Pages

Jumat, 10 Juni 2016

Terbayang

Papa terbangun ketika aku tiba. Matanya membuka sayu perlahan, lalu terang yang dikuat-kuatkan. "Hei, kapan tiba?", tanyanya dengan girang yang sama dengan kemarin dulu. Aku menjawab dengan hampir tersedak, pemandangan di depan ku sekarang sungguh membuat aku tersedak dengan beribu perasaan yang ingin membuncah merobek dada. 
"Barusan saja, pa", jawabku yang juga kuberi nada yang girang, sebisa mungkin kusamakan dengan girang yang kemarin dulu. Ia berusaha bergerak, sedikit menggeser tubuhnya keatas kukira. Tapi sulit, hanya berhasil menggoyang-goyangkan selang-selang infus dan lainnya. Tv ruangan berbunyi pelan, bercakap dengan deru tabung oksigen. Diantara itu terdengar keluhan sakit yang samar. Aku tahu, sengaja ia samarkan. 
"Gimana ujianmu? Lancar?"
"Lancar pa, Alhamdulillah"
Ia mengangguk-angguk. Aku ingin palingkan muka! Ya Raja Semesta: nyali hamba belumlah cukup. Ia yang selalu tertawa dalam gagahnya, ia yang selalu ramah dalam wibawanya, ia yang selalu sehat, meski tongkat tak lagi bisa lepas dari tiap langkah. Tapi sekarang lain, ia begitu lemah. Ia begitu tak berdaya, meski senyum terus mengembang diantara raut-raut sakit yang berkerut. Dan janggutnya tak lagi sepekat kemarin dulu.
"Mana mama mu? Kau bareng dia kan?"
"Ada pa, masih di luar"
"Coba tolong kau panggil dulu"
Aku keluar ruangan tanpa jawab, bahkan tidak sebuah angguk pun. Seperti lari, ya aku ingin kabur. Aku ingin melepaskan diri dari semua pilu yang dimanifestasikan keadaan ini. Setitik rasa bahwa waktunya tak kan lama lagi perlahan muncul dihati, yang ku tekan sekuat mungkin aku bisa tekan. Persetan dengan kenyataan dan fakta-fakta. Aku ingin ia tetap ada, selamanya! Ingin tetap ditelponnya, dicandanya, dan sesekali dimarahinya. 
Kutemui Mama yang baru tiba di pucuk anak tangga. Kusampaikan kabar, Papa mencarinya. Setelah ia masuk, kutinggalkan mereka berdua. Kehadiran Mama di dalam ruangan yang sama tentu lebih mendalamkan luka padaku. Maka aku berlari ke bawah, ke sebuah mushola. Kupanjatkan doa sebaik-baiknya doa, meski dalam kata-kata aku menipu keinginanku sendiri. Bahwa bila sudah saatnya maka bawalah ia pergi dan lepaskan sakit-penyakit dunia-nya. Tidak! Hatiku memberontak. Aku ingin ia tetap ada. Aku ingin bersama Papa!


Dalam rindu yang berat, 11 Juni '16


Tidak ada komentar:

Posting Komentar