Papa terbangun
ketika aku tiba. Matanya membuka sayu perlahan, lalu terang yang
dikuat-kuatkan. "Hei, kapan tiba?", tanyanya dengan girang yang sama
dengan kemarin dulu. Aku menjawab dengan hampir tersedak, pemandangan di depan
ku sekarang sungguh membuat aku tersedak dengan beribu perasaan yang ingin membuncah merobek dada.
"Barusan
saja, pa", jawabku yang juga kuberi nada yang girang, sebisa mungkin
kusamakan dengan girang yang kemarin dulu. Ia berusaha bergerak, sedikit
menggeser tubuhnya keatas kukira. Tapi sulit, hanya berhasil
menggoyang-goyangkan selang-selang infus dan lainnya. Tv ruangan berbunyi pelan,
bercakap dengan deru tabung oksigen. Diantara itu terdengar keluhan sakit yang samar. Aku
tahu, sengaja ia samarkan.
"Gimana
ujianmu? Lancar?"
"Lancar pa,
Alhamdulillah"
Ia
mengangguk-angguk. Aku ingin palingkan muka! Ya Raja Semesta: nyali hamba belumlah cukup. Ia yang selalu tertawa dalam gagahnya, ia yang selalu ramah dalam
wibawanya, ia yang selalu sehat, meski tongkat tak lagi bisa lepas dari tiap
langkah. Tapi sekarang lain, ia begitu lemah. Ia begitu tak berdaya, meski
senyum terus mengembang diantara raut-raut sakit yang berkerut. Dan janggutnya
tak lagi sepekat kemarin dulu.
"Mana mama mu?
Kau bareng dia kan?"
"Ada pa, masih
di luar"
"Coba tolong
kau panggil dulu"
Aku keluar ruangan
tanpa jawab, bahkan tidak sebuah angguk pun. Seperti lari, ya aku ingin kabur.
Aku ingin melepaskan diri dari semua pilu yang dimanifestasikan keadaan ini.
Setitik rasa bahwa waktunya tak kan lama lagi perlahan muncul dihati, yang ku tekan
sekuat mungkin aku bisa tekan. Persetan dengan kenyataan dan fakta-fakta. Aku
ingin ia tetap ada, selamanya! Ingin tetap ditelponnya, dicandanya, dan
sesekali dimarahinya.
Kutemui Mama yang
baru tiba di pucuk anak tangga. Kusampaikan kabar, Papa mencarinya. Setelah ia
masuk, kutinggalkan mereka berdua. Kehadiran Mama di dalam ruangan yang sama
tentu lebih mendalamkan luka padaku. Maka aku berlari ke bawah, ke sebuah
mushola. Kupanjatkan doa sebaik-baiknya doa, meski dalam kata-kata aku menipu
keinginanku sendiri. Bahwa bila sudah saatnya maka bawalah ia pergi dan
lepaskan sakit-penyakit dunia-nya. Tidak! Hatiku memberontak. Aku ingin ia
tetap ada. Aku ingin bersama Papa!
Dalam
rindu yang berat, 11 Juni '16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar