Aku
lahir saat milenium baru saja berganti, tahun 2000 pada tanggal 4 Juni. Kata
ibuku, aku lahir ketika tanah bergoncang hebat di kampung halaman. Karena
itulah beliau menamakan jabangnya yang baru lahir ini dengan nama megah: Bumi.
Ihwalnya, ia berteriak begitu saja ketika aku baru setengah melorot keluar dari
rahimnya. Ia merasakan goncangan keras dari bawah dipan, dan seluruh barang
dalam kamar, dan juga air di gelas, dan juga badan bidan beranak: "Gempa" ,
teriaknya tertahan, tersengal-sengal, "Bumiiiiii!!!",
kencang ia berteriak, beradu kencang dengan goncangan di semesta, dan aku
brojol sepenuhnya, menangis keras menyambung teriakan ibunda yang sudah lemas
ngos-ngosan dan dibopong keluar rumah karena gempa masih terasa. Begitulah,
bidan yang kaget diteriaki ibuku memberi saran kepada ayahku (yang dari tadi
duduk bingung di samping dipan karena bimbang mau melihat anaknya lahir dulu
atau membopong bininya ngungsi dulu) untuk menamakan putra keduanya Bumi.
Ayahku
seorang negarawan, kader partai yang setia, nasionalis kolot sejati. Ia
menyukai sejarah dan buku-buku, maka begitu pula aku dipupuknya tumbuh. Aku
jatuh cinta pada Republik ini. Aku hidup dalam romansa-romansa perjuangan dan
nasionalistis. Maka ketika remaja, aku merasa jalan hidupku tak lain tak bukan
adalah menjadi tentara. Setamatnya SMA, masuklah aku akademi tentara. Setelah
lulus akademi, aku ditugaskan sebagai komandan peleton, dan siapa sangka
nantinya aku mendapatkan kesempatan membuktikan cinta tanah air langsung di
medan juang. Ya, Juni 2024, republik
gempar oleh pemberontakan. Gerombolan pengacau keamanan yang terdiri dari
orang-orang tak tahu diri. Gatal gemeratak jariku ingin menarik pelatuk.
Operasi pembersihan pun diperintahkan oleh Presiden Jenderal, maka berangkatlah
kami ke daerah yang ditugaskan: Pesisir Sumatera.
Oktober
2024, sudah 4 bulan kami terus menyisir bergerak mengejar gerombolan. Belum ada
penangkapan berarti, hanya kontak senjata yang mengagetkan, sedang korban dari
kami maupun gerombolan sudah lumayan. Sampai pada sebuah hutan jati tua yang
sejuk di sebuah sore, suara laut sudah mulai terdengar. Di ujung hutan kami
menemui sebuuah desa nelayan yang ramai dalam tenang, khas desa-desa pesisir
sumatera. Awalnya aku pikir kami bisa beristirahat disini, barang semalam. Tapi
laporan intel langsung membuat siaga: desa ini pemasok logistik gerombolan.
Sesuai prosedur, aku mengecek ulang keadaan dan perlengkapan peleton, melapor
ke atasan dan menerima perintah untuk segera menggeledah desa tersebut. Peleton
ku bergerak masuk bersama beberapa kendaraan tempur menuju alun-alun desa,
bertemu dengan kepala desa dan meminta bantuannya mengumpulkan penduduk desa
untuk mendengarkan maklumat. Ya, tentu aku melakukannya sesuai prosedur.
Purnama benderang sekali, dan masyarakat sudah berkumpul dalam sepi. Mereka
takut, itu wajar saja. Sehari-hari mereka hanya mengenal suara ombak dan mesin
kapal, kali ini berganti riuh mesin kendaraan tempur. Tiap hari hanya
berhadapan dengan wajah ramah yang semuanya saling kenal, kini mereka
berhadap-tatap dengan wajah asing yang garang yang coreng-moreng dengan arang
hitam.
Dalam
awas aku memperhatikan air muka penduduk desa. Semua kuyu dalam takut, tak
nampak yang mencurigakan bagiku. Sejenak sesudah ajudan komandan kompi
membacakan maklumat, dalam hening yang aneh aku merasa tidak enak hati. Kami
telah membawa ketakutan yang berlebihan kedalam desa ini, menurutku. Lalu sepi
itu buyar ketika empat orang yang tiba-tiba berlari. Segera saja aku menyuruh
anggota peletonku mengejar dan mengamankan warga lainnya, dan aku pun ikut
mengejar salah satu lelaki yang lari tadi. Tak tau aku ada yang mengikutiku
atau tidak, belum sempat aku memilih orang untuk menemaniku dalam pengejaran
ini.
Teriakan
dan tembakan mulai terdengar, memicu riuh yang kacau balau. Tapi targetku masih
terlihat di ujung jalan, berbelok ke sela-sela rumah penduduk. Aku mengikuti
jalurnya dan mendapatkan targetku telah hilang. Berdasarkan insting saja aku
menendang mendobrak pintu rumah kedua dari belokan.
Di
dalamnya kudapati seorang ibu yang memeluk kedua anaknya, aku tak sempat
permisi, aku langsung menuju kamar dan ruangan belakang, keduanya kosong,
sedang rumah tersebut hanya terdiri dari tiga ruangan itu belaka. Tapi ada
suara mencurigakan dari bawah tikar tempat ketiga beranak itu meringkuk
berpelukan di ruang depan. Aku menyuruh mereka minggir tapi mereka bergeming.
Aku terpaksa menarik kasar tikar tersebut dan mendapati ubin berbentuk aneh
yang nampaknya bagian terpisah dari lantai rumah. Belum sempat aku
mengangkat ubin tersebut, tapi telah terlontar sendiri disertai lelaki yang
berdiri mengancungkan pistol yang disusul letusan keras dari moncongnya.
Terlalu tiba-tiba, aku belum sempat mengantisipasi. Selanjutnya hanya rasa
sakit yang demikian sakit pada dada kananku. Aku terdorong hingga tersandar ke
dinding, lalu melorot jatuh terduduk. Rasa sakitnya menyadarkan bahwa aku belum
mati, dan masih bisa melihat jelas pria yang berdiri di atas ubin aneh tadi. Secepat mungkin aku berusaha
memposisikan senjataku kearahnya, dan secepat mungkin berusaha menarik
pelatuknya. Tapi astaga, demi Tuhan aku sama sekali tak menyangka anak kecil
yang tadi menangis dalam pelukan ibunya, berlari untuk memeluk lelaki yang
telah menembakku tadi. Oh Tuhan raja semesta! Aku hanya bisa menyaksikan saja
tubuh kecilnya tersentak menerima 3 butir peluru dari moncong senapanku, yang
menembus badannya untuk kemudian bersarang di tubuh lelaki yag dipeluknya. Aku
bisa apa? Aku harus apa? Sementara aku hanya
bisa diam menyaksikan semua kengerian ini, ruangan menggelegar oleh raungan,
jeritan, teriakan yang sakit bukan oleh luka fisik. Jeritan dan tangisan
yang membuat aku runtuh dalam kacau balau, teriakan yang memanggil sebuah nama
dengan pilu, yang sepertinya adalah nama si kecil yang kini telah tersungkur
diam memeluk si lelaki yang juga bersimbah darah tak bergerak. Aku bingung, aku
cemas, aku menyaksikan adegan ini dengan rasa bersalah yang amat sangat. Aku
telah membunuh anaknya? Ya, aku telah membunuh anaknya, dan mungkin juga
suaminya. Aku telah menghabisi setengah dari keluarga kecil yang sederhana itu.
Aku adalah manusia terkutuk yang pantas ditembak mati tepat di atas batang
hidung.
Tapi
apalah daya, badanku ternyata menolak mati. Aku meraung kesakitan untuuk luka
tembakan di badanku, tapi aku menangis bukan untuk kesakitan yang sama. Sebelum
aku tak sadarkan diri, aku ingat dalam samar ada beberapa orang tentara dari
peletonku yang masuk ke dalam ruangan tersebut, mengangkat tubuhku dan
menanyakan keadaanku. Aku lalu pingsan, dan akhirnya, disinilah aku, berbaring
bersamamu, menceritakan dosa ku.
Aku
selalu percaya bahwa aku cinta negara ini. Bahwa ia harus di bela hingga titik
darah penghabisan adalah kebenaran belaka. Dan juga para pemberontak atau
siapapun yang berusaha menghancurkan pertiwi ini harus di tumpas dengan segala
cara, pun aku tak ragu. Tapi
sekarang aku bertanya tentang cinta ku. Bahwa cinta ku, dan mungkin cinta kita
semua bergerak semacam satelit, yang mengitari cinta-cinta lain yang nyatanya
lebih besar dari yang kita tau. Cinta yang mengorbit cinta lain yang lebih
berat massa kasihnya, sehingga ia menarik cinta kita ke dalam alur cintanya,
sadar ataupun tidak. Dan semua terjadi mungkin bersusun urut mungkin tidak.
Diantara cinta-cinta yang berputar pada porosnya sedang mungkin juga punya
cinta lain yang mengorbit padanya, mungkin rapi jalurnya ataupun mungkin kadang
saling bersenggol satu sama lainnya meski tetap mengorbit pada satu cinta yang
lebih besar, dan terus begitu yang mungkin tanpa ujung atau berujung pada satu
yang aku tak tahu apa ujungnya, Maha Cinta? Kepada apa dan siapa? Berbatas ego
atau logika?
Coba
kau katakan padaku, menurutmu, manakah yang lebih indah: cinta negaramu atau
cinta keluargamu? Ataukah memang cinta akan kehidupan harus diatas semuanya?
Lantas apa fungsi cintaku sesungguhnya?
Hei,
kucing kecil, katakanlah padaku, apakah aku akan gila?
Suka! Tapi akhir kisah si tokoh dalam cerita 1 dan 2, gimana? Menggantung?
BalasHapushalo anon! Terima kasih sudah membaca dan komen.
HapusAkhir dari tokoh di cerita 1 dan 2 bisa diserahkan kepada imajinasi pembaca aja :)
Semangat skripsiannya. Andai saja dari dulu tidak pernah ada yang namanya "cowo lah yg minta kenalan duluan", atau "gengsi kali kalau cewek minta kenalan duluan", maka I woulnd't be your anonymous, Ryo.
BalasHapusTerimakasih! Kamu juga lagi skripsian? Kalo iya, semangat juga ya.
HapusMaka perkenankanlah saya menggunakan cara lama:
"Halo, namanya siapa? Boleh kenalan? ;) "
Gak, belum saatnya skripsian.
BalasHapusHalo, nama ku emm belum saatnya juga kamu tau. Atau memang kamu gak akan pernah tau siapa saya.
I know its kinda creepy but yea aku suka sajak mu, Ryo.
well, it's nice to know that somebody like my writing. i'm thanking you from all my heart. semoga nanti kita bisa kenalan utuh ya :)
Hapus3 cerpen yang bertema sama,Intepretasi cinta
BalasHapusGood story ryo
Buat anon diatas saya, semoga kamu bisa mengintrepretasi perasaan kamu dengan bijak :)
Semoga Tuhan menunjukan jalannya
-BSJ-
Terimakasih telah menyempatkan waktunya buat baca dan komentar.
HapusSeneng bgt, bikin semangat ketika tau ada yg bener-bener baca karya kita. Sekali lagi terimakasih banyak!
Semoga :) dan semoga tuhan punya jalan lain untuk ku kenal langsung sama kamu. A6 E& Q2
BalasHapusInteresting stories, Gerhana...
BalasHapusSepertinya udah butuh admin untuk fanbase nih
Atau udah pantes punya official sticker mungkin ? :p
Hola non! Terimakasih sudah baca dan komen. Official Sticker line mah aku udah punya: James B)
HapusDitunggu Video covernya di youtube yaaa
As always ya om om yang satu ini emang punya bakat dlm merangkai kata-kata
BalasHapusDipuji sama master gambar, すごく嬉しい! Terimakasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca dan memberikan komentar
Hapusanda terlalu berlebihan, saya masih newbie ko XD
Hapussama-sama.. lanjutkan karya-karyanya om!
Hei! It's me again, your anonymous. May i ask you something? Lemme know your askfm account, can i? Thank you
BalasHapushai anon! Akunnya ryogerhana, tapi udah lama ga aktif sih...
Hapus