesepi ini.

Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah

Di luar mesti dingin. Ranting saja bergoyang, apalagi tungkai manusia. Tapi tidak di dalam mobil meski pendingin tetap kunyalakan demi menghindari kaca depan yang berkabut. Darimana asal hangat ini? Dari kehadiranmu? Dari genggamanmu yang lembut tetapi erat itu? Dari dengkur halusmu yang menenangkan itu? Dari segenap rasa-rasa yang beredar diantara kita yang dengan magis terkonversi menjadi kalor yang menghangatkan? Ya. Aku yakin pasti karena hal-hal itu. Pasti karena kau.



Aku ingin memandangmu lebih lama. Maka kuputuskan menepikan mobil setelah melewati simpang lampu merah. Di pinggir jalan, aku memandangmu yang masih sabar mengatur ritme nafasmu dalam tidur. Aku memandang semua sisi-sisi wajahmu, garis hidungmu, tempat akhir deretan alismu, simetri matamu, merah pipimu, dan segi-segi bibirmu. Aku memandangmu lekat, dan hangat. 

"Magis", kataku sembari mengelus pipimu. Kembali terbit sebuah senyum. Hah. Baiklah, mungkin saatnya kita lanjutkan perjalanan. Sebuah keharusan untuk mengecup punggung tanganmu sebelum pedal gas kembali aku tekan.


Jalanan masih sunyi tanpa lalu-lalang. Dan kau masih pulas dalam tidur yang menenangkan. Apakah kau lelah? Aku yakin kau kelelahan. Mimpi-mimpi telah melelahkan kita semua. Hujan masih deras meski tidak mengganas, mengguyur dingin pada apapun benda yang ada diluar sana, tapi tidak di dalam sini. Aku sampai pada suatu titik dimana aku percaya: aku dalam mimpi. 

Lalu pedal gas kuinjak perlahan, menuju suatu tempat yang entah apa dan dimana.
Aku menunggu saat-saat aku dibangunkan.


Semesta bergulir tak kenal aral
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti genangan akankah bertahan
Ataau perlahan menjadi lautan



Utara, 4 Okt '16
*Judul dan lirik dari Banda Neira - Hujan di Mimpi

Sabtu, 17 September 2016

Carpe Diem

Ingatan kadang menjelma pisau bermata dua.
Seperti saat-saat hujan turun dengan derasnya, dan debu menggema dengan kerasnya, ingatan memunculkan senyum di muka juga sesak di dada. Kala kusingkap hikayat lama tentang semua gila saat hari diraja matahari maupun bulan. Carpe Diem.

Kita hidup di tengah umur yang bergejolak emosinya. Dan entah, nanti, bagaimana? Kita masihkah sama? Ketika semua berubah, luar dan dalam, untuk menjadi debu pun, sampaikah?

Guguran Derai-Derai Cemara

Bagiku, sajak-sajak Chairil tidak untuk dibacakan di depan khalayak. 

Bagiku, sajak-sajak Chairil hanya layak untuk dibacakan sendiri, dengan nada yang sunyi, menuding cermin jika perlu.
Karena bagiku sajak-sajak Chairil adalah obrolan dengan diri sendiri, yang bergulat antara rasa demi rasa, dengan ganas, dengan marah, kadang lembut, seringkali jujur, dan tentu egois, tanpa menyisakan pihak menang ataupun kalah. Ia tahu, kita pada akhirnya selalu tampil sebagai pihak yang kalah, karena hidup itu sendiri hanyalah menunda kekalahan.

Dan Derai-Derai Cemara dengan semua lirih di dalamnya adalah salah satu sajak Chairil yang senantiasa aku ulang-ulang. Aku sadar, aku mengulang sajak yang meredupkan. 


Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam


Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini


Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


1949

Jumat, 16 September 2016

Good Morning. Good Morning Indeed

Aku suka pagi ini. Bosankah kau bila aku mengatakan itu? Ah, bagaimana bisa. Sedang selama ini aku hanya berkata barang satu atau dua kali, sisanya kukatakan dalam hati. Tapi bukankah kau tahu, aku selalu suka kala pagi hangat membiru seperti sekarang ini?

Aku suka bagaimana kau menyapa di kala dingin masih menyelimuti tungkai kaki, lalu kita memulai hari. 
Aku suka bagaimana percakapan riang mengisi gelas kopi, seriang uap panas yang berputar menari di atasnya.
Aku suka ketika empat potong roti gandum berisi coklat dan selai nanas yang aku hidangkan diterima dengan senyuman.
Lalu aku juga suka, suasana pasar yang ramai dalam semesta yang berbeda-beda antara tiap-tiap kepala yang bersuara, riuh demi kebahagiaan keluarga-keluarganya nanti.
Aku sangat suka, bagaimana cahaya hangat menerpa kulit, dan membentuk segitiga keemasan di halaman putih pada lembar-lembar buku yang kubaca ketika menunggu.
Akhirnya aku tak tahan untuk juga suka dengan bagaimana aku berani mendekatkan diri kembali dengan pena dan kertas, akrab, dimana kutinggalkan ponsel tempat catatan-catatanku tercolok listrik di rumah demi kedamaian pada masa-masa silam.
Aku suka pagi, terlebih pagi ini, meski ia akan segera berganti. Putaran nasib yang tak terelakkan memang kadang melelahkan.
Tapi bosankah kau bila kukatakan lagi, jika aku suka keindahan?
Dan kau, menurutku: indah.


Curup, 17 Sept '16

Selasa, 06 September 2016

Gotong-Royong dalam Budaya Maritim Indonesia


   Banyak hal yang dapat kita akui sebagai identitas bangsa Indonesia, yang merupakan nilai luhur warisan pendahulu bangsa yang terus kita coba pertahankan sebagai niat baik untuk mempertahankan bangsa yang baik. Salah satu yang paling membumi adalah gotong-royong. Tentu, bagi seluruh masyarakat Indonesia, kata gotong-royong telah sangat akrab di telinga masing-masing pribadi seperti mendengar nama sendiri. Pancasila sebagai dasar negara pun disusun dengan semangat gotong-royong yang sangat tinggi di dalam butir-butirnya, seperti yang dikatakan Presiden Sukarno:
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!” (Sukarno, Pidato 1 Juni 1945 di dalam sidang  BPUPKI)

   Budaya luhur lain yang dapat dengan bangga kita katakan sebagai identitas bangsa Indonesia adalah budaya maritim. Keluhuran budaya maritim telah menjadikan kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan berjaya bahkan hingga ke wilayah seberang samudera, seperti kejayaan maritim Sriwijaya yang terekam dalam relief di candi Borobudur, atau kehebatan perahu Pinsi suku Bugis yang melegenda. Budaya maritim telah berhasil menghubungkan wilayah-wilayah yang dahulu tidak pernah bersinggungan hingga menjadi suatu kesatuan yang berjaya karena limpahan isi bumi dan lautnya. Dan sekarang sesuai dengan harapan dan tujuan pemerintahan Presiden Joko Widodo, budaya maritim yang luhur tersebut ingin dihidupkan kembali melalui sebuah gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
   Demi mewujudkan gagasan poros maritim tersebut, hal yang paling utama yang harus dilakukan bersama adalah membangun kembali budaya gotong-royong di dalam budaya maritim Indonesia. Untuk menjadi bangsa yang besar, terutama bangsa maritim yang kuat, masyarakat Indonesia tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, terlebih menggantungkan nasib kepada satu orang atau satu pihak saja. Masyarakat Indonesia telah lama terjebak dalam pola pikir ketokohan, yaitu mendambakan seseorang tokoh yang akan memimpin dan membawa bangsa ini menuju sebuah kejayaan. Pola pikir seperti itu, terlebih jika dihubungkan dengan ramalan-ramalan mistisme, tidak lagi relevan pada masa sekarang. Bangsa Indonesia tidak boleh lagi menggantungkan harapannya pada seorang tokoh dan ketokohan, tetapi setiap individu harus mencoba untuk menjadi tokoh yang memimpin pergerakan menuju sebuah kemajuan. Dan jika nantinya telah muncul kesadaran pada setiap individu untuk menjadi seorang tokoh pergerakan, maka akan muncul sebuah aksi massa yang merupakan suatu bentuk gotong-royong dalam sebuah perjuangan aktif dan masif. Maka dalam konteks budaya maritim, tujuan utama dari aksi massa tersebut adalah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
   Pada era media sosial yang aktif seperti sekarang, pembentukan pola pikir gotong-royong demi mewujudkan aksi massa telah banyak terlihat dalam diri setiap individu pemuda Indonesia sebagai garda utama kemajuan bangsa. Telah banyak pemuda yang menjadi tokoh bagi dirinya sendiri, dan berhasil menciptakan gerakan yang membanggakan. Yang harus dilakukan sekarang adalah berhenti menebarkan konten negatif, keluhan, dan biang permusuhan dalam media sosial, tetapi harus menyebarkan seluas-luasnya pola pikir gotong-royong yang positif dengan memanfaatkan media sosial, sehingga akan muncul generasi baru di mana setiap individunya adalah tokoh pergerakan yang akan mengawal budaya maritim Indonesia untuk kembali menjadi suatu budaya yang luhur, dan impian Indonesia yang berjaya sebagai poros maritim dunia akan segera terwujud.

Kamis, 01 September 2016

Reminder

So you brought out the best of me,
A part of me I've never seen.
You took my soul and wiped it clean.
Our love was made for movie screens.

05.30
Sebagian besar manusia di dunia ini jengkel dengan suara berisik alarm di pagi hari. Tapi tidak dengan dia. Setidaknya tidak hari ini. Dia hanya meraba-raba sebelah bantal kepalanya untuk mencari letak posisi smartphone-nya yang berbunyi nyaring sejak satu menit yang lalu. 
Ia menggenggam ponsel tersebut, lalu matanya yang masih setengah terbuka langsung berbinar kala melihat layar ponsel yang masih menyalak alarm tersebut. Di dalam gelap kamar pagi itu, layar ponsel memancar terang memperlihatkan screen alarm yang meminta dimatikan, dan di atasnya, sebuah reminder yang berbunyi "berjumpa si cantik". Dia tersenyum memandang ponselnya, lalu menggeliat memutar-balikkan pinggang dan sekujur tubuhnya diantara selimut dan guling yang berantakan. Cahaya matahari menembus sela-sela gorden di sisi kiri kamar, bersamaan dengan cerewetnya burung gereja yang mulai terdengar.

07.15
Ia menghadap sebuah cermin besar setinggi dirinya yang hanya ia senderkan  sekenanya saja di dinding kamar. Memasang sabuk ke jeans-nya, mengancingkan kemeja, lalu menepuk-nepuk bagian sisi kemejanya karena mungkin ada sesuatu, atau mungkin merapikan lipatan yang terlihat tidak pada tempatnya. 
Ia mengeringkan kembali rambutnya dengan sebuah handuk kecil, kemudian melapisi sisirannya dengan pomade lalu menyisirnya rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang berjambul. Berturut-turut setelah itu: parfum, jam tangan, merapikan janggut dan jambang, dan merapikan rambut sekali lagi. Semua itu dilakukannya di depan cermin besar setinggi dirinya itu. Setelah puas, ia memandang cerminan dirinya dengan senyum, dan duduk di pinggir tempat tidrnya untuk mengenakan kaus kaki yang segera disusul sepatu. Masih dengan duduk di sana, ia menggapai kunci motor, dompet, dan ponselnya yang tergeletak di tengah-tengah kasur. 
Kembali ia memandang layar ponsel dengan tersenyum. Memandang layar yang menampilkan sebuah reminder: "berjumpa si cantik"

07.30
Coffee maker berbunyi pelan sembari mengucurkan kopi hitam pekat ke dalam mug favoritnya. Sedangkan ia tengah sibuk mengoleskan selai pada permukaan sebuah roti tawar putih tanpa pinggiran. Coffee maker selesai mengucur mengisi mug yang bersebelahan dengan sebuah lemari pendingin. Terdapat sebuah kalender yang ditempel dengan magnet di pintu freezer. Satu tanggal terlihat ditandai dengan tanda hati, berwarna merah. Tanggal itu adalah hari ini. Perlahan terdengar senandung dari dia yang masih mengolesi roti.

08.10
Motornya terparkir di depan sebuah kios bunga sederhana setelah perempatan lampu merah, di samping sebuah pos polisi lalu lintas. Ia tengah memilih bunga-bunga untuk sebuah buket. Beberapa tangkai telah ia peluk seperti menggendong bayi. Terlihat beberapa lili putih di tangannya. Pemilik kios menyapa ramah dan memuji bunga pilihannya, lalu membantu memilihkan beberapa tangkai lagi sebagai pelengkap dan penyeimbang warna. 
"Hari ini ya?", tanya pemilik kios sembari menyusun bebungaan beragam warna.
"Ya, pak. Hari ini.", jawabnya dengan senyuman lebar dan pipi merona merah. Jalanan di depan kios telah hiruk oleh keriuhan pagi di hari yang cerah ini.

08.46
Langkahnya pelan menikmati semilir angin di tanjakan tangga ini. Ia menoleh ke kiri dan kanan, memandangi hamparan rumput dan beberapa bunga kuning kecil yang tumbuh liar di antaranya. Senyumnya tetap lebar, pipinya terus merona. Hatinya berdebar dan matahari seakan mengetahui hal-hal tersebut hingga sinarnya hangat memupuk semua perasaan yang bersemi, macam bunga kuning kecil yang tumbuh liar di padang rumput. Ia berjalan di jalan setapak, langkahnya yakin membawa ia ke suatu tempat yang ia telah akrab di antara beribu nama yang tertulis di padang itu. Bunga di pelukannya terlihat semakin indah tertimpa cahaya, dan ia terlihat semakin jatuh dalam debar semakin ia melangkah. "Hari ini kita kembali bersua, cantik", gumamnya kecil.
Setiap kali hari pertemuan itu datang, jantungnya berdebar persis seperti saat kali pertama ia berjumpa dengan si cantik yang termaktub di remindernya. Aneh, pikirnya, setelah sekian tahun lamanya, tubuhnya masih menunjukkan gejala riang yang sama kala akan bertemu dengan kekasihnya itu. Ia pun  menghela nafas panjang.
Langkahnya berhenti di depan sebuah pusara, diantara ribuan nama yang tertulis di padang itu. Ia duduk disamping pusara tersebut, meletakkan bunga tepat di bawah sebuah tulisan nama. Sebuah nama yang sangat indah. 
Tangannya mengelus nisan itu, di antara cahaya hangat matahari dan harum seikat bunga-bunga indah yang ia bawa, suaranya bergetar, berkata mesra, "hei cantik, aku kangen "
Ia menengadah menatap matahari, dimana isak mulai terdengar lirih.

If you loved me
Why'd you leave me?
Take my body,
Take my body.
All I want is,
And all I need is
To find somebody.
I'll find somebody like you.


Nomaden, 1 Sept '16

*lyric by Kodaline - All I Want

Senin, 29 Agustus 2016

Sebuah Persembahan


Berikut adalah sebuah tulisan yang saya muat sebagai bagian dalam skripsi saya. Saya muat ulang di blog ini agar lebih banyak khalayak yang tahu, bahwa person-person di dalam tulisan ini sangat berarti di dalam kehidupan saya, khususnya kehidupan sayabsebagai mahasiswa : 

Setiap hal yang terjadi dalam hidup manusia yang singkat ini merupakan karunia dari Yang Maha Kuasa, dan sebagian dari karunia itu diulurkan-Nya melalui perantara tangan-tangan individu lain yang berinteraksi dengan kita. Maka dari itu, penulis merasa perlu untuk menyelipkan sebuah lembaran khusus dalam skripsi ini sebagai ucapan terimakasih kepada orang-orang yang telah sukarela menyumbangkan waktu, tenaga, ataupun materi demi menyalurkan karunia Allah SWT kepada penulis, yaitu bantuan demi terselesaikannya skripsi ini. Maka dengan rasa bangga dan haru, penulis mengucapkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT, dan juga rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
Ayahanda dan Ibunda tercinta, Alm. H. Hudari Hamid dan Hj. Nila Utama, yang telah mencurahkan cinta dan kasih sayang yang tak terbatas dalam mendidik dan membesarkan saya, dan juga telah memberikan segala-galanya demi melihat putranya bahagia, meskipun seringkali saya mengecewakan mereka tetapi mereka senantiasa menyambut dengan senyum ramah sehingga membuat saya merasa bahwa rumah adalah surga bagi saya di dunia selama mereka berada di dalamnya. Pa, Ma, gelar sarjana ini mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan semua pengorbanan yang telah Papa dan Mama lakukan, tetapi izinkanlah aku mempersembahkan gelar ini dan semua kebaikan yang terkandung di dalamnya untuk kalian, orang tua terhebat di seluruh dunia.
Merry Handayani, si kurus nan bawel yang meskipun sering di-bully telah dengan ikhlas mau berteman dengan orang pemalas seperti saya. Mer, terimakasih atas dukungan, semangat, motivasi, dan obrolan-obrolan tentang masa depan yang telah berhasil mendorongku untuk maju, keluar dari zona nyaman, dan bersosialisasi menghadapi beragam-macam bentuk dan jenis manusia di luar kamar kosan. Mungkin tanpa bawel mu, aku sudah pindah kuliah di semester tiga. Terimakasih untuk segalanya, sahabat.
The Boyo, sebuah kumpulan manusia yang kurang sehat otaknya yang membentuk sebuah grup bermain untuk mengisi hari-hari jenuh, berbagi kesenangan dan juga kesedihan, bersama menghadapi peliknya masa muda dengan semua dilemanya. Kalian adalah keluarga bagiku: Tyo, Ayu, Charli, Dian, Fachri, Zizi, Niko, Ina, Merry, Hilmy, Imam, Oji, Dewi, Randy, Simon, Wahyu, Welly, Widya, Amel, Fahmi, Via, Luky, Tika, dan Rere. Terimakasih telah menerima ku dalam keluarga gila kita. Terimakasih untuk semua persahabatannya. Boyo untuk selamanya, hidup langkuy!
Adik-adik gemas nan cantik dan ganteng yang telah menjadi saudara dalam perantuan: Annisa Cahyani dengan cahayanya, Okta Paulia dengan riangnya, Riezka Khairunnisa dengan galaunya, dan Yogi Surbakti dengan tawanya, terimakasih telah memberi kesempatan bagiku untuk bertindak dan berlaku sebagai kakak, serta belajar bertanggung jawab kepada adik-adiknya. Kalian adalah spektrum warna yang mengisi hidup dimana sebelumnya terasa monokrom.
Agung Satria Wardhana, my partner in crime dalam arti yang baik. Teman merantau sedari awal, bersama mengenal Bandung dan kerasnya kehidupan kota, jejak demi jejak, dan melanjutkan ikatan persaudaraan meskipun telah sama-sama saling bertemu dengan saudara-saudar yang baru. You are my bro, forever and ever.
Teman-teman Kelas E Sastra Jepang 2011 yang telah bersama-sama menempuh semua SKS dalam canda dan tawa, juga menempuh semua badai tugas bersama. Terimakasih telah menerima ku sebagai KM kelas dari awal hingga akhir tanpa terjadinya sebuah kudeta, meskipun aku sebagai KM sempat hilang dari kampus selama satu semester. Kalian adalah teman yang luar biasa.
Himpunan Mahasiswa Bumi Raflessia (HIMAMIRA) Unpad, yang telah menjadi keluarga sedaerah, tempat berbagi rindu kepada kampung halaman, berbagi tawa dalam balutan hangatnya budaya melayu pesisir, dan bersama memimpikan kejayaan Bengkulu di masa depan. Saya yakin, kalian semua adalah orang-orang hebat, dan dengan keyakinan ini saya merasa aman karena masa depan Bengkulu ada di tangan orang-orang hebat seperti kalian. Himamira Camkoha!
Terakhir, untuk semua pihak yang telah berinteraksi dengan saya selama menjalani kehidupan sebagai mahasiswa, saya yakin, kalian telah membantu saya dengan berbagai cara sehingga saya dapat terbentuk menjadi pribadi seperti sekarang. Saya juga yakin, meskipun mungkin nama-nama kalian terselip dalam lupa, tetapi dalam hati saya pasti selalu mengingat kalian. Sampai jumpa di masa depan, sukses selalu untuk kita semua.
Terimalah ucapan terimakasihku ini untuk kalian yang telah berjasa membangun pribadiku sebagai seorang sarjana.
Jatinangor, Juli 2016

Gerhana Aria Panca Putra

Syak-syak keparat

Syak ini kuharap tiada padamu
Syak ini semoga hanya kutukanku
Yang pada malam-malam keramat
Kukompori sesajen prasangka
Dan tepekur dalam nikmat
Tenggelam berpikir prahara
Beleid-beleid yang sial
Mana malam tak mau kenal
Padaku yang dirundung kesal
Bila sadar egois itu kekal

Pasteur, 22 Aug '16

Jumat, 19 Agustus 2016

-

Ia menyenderkan kepala di jendela, di depan  sebuah buku yang tertutup di atas tatakan kecil yang tersiram cahaya matahari. Pandangnya jauh, tetapi pikirannya penuh. Ia menatap berhektar luas padang hijau dengan kemuning milik  ladang jagung, yang beratap langit biru cerah yang di pinggir-pinggirnya berbaris pegunungan nun jauh, seperti pinggiran kertas yang dirobek dengan tak sempurna. Ia sedikit resah karena hanya bertemu dengan hamparan ladang jagung yang terkesan kering, bukan hamparan sawah yg mungkin lebih terkesan sejuk. Ia mencoba menghitung awan yang sedikit sekali hadir pada siang ini. Satu..., dua..., ah, ada 12, 2 awan kecil berpencar di kiri dan kanan, sedangkan sisanya berarak bertingkat seperti sudah saling mengenal dalam keakraban. Di luar tentu panas, pikirnya, tetapi manusia-manusia dalam bingkai jendela kereta ini tetap bergerak seakan tanpa sadar. Idrak, ia merasa sesuatu yang merundung dalam hatinya. Sesuatu yang sepi dan sepertinya akan membakat. Halai-balai.

Sekejap, pemandangan berubah menjadi barisan pohon jati muda yang rapih bersaf-saf hingga ke pinggiran rel yang bertanah kerikil dan bebatuan kecil nan tajam. Lalu pemandangan telah berubah semakin indah, menjadi sebuah perkampungan dengan rumah-rumah khas beratap genting joglo, dan dinding-dinding kayu sederhana yang sebagian diantaranya terdapat ukiran-ukiran tangan. Desa yang teduh dan damai, dalam lindungan kanopi pepohonan melingkupi jalanan desa, serta nuansa kuning-coklat yang dimunculkan oleh tanah, dinding, dan atap-atap. Senyumnya mengembang tanpa sadar ketika ia merasa betapa bahagianya hidup dalam damai yang seperti itu, yang batas-batasnya masihlah berupa pola-pola sederhana, dan hakikat manusia masih berada pada dasarnya. Lagi, rasa aneh itu muncul kembali dalam hatinya. Senyumnya hilang, dan ia menghela nafas panjang yang dalam.

Desa itu terlewati oleh jalannya kereta, dan tak beberapa lama sebuah sungai yang tua dan tenang dalam arifnya muncul sebagai latar baru jendela kereta. Mendadak ia merasa lelah, dan memutuskan untuk memejamkan mata. Maka ia mencoba menutup kelopak mata dengan kepala yg tetap bersender di tengah gonjang-ganjing jendela kereta, berusaha mengistirahatkan semua pikiran-pikiran tak bertanggung jawab dari kepalanya. Tapi percuma, otaknya tetaplah otak yang selalu lapar dengan bengis. Meski nafasnya telah teratur dalam tidur, pikirannya terus bekerja, mengetik cerita-cerita dongeng dan khayal representasif pikiran-pikiran yang represif. Kereta terus melaju, berusaha menepati janji dengan sang waktu.


Kedung Jati - Klaten, 20 Aug '16

Senin, 15 Agustus 2016

Gema Hutan Kala Pagi Kemarau

"Halimun, Halimun, kau sudah turun?", teriak Embun lantang, tetapi hanya dijawab oleh gema suaranya sendiri, dan sebuah riuh singkat suara kepak burung-burung yang kaget oleh gema tersebut. 
Tampak raut sedih Embun ketika tahu teriakannya tak berbalas. Maka ia kembali berlari lagi, kali ini lebih jauh ke dalam hutan, di mana pohon-pohon semakin besar dan tua, di balut oleh lumut dan akar-akar yang bijak. Aroma hutan hujan menyeruak, dan dedaunan mengobrol asyik dengan gerisik, atau juga ramai ketika terinjak lari Embun untuk menjadi hancur lalu memupuk tanah yang lembab ini. 

Senja telah berpisah ketika Embun berhenti berlari di tengah rapatnya hutan. Gelap tentu, tapi Embun tak peduli, ia tak tak kan meraba-raba bahkan dalam gelap yang pekat sekalipun. Embun tak lagi berlari, kini ia berjalan pelan, tapi cepat. Seperti jalannya waktu yang menelan pagi demi pagi dan senja demi senja, yang pelan tapi cepat. Sembari berjalan, Embun tetap meneriakkan nama Halimun. Teriakan yang memanggil, sekaligus menuntut. Menuntut sebuah janji untuk bertemu yang telah di ucapkan Halimun pada suatu malam di bulan Juni. Teriakan Embun keras, kencang, tapi bukan amarah. Rasanya cenderung ke bertanya: adakah jawaban selain gema?

Embun mendongak, bulan telah mengintip-ngintip dari balik rimbun dedaunan pohon-pohon tua yang megah. Pohon-pohon berjanggut lumut bijak mencoba menasihati Embun untuk tetap sabar menanti, bukan mencari. Tapi Embun tak memperduli. Ia mendongak, meyakinkan dirinya jika bulan malam itu adalah purnama. Ya, hari ini adalah benar-benar hari yang dijanjikan Halimun: purnama pertama pada kemarau tahun ini. Embun kembali berlari, lebih dalam, lebih dalam. Kali ini waktu berjalan cepat, tetapi lambat bagi siapapun yang menyaksikan kegigihan Embun berlari. 

Seisi hutan yang mendengar gema suaranya telah ramai-ramai mendoakan Embun dalam hati. Hutan hujan yang lembab lagi damai itu riuh oleh doa-doa mereka yang sunyi. Andai hutan ini mengenal jam sebagai penanda batas-batas waktu maka Embun telah berlari selama enam jam lebih, hingga akhirnya Embun terjatuh oleh lelah pada sebuah sabana rumput di antah berantah hutan, seakan padang itu dipagari oleh pepohon milik sang hutan hujan. Embun bersimpuh dengan kedua kaki terlipat saling menindih sedang tangannya menopang tubuh rapuhnya yang basah. Purnama gagah menerangi seluruh padang sabana, termasuk tubuh Embun yang telanjang berkilauan pada sebuah subuh yang mistis ini. 
Embun mendongak dengan tatap sedih, melihat langit dan purnamanya beserta bebintang yang bersembunyi tersapu, kali ini dengan lirih berteriak, "Halimun, Halimun, kapan kau turun?". 

Dengan sebuah sapuan angin kemarau yang dingin, Halimun turun perlahan dengan semua keajaiban, memeluk lembut Embun dan tubuh telanjangnya, serta menutupi purnama seakan melarangnya untuk melihat kasih sayang ini. Tetapi tentu seluruh alam telah menyaksikan, ketika Halimun dan Embun menyatu, mengabur, menembus semua yang bertakdir padat, dan membasahi sebuah subuh, hingga akhirnya tiba pada suatu pagi.

Nomaden, 15 Aug '16

Minggu, 14 Agustus 2016

Gerisik Kemarau

"Hei...", panggilnya pelan. 
Pelan sekali, seperti ragu, sehingga hampir tandas dihanyut angin yang gerisiknya bersiul keras meski tetap saja lembut. Aku merasakan rindingnya, bahwa sekujur rambut halus di lengan putihnya telah beku dibalut angin malam ini. Panggilanya kujawab hanya dengan tatap seraya mengeratkan kerah sweater rajut yang ia kenakan.


"Kenapa angin kemarau itu jahat?", tanyanya, menatap. 
Aku mencari-cari sunggingan senyum di sudut-sudut bibirnya, tapi kecul kutemui. Tatap dan tanyanya serius kali ini, dan itu membuatku berdebar. Obrolan serius dengannya selalu membuat jantungku mempercepat ritme tanpa peduli aku yang jadi malu karena nafasku memburu menyusul ketukan.

"Aku tidak tahu.."

"Tapi kau pandai", jawabnya bersamaan dengan angin yg kembali bergerisik. 
Kami berdua bergidik.

"Itu kan menurutmu", jawabku pelan, berusaha agar tak didengar. 
Sedang tanganku menggapai menggenggam tangannya untuk menghindari jemari yang kebas oleh dingin. Apakah karena dingin belaka? Tidak, mungkin lebih tepat aku mencoba mengalihkan perhatiannya.

"Apakah aku salah?", tanyanya, dengan mata semakin menatap.
Aku diam. Perhatiannya gagal kualihkan. Dasar kau jelita keras kepala. Bahkan ditengah dingin seperti ini kau dan rasa ingin tahumu akan langit dan kolongnya tetap bercahaya membara.

"I'm not saying that you're wrong, tapi aku hanya tidak menganggap diriku pandai sama sekali. Bodoh, tepatnya."


"Kau tahu, mungkin, pandai adalah bodoh bagi belahan bumi yang lain, and vice versaBukankah semua manusia juga begitu?", katanya lepas dengan suara yang tenang dan tatapnya lurus terkunci pada bebintang khas langit kemarau


Aku tersenyum, sembari menggapai kotak rokok di saku kanan jaket. Kugoncang ke atas hingga sebatang rokok mencuat terdesak, kugapit dengan bibir, lalu kusulut dan kuhisap dalam. Hembusan pertama ini terasa berat, dan asap putih itu menari-nari mengejekku tepat di depan muka, aku usir halau dengan tangan sehingga mereka kabur bersama angin. Kau lah yang pandai, jelita. Kau lah yang membanggakan. Yang mencerahkan dengan senyummu yang girang.


"Mungkin begitulah karakter kemarau bila menyapa, hanya kita saja yang salah kaprah.  Atau mungkin, angin ini penanda sedih saja, sebab purnama telah menghapus bintang-bintang yang seharusnya memprimadona kemarau dari musim-musim yang lain.", rokok kembali kuhisap dengan bunyi terbakar menggemertak.

"Hooo...", gumamnya sembari mengangguk-angguk, lalu menoleh kepadaku untuk melempar senyum. 
Alangkah kerasnya lemparan itu hingga menohok ulu. Ia kembali menatap langit, menjeliti bulan seakan ingin memarahi, sedang lengannya menggapai lenganku untuk didekap erat. Ia tinggalkan aku yang sendiri menyaksikan senyumnya, menikmati dekapannya, di mana akan terus ku putar ulang sebagai proyeksi di bawah sadar. 
Malam ini malam terakhir sebelum kami berpisah di simpangan yang berbeda. Dengan semua kenangan yang telah diciptakannya, angin kemarau di sisa malam ini tetap dingin, sangat, tapi bagiku  tak lagi jahat.



Nomaden, 14 Aug '16

Sabtu, 30 Juli 2016

Mati pun Tetap Egois

   Kalo kita sedang ingin berpikir berlebihan, maka kadang pikiran semacam ini pasti muncul: setiap menit, kita berjudi di meja nasib, dan yang dipertaruhkan tentu saja adalah umur. Di jalan antara kosan dan rumah pacarmu kau bertaruh umur. Saat kau mencabut kabel charger laptop adalah taruhan umur. Bahkan diantara suapan makan dan segaran air minum pun adalah bertaruh umur. Roulette meja nasib yang bergeser sedikit saja bisa menyebabkan motormu hilang kendali, kabel charger yang ternyata telanjang digigit tikus, dan suapan terakhir yang keselek karena kurang air. Maka mungkin benar bila kuungkapkan bahwa maut lebih dekat dari satuan ukur jarak yang terkecil sekalipun. 

   Pikiran-pikiran kejauhan ini akan membuat kita takut, gelisah. Kadang hanya gelisah selewat mata, kadang bisa bikin kelakuan seseorang berubah. Betapa hebatnya pikiran kita. Tapi menurutku yang paling menakuti kita bukanlah kesadaran akan kematian kita sebagai tubuh, tetapi bagaimana pengaruh matinya kita terhadap lingkungan kita semasa hidup, dan umpan balik dari pengaruh tersebut kepada peninggalan kita setelah kita mati. 
Wah, ternyata manusia bisa seegois itu, pikirku. Bahkan sesudah mati pun kita masih memikirkan pandangan orang lain terhadap kita yang bahkan sudah hilang dari peredaran dunia!

Senin, 25 Juli 2016

Sebuah Sore

   Mata kami ditarik menutup oleh lembutnya angin lembah, dan rerumputan telah menjadi pembaringan yang mengikat punggung macam akar pada batangnya. Sebelum mataku menutup seluruhnya, aku sempatkan menoleh ke kiri, demi mengintip parasnya yang tengah terpejam menikmati seluruh baluran alam. Sepoi angin sore, terpaan mentari yang teduh disaring awan, dan wangi rerumputan yang seakan selalu lembab, selalu pas rimbunnya itu. Setelah menemukan senyum di wajahnya, aku kembalikan hadap wajahku ke langit, dan senyumnya menular ke bibirku. 
   Kupejamkan sepenuhnya mata, kunikmati semua rasa dalam hening. Aku bahagia, sungguh, atas semua kejadian di lembah kasih sore ini. Tapi dasar manusia, berpikir buruk adalah ciri kita yang paling khas. Di tengah keindahan pun aku sempilkan pikiran buruk akan masa depan. Bagaimana jika semua berubah? Bagaimana jika aku tak bisa menjaganya? Bagaimana bila langit tak melulu cerah? Atau mungkin saja semua ini maya!

   Sebuah cubitan terasa di lengan kiriku. Segera aku menoleh kearahnya lalu membuka mata, mendapatkan mata bulatnya telah melihat tajam ke dalam mataku dan aku terperangkap dalam sorot itu. Sorot dengan alisnya yang melengkung dan bulu matanya yang melentik. Matanya berbicara banyak bahasa, tapi aku tak mampu menerjemahkan beragam sastra matanya. Hanya dari cubitannya aku tahu, bahwa ia membaca pikiran burukku. Dan sorotnya adalah peringatan bahwa jika aku terus berpikir buruk maka cubitan ini akan semakin kuat. Aku isyaratkan menyerah melalui senyum, dan ia menerimanya. Setelah Ia lepaskan cubitan dari lenganku, telunjuknya lentik menunjuk ke hamparan langit biru. 
   "Aku ingin perlihatkan sesuatu,...", katanya lucu, "...lihatlah",

Ia menarik telunjuknya dari satu sisi langit yang cerah, dari siluet punggungan gunung-gunung yang menjadi batas jarak pandang mata, menuju ke tengah-tengah samudera langit hingga tepat ke atas wajahku. Aku memperhatikan dengan sungguh-sungguh, bahwa tarikan telunjuknya menciptakan segaris awan lurus yang bergumpal-gumpal, seperti awan yang tercipta ketika sebuah roket melintasi langit. Tetapi ini bukan karena roket, ini karena telunjuknya. Dan awannya bukanlah awan biasa melainkan awan yang ia buatkan untukku. 

   Aku memaku pandangan ke langit demi menatap sebuah keajaiban. Tentu semua otot wajah membentuk senyum girang layaknya anak yang melihat pelangi pertama kali. Aku tertawa sembari menoleh ke arahnya ingin mengabarkan kegembiraan. Ia telah hilang. Yang tersisa hanya sepoi angin pada suatu sore di lembah, beserta segaris-panjang awan yang membelah biru langit cerah.





Biru, 26 Jul '16