Pages

Minggu, 26 Juni 2016

Jatuh

Bias kemuning pada pagi berkabut
Emasnya memendar nama keduamu
Panggilan yang dalam hati ku elu
Sedari dulu
Dan kala kau menengok lucu
Aku jatuh
Macam embun-embun pagi pukul tujuh

CGK, 24 jun '16

Kamis, 23 Juni 2016

Bisikkan Bandara

Dengarlah lantunan langkah-langkah
Pada marmer kuala mengkilap
Yang bukan lagi derap-menderap
Tapi membisikkan sebuah nama
Sayu pada pagi yang buta
Rindukah pada wajah senyumnya?

Nama siapa? Siapa nama?
Apa arti berdua kita?
Dengarlah gema suara-suara
Pada dinding bata kelam memerah
Yang membisik sebuah harapan
Ramalan tentang tautan,
arti kita berdua apa
Semoga...
?

T2F4, 24 Juni '15

Kamisan

Layang itu terbang tak terpandang
Hilang dihujung benang
Tak lagi bapak ibu hiraukan
Hingga putus senar-senar ingatan

Bukanlah kami keramatkan
Maka bisa bukan kamisan, bisa saja rabuan
Hanya hari itu anak kampung berkumpul sedih, berpeluh lirih
Bingung disepoi hati baru generasi
Bakda saban petang mengejar layangan
Yang putus senar ingatan
Hilang dalam kepikunan
Bapak ibu sekalian

Kamis, 2 juni 16

Rabu, 15 Juni 2016

Menangis Itu Baik yang Tidak Terlalu Baik

Sepanjang kehidupan remaja dan dewasaku (ah masa sih?), aku hanya beberapa kali menangis. 
Pertama, Maret 2011, saat Papa pulang ke surga. Ketika bertemu pertama kali dengan beliau yang sudah berganti  ke pakaian terakhirnya, heran, aku tidak menangis. Sepanjang malam aku hanya merenungi tentang dosa-dosaku kepada beliau, dan keinginan-keinginan beliau kepadaku yang belum sempat terwujud. Sesak luar biasa, tentu, tapi herannya air mata tidak mau keluar sedikitpun. Juga aku tahu, Papa tak mau dilepas dengan sesenggukkan. Lalu malam pertama setelah beliau berpindah ke rumah terakhirnya, aku berkumpul dengan sanak saudara, bercerita dalam suasana duka yang di riang-riangkan. Dan ketika tiba saat aku menceritakan tentang ingatan-ingatanku tentang Papa yang humoris keterlaluan, tiba-tiba air mata meluncur begitu saja. Dan sepersekian detik berikutnya, aku telah tersedak dengan ingus sendiri beserta pandangan yang kabur oleh air yang menumpuk di pelupuk.
Kedua, adalah saat mama kecelakaan. Hari itu 17 agustus, aku sedang berada di puncak gunung untuk melaksanakan upacara bendera. Pagi dingin tiba, hari merdeka, dan kabut belum sepenuhnya hilang. Seorang ranger gunung berlari, mencari seseorang yang bernama Gerhana yang sepertinya seantero gunung hanyalah aku pemiliknya. Aku pun menghampirinya, turun satu pos ke arah bawah dari camp ground yang lebih ke pucuk. Tiba di pos tersebut, tepat sebelum aku bertatap muka dengan sang ranger, ponsel sepupuku berbunyi yang entah bagaimana bisa mendapatkan sinyal seiprit di atas gunung sini. Sebuah pesan singkat yang berbunyi:
"Yo, pulang sekarang. Mamamu kecelakaan, sekarang di rumah sakit." 
Sontak mataku blur oleh air yang mendesak-desak. Aku menangis tanpa suara. Aku hanya mengatakan kepada sepupuku
"Bang, ayo kita pulang bang, mama di rumah sakit".
Aku berlari di lereng gunung tanpa lagi memperhatikan pijakan. Dan kadang sepupuku tertinggal jauh di belakang. Tidak ada lagi nyanyian dan yel-yel seperti saat menanjak kemarin. Yang ada hanyalah isak. Ya, sekarang tangisku bersuara. Mama adalah segalanya bagiku, dan pikiran-pikiran buruk tentang apa yang telah terjadi kepada beliau sangat menyiksa otak dan batin, sekaligus memberi tenaga kepada kaki untuk terus berlari.
Sampai di pos awal pendakian, telah ada orang yang menjemputku. Di sana tangisku reda. Dan kami memacu mobil dari desa pendakian menuju kota secepat yang kami bisa. Dan setelah bertemu Mama, tangisku kembali pecah. Aku menangis seperti bayi yang dicerai dari netek. Sembari meleler, aku bersimpuh di sebelah Mama. Tangannya patah. Dan otakku berputar mencari cara untuk mencelakakan orang yang telah mencelakakan Mama, hahaha.
Ketiga, adalah hari ini, saat aku mengabarkan kepada Mama bahwa anaknya gagal sidang (lagi) dan terancam mundur wisuda. Aku menangis saat mendengar suaranya yang di tenang-tenangkan.
"Mama ngerti nak, ini bukan salah kamu. Mama cuma sedih liat kamu yang terombang-ambing begini".
Aku meleler dahsyat. Ingusku sepertinya tumpah ruah. Sepanjang hidupku, aku merasa ga pernah membanggakan Mama. Prestasiku dibawah standar. Ga pernah menang suatu lomba (pernah juga sih waktu SD). Dan sekarang, setelah menghambur-hamburkan rezeki yang beliau dapatkan dengan susah payah demi anaknya bertitel sarjana, aku kembali membuatnya kecewa. Ah Mama, betapa kau mulia, meski diberi cobaan dengan dititipkan anak sepertiku kepadamu.
Keempat, sepertinya belum ada. Atau aku lupa? Nantilah kalau ada (atau teringat) aku ceritakan kembali.
Nah intinya adalah (biar sesuai sama judul), menangis itu baik. Menurutku loh. Tapi menjadi tak terlalu baik jika berlebihan dan keseringan, terutama bila kau seorang lanang. Jadi menangislah, karena menangis adalah sebuah ekspresi yang kaya: sedih, senang, haru, cinta, bahagia, marah. Dan menangis membantu melepaskan beban yang mungkin tidak bisa dikonversikan menjadi kata-kata, maka jadilah air mata. Tapi menangislah secukupnya hai lanang. Bukan maksudku menempatkan wanita sebagai yang harus nangis lebih banyak, bukan. Tapi lanang, bila kau nangis berlebihan, ketika ibumu, kakak perempuanmu, jodohmu, atau semua wanita yang kau kasihi menangis, siapa yang akan menyeka air mata mereka jika kau sendiri sibuk menyeka air matamu dan mensrepet ingusmu sendiri? 
Nah begitulah, sok bijak nian kan aku? Biarlah, biar sesuai sama judul. Biar penuh pula blog ini, dan tidak hanya berisi sajak sampah dan gombalan. Meski kalimat barusan cheesy minta ampun, he.
Eh, tapi sebelum pamit, aku sepertinya pernah menangis sekali lagi. Tapi aneh, yang keluar bukan air mata, tapi manifestasinya muncul sebagai demam, yang membakar jidat, leher, sampai ke sela-sela jari. Hingga sekarang, aku masih di kompres bye bye fever dan di tempel koyo hansaplast. Mahal bukan?
Dan demam itu mungkin karena aku berusaha keras menahan air mata demi selarasnya aku dan konsep kelananganku.
Ha! 
Kapan ya aku mulai demam? Sepertinya setelah obrolan kita di suatu pagi saat hari libur, ketika ponsel ku berdering dan diujung sana adalah isak tangismu bersuara. 


di Kamar yang belang macam permen,
15 Juni '16


Selasa, 14 Juni 2016

Pertemuan

Sekarang, sebutir peluru menembus dada. Aku berbaring bersimbah darah  diantara pekik-letus bergaung nyaring. Lihatlah langit yang maha luas, tak acuh sedikitpun dengan riuh di kolongnya. 
Aku merasa berdosa, atas khayalku sekarang yang hanya tentang kau, bukan yang lain. Padahal kukira setiap persona layak kuingat kembali jasanya sebelum aku pergi. Tapi kenapa hanya nona sahaja? Rupanya aku memang telah bersalah, terjebak di tautan matamu malam itu. Meski namamu sudah samar di ingatanku, tatapmu masih mengganggu. 
Aduh nona, temanilah aku hingga penghujung. Sekarang pekik-letus hanyalah sekedar gema di telinga, dan setengah tubuhku kesemutan juga mati rasa. 
Hai nona, temanilah aku hingga penghujung. Rasanya sebentar lagi semua menjadi putih. Kuharap ini tak membuatmu sedih.



Yogyakarta, 1 Maret 1949

Zalim

Kami di zalimi para tetua
Kami diami demi cari pahala,
Dan ibu kami ajari jauhi dosa
Tetua bilang:
Yang muda harus kalah,
Yang tua benar segalanya.
Tak apa, kami diami saja
Meski kalimat mereka
Telah sampai ke titik rendah
Tak apa
Kami yakin janji Allah nyata.

PSBJ tercinta, 14 Juni '16

Sabtu, 11 Juni 2016

Takdir Salju Atas Matahari

Bising macam lebah. Tetap masuk ke pikiran meski aku sedang tak ingin. Aku menebar pandang ke sekeliling; ke lampu gantung, ukiran pilar dan tembok, patung-patung, semuanya indah, meski tetap saja bising. Seorang pria tua sedang tegak di mimbar berlatar merah, mengeraskan suara demi tua-muda dihadapannya. Serta yang lain asik berdebat sesamanya: bising. Sedang pelupuk mataku diberati bayangmu. Hatiku panas macam diungguni, ingin kubuka rasanya kancing-kancing kemeja. Bukan hakku untuk marah, memang. Setinggi apapun angkuhnya, makhluk tetap tak punya hak memarahi panasnya cahaya yang ditimbulkan matahari. Kenapa? Karena cahyanya menghidupkan bumi! Meski keling legam kulitnya nanti.
Berita tentangmu telah tiba padaku bak gemuruh ombak yang membuyar diri. Dan kini, urusan politik kupersetankan, karena semua terasa bising macam lebah, tak kupahami lagi bahasanya. Detik ini dan mungkin hingga beberapa detik kedepan, alam pikirku akan berisi doa-doa kebaikan untukmu, meski bukan seperti yang kuharapkan. Otakku membungkus tiap doa-doa dengan sajak C.A.
“…Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka”
Siaplah ku kirimkan. Selamat, dengan tulus ku ucapkan. Kau akan terus memberiku kehangatan, aku yakin. Meski pada hidup yang berbeda, aku harap kita tak menjadi asing. “Sedang aku mengembara serupa Ahasveros”.
Dan sesuai takdirnya, matahari berbahaya bagi salju, bahkan dalam sayang sekalipun.



Moskow, 1967, dalam dingin yang membara

Jumat, 10 Juni 2016

Terbayang

Papa terbangun ketika aku tiba. Matanya membuka sayu perlahan, lalu terang yang dikuat-kuatkan. "Hei, kapan tiba?", tanyanya dengan girang yang sama dengan kemarin dulu. Aku menjawab dengan hampir tersedak, pemandangan di depan ku sekarang sungguh membuat aku tersedak dengan beribu perasaan yang ingin membuncah merobek dada. 
"Barusan saja, pa", jawabku yang juga kuberi nada yang girang, sebisa mungkin kusamakan dengan girang yang kemarin dulu. Ia berusaha bergerak, sedikit menggeser tubuhnya keatas kukira. Tapi sulit, hanya berhasil menggoyang-goyangkan selang-selang infus dan lainnya. Tv ruangan berbunyi pelan, bercakap dengan deru tabung oksigen. Diantara itu terdengar keluhan sakit yang samar. Aku tahu, sengaja ia samarkan. 
"Gimana ujianmu? Lancar?"
"Lancar pa, Alhamdulillah"
Ia mengangguk-angguk. Aku ingin palingkan muka! Ya Raja Semesta: nyali hamba belumlah cukup. Ia yang selalu tertawa dalam gagahnya, ia yang selalu ramah dalam wibawanya, ia yang selalu sehat, meski tongkat tak lagi bisa lepas dari tiap langkah. Tapi sekarang lain, ia begitu lemah. Ia begitu tak berdaya, meski senyum terus mengembang diantara raut-raut sakit yang berkerut. Dan janggutnya tak lagi sepekat kemarin dulu.
"Mana mama mu? Kau bareng dia kan?"
"Ada pa, masih di luar"
"Coba tolong kau panggil dulu"
Aku keluar ruangan tanpa jawab, bahkan tidak sebuah angguk pun. Seperti lari, ya aku ingin kabur. Aku ingin melepaskan diri dari semua pilu yang dimanifestasikan keadaan ini. Setitik rasa bahwa waktunya tak kan lama lagi perlahan muncul dihati, yang ku tekan sekuat mungkin aku bisa tekan. Persetan dengan kenyataan dan fakta-fakta. Aku ingin ia tetap ada, selamanya! Ingin tetap ditelponnya, dicandanya, dan sesekali dimarahinya. 
Kutemui Mama yang baru tiba di pucuk anak tangga. Kusampaikan kabar, Papa mencarinya. Setelah ia masuk, kutinggalkan mereka berdua. Kehadiran Mama di dalam ruangan yang sama tentu lebih mendalamkan luka padaku. Maka aku berlari ke bawah, ke sebuah mushola. Kupanjatkan doa sebaik-baiknya doa, meski dalam kata-kata aku menipu keinginanku sendiri. Bahwa bila sudah saatnya maka bawalah ia pergi dan lepaskan sakit-penyakit dunia-nya. Tidak! Hatiku memberontak. Aku ingin ia tetap ada. Aku ingin bersama Papa!


Dalam rindu yang berat, 11 Juni '16


Minggu, 05 Juni 2016

10 detik

Dalam remang aku menunggu
Tanganmu kiri lepas tautan kanan
Dan bersandar di bantalan antara dua kursi
Adalah untuk ku genggam tentu
Dalam diam, dalam debar, dalam pelan
Lalu menatapmu takut dari mata sisi
Berharap senyum yang bibirmu tarik
Bila tidak, genggamanku hanya 10 detik
Karena katanya,
lebih dari 5 detik bisa munculkan listrik

Bioskop, 13 mei '16

Sabtu, 04 Juni 2016

Sepi

Matanya berkaca-kaca, takkan lama lagi sudah akan tumpah semua air mata. Dengan pandangan yang berlinang itu tapi, ia masih tetap menatap cermin. Lekat dan dalam, sudah sejak sepuluh menit lalu ketika matanya belum berair banjir.
Biasanya, ia menatap cermin dengan nada riang, dimana simpul senyum rajin dijalin kulum. Tapi tidak malam ini, saat rintik di luar kamar juga terjadi di dalam mata dan otaknya. Cermin adalah sahabatnya. Hanya disana ia bisa bercanda-dicanda, mengobrol rupa-rupa, mendengar semua cerita, dan diatas semuanya adalah: ia diperhatikan. Cermin lah sosok yang rajin memperhatikannya di dunia ini, selain itu nihil. Maka cermin adalah semua-mua baginya. Tetapi hujan di luar punya sihir yang kuat untuk menarik semua akal sehat. Malam itu ia kelu oleh sendu yang menyeruak masuk, buncah oleh rasa sepi yang sedemikian jahat hingga cermin sahabatnya tak mampu menghibur. Ia kira sifat dasar manusianya telah jauh ia kubur dalam-dalam, tapi hujan malam itu menggalinya sedemikian rupa. Ia kesepian, merasa ditinggalkan, dimana tak diharap lahir di atas bumi. (Lagi).
Malam ini ia membenci sosok di cermin. Sosok yang lemah, yang kalah, tak berharga. Hanya seorang tumbal dari amarah-amarah yang berputar macam taifun di dunia sekitarnya. Dalam genang yang membuat pandang berbayang itu, ia marah, dan meninju sosok di cermin itu sekuat tenaga dengan harapan sosok itu hilang selamanya. Toh dunia juga takkan peduli dengan hilangnya. Tinju kanannya telak ke arah muka di kaca, tapi-tetapi, tinjunya mengenai hampa. Separuh lengannya hilang menembus kaca, membuat ia terhuyung ke depan akibat hempasan tenaganya. Dengan kening mengkerut, linangnya menghilang perlahan. Ia heran berbaur takut: kemana gerangan tanganku pergi?. Lalu ia mencoba menggapai permukaan cermin dengan telapak kirinya, yang lalu hilang juga menembus cermin. Kedua tangan itu tak ia tarik, meski ia takut. Kali ini ia sodorkan muka kepada cermin untuk juga hilang, maka tembuslah muka hingga batang lehernya, masuk ke sebuah dunia di balik cermin. Setelah kembali jumpa dengan kedua tangannya, lalu ia susulkan masuk kesemua anggota tubuh yang lain.
Dunia di balik cermin itu mirip dengan dunia tempat ia hidup, tapi sepertinya di dunia cermin tersebut absen oleh taifun. Dunia cermin adalah padang rumput yang maha luas dengan langit cerah berawan dan matahari yang ceria tanpa terik sama sekali, sehingga angin sepoi leluasa menari-nari menghibur sosoknya yang baru hadir di dunia cermin ini. Ia terperangah dan terpesona, betapa indahnya sebuah kesepian, pikirnya. Sebuah sepi yang sejati dimana hanya ada ia seorang disana. Lalu ia berlari. Berlari jauh sekali. Ia biarkan sepoi yang menentukan arah, dan rumput yang memberi tenaga kakinya. Hingga ia berhenti pada puncak sebuah bukit berhulu sungai dimana ia bisa melihat lebih luas lagi kepada sebuah padang tanpa ujung macam pedang tanpa hujung. Mulai sekarang aku akan hidup di sini, pikirnya, sembari duduk di tepian sungai. Dcelupkannya kaki sebetis ke dalam sungai yang dingin, ikan-ikan kecil segera merubungi. Di kala itu ia berbaring di tepi, menarik nafas yang panjang dan menghela tenang sekali, senada dengan matanya yang mulai menutup. Ya, ia akan hidup di sini, dan sepi tak lagi memunculkan air di matanya.
*****
Ibu masuk ke kamarku hari ini. Dan seperti biasa ketika pintu telah terbuka, ibu akan menjerit. Tapi jeritan kali ini lain, rasanya lain sekali. Sebabnya gerangan? Apakah karena aku tak langsung turun ketika ibu memanggilku? Atau apakah karena ibu melihat cerminku yang pecah-buyar di lantai? Atau karena ibu melihatku menggenangi diri dengan darah nadi diantara serpihan kaca? Biasanya, aku takut ketika teriakan ibu menggema. Tapi tidak kali ini. Kali ini aku hanya bingung, tetapi tidak takut. Karena kali ini, aku telah punya dunia yang lain. Dunia yang sama, tetapi jelas berbeda. Untukku, setidaknya.

Biru, 15 May ‘16