Pesisir
sumatera, Oktober 2024.
Persatuan
Nasional pada Juni tahun ini, telah
merilis pernyataan bahwa pemerintahan republik tidak lagi sah karena dianggap
gagal dan otoriter, maka dari itu PN akan memberontak bersama rakyat.
Seluruh penjuru republik telah menerima kabar
tersebut, dan menimbulkan kegaduhan berskala nasional. Republik siaga satu;
lambang dan bendera PN menjadi sesuatu yang diharamkan pemerintah meski di
beberapa tempat panji-panji dan pataka-pataka PN tetap berkibar berdampingan
dengan sang saka, sedang dibawahnya terlihat barisan pria dan wanita bertopi
caping serta memanggul senapan siap bergerak ke berbagai arah mata angin. Tapi
hal itu tidak terlalu dipusingkan Syarif, yang tetap setia dengan perahunya,
berkelana di atas sesuatu yang sangat akrab baginya: laut. Syarif adalah
seorang nelayan, lahir dari keluarga nelayan yang bermukim di kampung nelayan.
Sepanjang ingatannya, laut adalah apa yang dia lihat setiap hari, bahkan lebih
sering dari ia melihat nasi.
Angin
laut adalah sahabatnya, suara ombak adalah musik baginya, kecipak air asin
adalah sesuatu yang menyegarkannya. Ketika nelayan-nelayan lain memandang jenuh
dengan laut dan sekitarnya, beda hal dengan
Syarif: ia mencintai laut. Ia selalu
merasa romantis dengan
laut dan lingkungannya. Syarif dirayu oleh gulungan ombak dan birunya air. Rasa
yang menggugah itu sudah ia rasakan sedari kecil, hingga kini setiap ia melaut.
Jika nelayan lain melaut
untuk nafkah, maka bagi Syarif, ia melaut karena cinta. Nafkah tentu masih masuk hitungan meski urutannya
di bawah cinta.
Dalamnya
cinta Syarif tercermin dari sikapnya yang memperlakukan laut dan lingkungannya
dengan penuh kasih, dan tak segan menghardik siapapun, ya siapapun yang
memperlakukan laut dengan tidak semestinya. Cerita yang menjadi legenda di
kampung Syarif adalah ketika ia menempeleng anak kepala kampung yang berumur 10
tahun hanya karena ia membuang bungkus makanan dari atas kapal penangkap ikan
milik ayahnya. Kejadian itu cukup menyadarkan warga kampung bahwa cinta nya
Syarif sudah sedemikian dalamnya, dan cenderung sebagai penyakit akal.
Syarif
cinta akan laut. Walaupun ia
tidak bisa berenang.
Ya,
ia sama sekali tidak bisa berenang. Bukan karena ia tak mau belajar. Sudah
sering kali ia belajar dan diajar untuk nyemplung dan mengapung di air, tapi
karena alasan yang mungkin hanya semesta yang tahu, kakinya seakan beku tak
bisa bergerak. Acap kali sudah ia hampir mati di laut yang dicintainya. Acap
kali pula ia dicemooh kawan-kawan di desanya.
"Tapi tak mengapa",
pikirnya, "toh tanpa berenang aku tetap bisa
melaut, tetap bisa dekat dengan apa yang aku cintai".
"Dan juga, bukankah manusia itu tidak sempurna?
Maka Cinta tidaklah harus menuntut sesuatu yang sempurna dari pihak - pihak
yang sedang merasakannya; cinta lah yang nanti akan menyempurnakan
manusia", batin Syarif mengiyakan. Jadi begitulah,
berhari-hari ia pergi melaut, yang kadang lebih lama dari kawan seprofesinya yang
lain, meski ia pulang membawa hasil tangkapan yang lebih sedikit.
Purnama
bulan ini membuat malam menjadi benderang. Saat-saat seperti inilah ombak
menjadi sedikit lebih tinggi daripada biasanya. Jalanan kampung terang dengan
sinar bulan dan obor di depan masing-masing rumah warga. Dari kejauhan terlihat
siluet-siluet kendaraan besar, tetapi raungnya sudah terasa dekat di kuping
yang mendengar.
Panser, itu adalah panser
militer. Suara raungan yang membuat cemas seketika, bahkan untuk pribadi yang
tak bersalah sekali pun. Rombongan pertama panser dengan umbul-umbul merah
putihnya dan barisan tentara di belakangnya
tiba di tengah kampung saat purnama masih belum di pucuk kepala. Warga
berkumpul di tengah kampung atas suruhan tentara yang berkeliling ke
rumah-rumah, menyuruh warga melepaskan damai malam purnamanya. Syarif termasuk
dalam keramaian tersebut, setelah ia yang sedang mandi sinar purnama di tepi
pantai di hardik dua orang tentara untuk segera kembali ke desa.
Seorang berwajah sangar keluar dari dalam panser paling depan, dari atas panser itu ia membacakan maklumat: "Kampung ini terdeteksi sebagai sarang dan pemasok untuk gerombolan PN, bagi kalian yang mempunyai informasi dan atau merasa menjadi bagian dari gerombolan, harap maju ke depan, demi kebaikan bersama!" , teriak si sangar dengan suara serak yang kaku.
Seorang berwajah sangar keluar dari dalam panser paling depan, dari atas panser itu ia membacakan maklumat: "Kampung ini terdeteksi sebagai sarang dan pemasok untuk gerombolan PN, bagi kalian yang mempunyai informasi dan atau merasa menjadi bagian dari gerombolan, harap maju ke depan, demi kebaikan bersama!" , teriak si sangar dengan suara serak yang kaku.
Warga
desa hanya diam, Syarif pun. Mana mereka tahu tentang gerombolan, tentang ikan
mungkin mereka tahu. Gerombolan hanya pernah mampir sekitar 2 bulan lalu, untuk
meminta air dan perbekalan, dan meneruskan perjalanan menyeberang gunung karang
di selatan sana. Warga sudah curiga kalau
barisan orang-orang yang kelaparan itu akan membawa petaka bagi kampung yang
disinggahinya. Hanya
itu, tapi mana ada jiwa yang berani cerita? Sedang untuk bersuara pun mereka
gemetaran.
Ketika
warga yang hampir semuanya memikirkan hal yang sama, sekonyong-konyong 4 orang
diantara mereka berlari dari kumpulan massa, berlari ke arah rumah-rumah,
dengan alasan yang hanya Tuhan dan mereka berempat sajalah yang tahu. Refleks
saja para tentara yang dari tadi berbaris
rapi di depan penduduk berlari mengejar sembari berteriak semacam peringatan. Lalu suara rentetan senjata
menggema sebentar, untuk terus
hilang terbawa angin laut. 3 orang yang lari tadi segera
tersungkur, sedang satu orang berhasil hilang di antara rumah-rumah kampung.
Warga yang sedari tadi hanya termangu, mendengar rentetan senjata yang demikian
kerasnya, dan tentara
yang berderap ke arah mereka, sontak menjerit takut. Mereka bubar, berlari
dalam kebingungan. Tentara-tentara yang bingung menyangka mereka berlari untuk
mengikuti jejak teman mereka yang 4 orang tadi, lantas mulai menarik
pelatuk. Darah.
Darah
mulai terlihat merahnya di bawah sinar purnama. Syarif yang menyaksikan
peristiwa tersebut
juga berlari, berlari tambah kencang. Dua-tiga peluru terasa melewati telinga
kiri nya. Ia berlari tanpa arah, kakinya tanpa sadar membawanya kepada pasir
pantai. Ia tiba di tepi laut. Ia sempatkan menengok ke arah kampung, binar
cahaya memerah mulai tersembul di balik pohon-pohon kelapa yang rapat sebagai
pembatas antara kampung dengan pantai, di sertai suara teriakan yang riuh dan
pilu.
"Api! Mereka membakar desa!",
pikir Syarif.
Ia
lemas, lalu berlutut. Dalam hati segera merapal doa-doa keselamatan. Di
belakang, terdengar suara orang menebas semak dan teriakan lantang. Tentara
sudah menyusul Syarif hingga ke pantai. Syarif tersentak dari doanya, dan
merasakan kecemasan hebat dalam debaran jantungnya yang sangat cepat. Apa yang
harus aku lakukan, pikirnya. Tiba-tiba, ia berdiri sambil melompat kedepan,
tergopoh, ia berlari ke arah laut. Ya, kepada siapa lagi ia meminta
perlindungan jika bukan kepada yang dicintainya? Ia berlari hingga kakinya
merasakan dinginnya air laut. Sedang di belakang, para pengejarnya terasa sudah
semakin dekat. Riuhnya desa dan sesekali rentetan suara senapan masih terdengar
mengangkasa, di langit kampung yang terbias oranye oleh api. Syarif berlari
hingga air laut sebetis membenamnya, lalu sepinggang. Berlari sudah kian berat
terasa, ia kini berjalan terhuyung melawan hempasan gelombang. Sambil dibantu
gerakan tangan, ia terus menuju tengah. Ketika air sudah mencapai dada, ia
sudah siap. Ia berjalan hingga tinggal ujung kaki saja yang dapat menyentuh
dasar berpasir berkarang sedikit tajam.
Ia
lantas berteriak, "Laut, selamatkanlah!" .
Sekonyong-konyong sebuah ombak yang tinggi menyapu kepalanya, hingga Syarif hilang
wujudnya di antara air laut yang beriak kasar, disaksikan oleh purnama yang
sudah di pucuk kepala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar