Pages

Minggu, 28 Desember 2014

Teropong Mimpi Dari Almari

Aku sering melihatnya begini. Sekian banyak tidurnya yang aku perhatikan dari puncak almari, berapa kali sudah yang seperti sore ini.
Kudapati ia terbangun dan tengah senyum sendiri. Rupanya mimpi yang barusan, terasa kali nyatanya hingga otot, dan daging-daging di badan menyesuaikan gerak. Ia terbangun dengan ekspresi bingung disertai rasa bahagia membucah yang awalnya, aku bingung datangya dari mana. Ternyata dari mimpi barusan, yang kuduga, lagi-lagi, tentang gadis yang kian sering muncul dalam igaunya.

Kuperhatikan ia langsung duduk, menyelaraskan lagi dengan dunia nyata, mencoba redakan debar hati yang sedari tadi tak jelas apa ritme dan ketukannya. Amboi, bahkan detak jantungnya terasa hingga ke tempatku berada, di pucuk almari! Setengah sadar, ia cek ponsel berharap ada kabar dari dia yang dimimpikan, kalau-kalau peristiwa barusan adalah ingatan, bukan bual khayalan. Tapi sepertinya tidak, bukan. Ponsel tak berisi sesuatu yang menggairahkan, sepertinya. 

Dengan gerakan malas ia meraih botol air dan mereguk isinya, untuk kembali membangunkan organ dalam badan yang tengah mabuk dalam semu. Setelah mendapat kembali kesadaran, malah tampak ada rasa kecewa yang nyempil. Mungkin kecewa karena, yang barusan hanyalah mimpi.
Sebuah mimpi dimana semua serba dirinya, dan seorang lagi yang ia puja, di dunia yang fokusnya hanya pada mereka sahaja.
Kulihat ia menulis sesuatu di note ponselnya. Apa yang ditulis aku tak tau. Tapi yang jelas, rautnya merona merah. Astaga, hangatnya terasa hingga ke atas sini! Begitu senang rupanya dia. Syukurlah, aku ikut bahagia.

Aku, dan teman-teman yg lain, sebagai sekelompok hal yang pernah dibagi cinta dan sayang olehnya, turut berbahagia bila ia terlihat seperti ini. Tak lagi murung berhari-hari seperti berbulan-bulan lalu saat aku baru saja jadi penghuni pucuk almari di kamarnya yang kecil ini. Setidaknya, berbagi afeksi ini sebagai wujud kecil terima kasih atas kasih yang kami terima selama ini.

Sepertinya selesai sudah catatannya. Diletakkannya ponsel di depan tv, lalu ia melangkah keluar kamar, masih dengan wajah yg merona. Pintu kamar ditutup, kamar menjadi hening dengan sisa-sisa kehangatan dari emosinya, suara kecil dari rintik gerimis merambat terdengar. Ia meletakkan ponselnya diatas sebuah novel, sebangsaku. Kupanggil novel itu, kutanyakan, bisakah kau lihat catatan yg baru saja di tulis di ponsel itu? Setelah mengiyakan, kuminta si novel membacakan. Bacakan yang kencang untuk semua benda di kamar, pintaku. Lalu ia mulai membacakan suatu cerita, memecah sunyi kamar, diantara kehangatan emosi yg tersisa, dibalut suara rintik gerimis sore yg kian mengeras:

Mimpi sore ini: 
Berlatar sore, ketika aku dan temanku berplesir ke kosnya, seperti biasa rupa. Dan ketika hendak pulang, aku ajak dia cari makan, karena setelah ratusan berkisah dan cerita membuat kami lupa pada urusan perut. Setelah kami bertiga makan di luar, kami mulai melangkah pulang, yang anehnya saat itu, kami berjalan searah, meskipun kosku dan kosnya berbeda, dan lebih aneh lagi, temanku yang seorang menghilang. Dasar alam mimpi. 
Kami berdua, aku dan dia, berjalan pelan menikmati sore yang gelap karna langitnya sudah hamil tua. Di jalan bercengkerama seperti biasa, ia pun cantik seperti biasa: tertawa, mencubit, memukul, sedang badan makin merapat, mungkin juga karna dorongan angin dingin kala itu. Lalu setelah sebuah tawa untuk suatu canda berakhir, ada suatu hening canggung yg tercipta, dimana senyum masih nyisa di tiap-tiap bibir yang mengatup rapat. 
Hening pecah, ketika ia, oh Tuhan, dengan merdunya melantunkan lagu. Dia menyanyi! Ia menyanyi dengan suaranya yg lembut nan merdu itu, bernyanyi sebuah lagu cinta yang ceria, ah sial, tak mampu kuingat judulnya. Mendadak aku senyum lebih lebar, setelah mendengarkan ia melantunkan beberapa bait, aku ikut menyanyi pula! Ini hanya karna terbawa suasana, sedang nyanyiku bukanlah sama sekali tandingan suaranya. Kami bernyanyi berdua, berduet bersama, dimana setelah beberapa bait kunyanyikan, atas kuasa suatu alam yang bukan aku penguasanya, tanganku naik ke pundaknya, mendekap, atau memeluk? Entahlah, yang pasti aku lingkarkan sebelah lenganku, yg sedari tadi beku disampingnya, ke belakang lehernya untuk nyangkut di pundaknya. Tampak jelas kalau ia kaget, tapi tak ia hentikan dendangnya. Sekilas kutangkap senyum dibibirnya. Aih, tak berani ku pandang dengan lantang. 
Lalu langit mendadak pecah: hujan turun! Gerimis deras menerjuni langit. Masih dalam pelukku, ku ajak ia berlari. Ia mengangguk lucu. Masih dalam pelukku, kami berlari, sembari tertawa, lalu menyanyi. Hah, tak berasa sedikitpun dingin di badan. Yang ada malah rasa hangat yang aneh yang menjalar sampai-sampai ke bulu tengkuk. Kami berlari dan bernyanyi hingga tiba di tempatku, dimana saat itu barulah kulepas pelukku dengan enggan. Lalu bersama berhadap tatap dalam senyum, dalam sunyi. 
Jantung keparat. Aku terbangun karena debar jantung yang telah tak tentu ritmenya. Aku terbangun dari sebuah dunia yg mungkin hanyalah sebuah harapan tertumpuk, memupuk menumbuhkan bualan. Tapi aku ingin sekali melanjutkan mimpi ini. Menjadi racunkah atau bukan mimpi ini nanti mengarah, aku tak peduli.
Keluar kutukan yang bertuding diri sendiri. Aku malu.

Selesai membaca. Kami terdiam. Kulihat teman-teman sederet senyum terharu. Ah, andailah kami bukan sekedar buku, tapi seekor makhluk, maka sudah kupeluk ia, pemilik kami, atas cinta yang ia rasa, atas anugrah yang mungkin masih dalam diam diterimanya, tapi perlahan merambat ke semua aspek kehidupannya. Tapi apalah daya sebuah buku? Dalam maklum kami berdoa untuk bahagianya, semoga doa kaum buku yang rendah ini masih dijabah. Sebuah sore yang indah di kamar yang makin sunyi ini. Kuharap suatu hari nanti, aku bisa melihat sendiri gadis pujaan tuan yang pengaruhnya bisa sampai ke kami.

Nangor, 27 Des '14

Senin, 22 Desember 2014

Kebanggaan (?)

Bangga-bangga yang semu 
Semi, Membatu 
Macam penuh 
Nyatanya semu 
Sepi, menjenuh


Nangor, 22 Des '14

Minggu, 21 Desember 2014

Attention Seeker

Banyak manusia yang krisis identitasnya sebagai manusia. Mereka ini, butuh diakui, sebuah pengakuan dari manusia lainnya akan eksistensi dirinya sebagai anggota pada ras berakal itu. 
Pada tahap ini akhirnya muncullah apa yang disebut attention seeker. Sekianlamanya ia memendam pertanyaan "bukankah aku ini manusia?" , sehingga dipamerkannya bukti-bukti bahwa ia memang seorang makhluk sosial, jika ada manusia lain yang sejenak menyempatkan melihat. 
Karena kepada siapalah lagi ia mendapat pengakuan jika bukan dari sesama manusia? Sedang kepada binatang dia merasa tinggi.


Pun begitu pada agama
Atau para mahasiswa

Maka berbesarhatilah, maafkan.



Nangor, 20 Des '14

Jumat, 19 Desember 2014

Geliat Senyap Hari

Tanpa sadar, umur menelan semua dasar
semua gila pada hari,
semua canda dan tari
perlahan dibungkusi
oleh kain lebar
berlukis tanggung jawab
diikat tali
bersimpul:
mati
Nangor, 18 Des '14

Kamis, 18 Desember 2014

Tawa Sunyi Seorang Sendu

Sekarang, aku sedang membaca (lagi) bukunya Pram: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ini buku beliau keempat berarti yang kubaca setelah Rumah Kaca. Sebenarnya hasrat untuk melanjutkan membaca karya-karya P.A.T sudah membuncah sedari aku menamatkan Tetralogi Buru. Tapi apa daya, kemalasan (lagi) menghalangiku, terlebih mata dan otakku seringkali nyangkut di film berseri dari barat yang sekalinya nyangkut bisa makan waktu hingga berbulan. Ditambah, mencari karya-karya beliau di toko-toko buku kontemporer sekarang terbilang susah.

Ada sesak yang sama yang kurasa saat membaca NSSB, dan Tetralogi Buru. Sesak karena rasa sadar bahwa di bumi, ada makhluk yang berakal yang dengan sengaja menindas sesamanya, yang kadang alasannya tak kena logika. Tetapi ada desir yg berbeda di dalam NSSB, yang bikin sesak dada tambah parah. Ini merupakan buku autobiografi. Ya, ini berarti, semua kejadian malang dalam buku ini benar-benar pernah terjadi, bukanlah imajinasi, tapi sungguh dirasakan oleh daging P.A.T sendiri! Sesak!

Tapi di antara sesak nafas yg kuderita lantaran amarah yang bergemuruh di sanubari, tetap saja ada bagian dimana ketika terbaca, keluar juga dengusan kecil dari hidung dan mulut disertai senyum, bahkan tawa pun. Sungguh aneh lagi hebat, ditengah sekian beratnya himpitan hidup, beliau masih bisa menemukan sepercik humor, walau kadang satire dan penuh sarkas, yang menunjukkan kelapangdadaan yg luar biasa. Yang menunjukkan bahwa dia, adalah manusia, sekalipun hak-haknya telah dihilangkan sebagaimana rupa.

NSSB sedikit lagi kuselesaikan. Dan sebelum halamannya tuntas tertutup sampul belakang, aku ikrarkan, kan kubaca semua karya-karya Pram, kuserap saripati kata-katanya, untuk nanti jadi bahan bakar menjadi manusia yang lebih baik.
Semoga Tuhan memberkati ikrarku ini.

Nangor, 18 Des '14

Buih-buih

Ada riuh yang menggembirakan
Pada pagi
Pada gulungan ombak yg buyar diri di tepian
Berbuih mengisi ceruk karang yg bolong
Terisi, penuh, meletup, kembali kosong
Akankah selamanya hidup seperti ini
Pecah, berai, berbuih
Untuk nanti hilang ditelan bumi

Batukaras, 14 Des '14

Selasa, 16 Desember 2014

Kesetanan

Manusia dan setan-setan yang dia ciptakan sendiri
Dipuja diam-diam, untuk nanti dihina-dina berhadap-tatap dengan kaca
Coreng sendiri tai ke muka
Saling tuding sama cermin,
siapa salah siapa dusta,
sedang muka sama karutnya,
penuh cipratan ludah dari lamanya bersenggama kata,
sama kaca!



Nangor, 16 Des '14

Untuk paman-paman taliban yang mencabut-paksa hak hidup pakistani kecil mereka. Darah dagingnya. Di sekolahnya.
Untuk manusia yang kesetanan dan disetankan

Kamis, 04 Desember 2014

Inkonsistensi

Malam ini, aku naik ke awan. 
Aku bertanya, mengapa awan, setelah beberapa minggu ini, menyusahkan manusia dengan hujan-hujannya yang seperti tangis bayi mendamba susu sang bunda. Deras, dan tak kunjung henti. Setelah beribu tangga, aku akhirnya tiba dihadapannya. 
Malam itu, dia gelap. Gelap seperti pagi dan sorenya. Langsung saja aku mencerocos bertanya, mengapa awan, yang menurutku ditakdirkan oleh sang Hyang untuk membantu manusia, malah membuat repot selama beberapa minggu ini? Tidakkah dia tau jika pekerjaan manusia terhambat karena hujan deras yang tak kunjung reda? Bukan hanya menghambat secara teknis, tetapi juga memberi dampak kepada batin manusia yang menjadi murung lantaran terbawa suasana gelap yang dihantar hujan.

Awan melihatku dengan sinis, mendengus, lalu berkata, bercerita: 
Bukankah pada dasarnya manusia mencintai hujan? 
Dengan mesra mereka mendamba setiap rintik 
Dengan manja mereka reguk setiap tetes 
Lalu dengan angkuh berkata: "Akulah pemilik hujan dengan segala cinta" 
Lalu dengan tamak meminta: "Demi cinta, balas kami dengan lebih" 
Maka lebih kuberi, lebih kubagi 
Maka hutan merimbun, angin menusuk 
Sungai meluap, dan tanah menelan kaki-kaki yang mencoba melangkah 
Lalu mendengus mereka berkata:
"Karena ini kami membenci hujan!"