Pages

Selasa, 25 Oktober 2016

Hujan tiada deras, kecil-kecil saja gerimisnya. Hanya sang hujan tidak berhenti menghujam bumi sejak pagi, menyipratkan bercak-bercak tanah pada kaki-kaki yang berlalu lalang di bawah siramannya. Pada pandanganku, sang geulis berselimut kabut putih yang tipis. Rimbunnya masih samar menghijau, dan herannya, ia terlihat hangat dalam semua kedinginan ini. 

Bukan, bukan aku akan mengeluh. Bukan aku mengharapkan hujan berhenti diantara semua tetesan dari daun jambu. Biarlah saja hujan ini awet dan mengawetkan, dunia dan para khalayak gulma sekalian. Tapi begini: mengapa tuan bawa-bawa semua balatentara rundung pada hati? Mempertanyakan lagi semua yang harusnya sudah pasti? 

Hamba tak ingin menjadi seseorang tanpa tulang belakang, yang meliak-liuk dan senantiasa merubah arah perjalanan. Hamba ingin menjadi sesuatu yang pasti, memegang janji-janji: bahwa apa yang telah aku pastikan takkan kuhilangkan keyakinan. Aku telah yakin kepada semua segala, maka enyah kau ragu! Biar saja cemburu-cemburu itu! Ini kugenggam tanah basah dan kuratakan ke seluruh muka, biar ia menunjukkan wajah masa depan yang sesunggunya. Inilah resiko hidup, ia yang tak berani mati oleh pilihannya sendiri maka tak berhak mati sama sekali. Aku harap aku adalah hamba yang diberkahi oleh mantra itu. 

Baiklah hujan, sila kau tak berhenti. Kurasa aku tak kedinginan lagi, karena dunia kini berpihak pada hamba dengan memancarkan cahaya matahari pada hati hamba pribadi. Dan itu aku syukuri, bahkan di tengah gelap mendung yang tak berkesudahan ini.

Baiklah hujan, telah kau dengar celotehanku sore ini, terimakasih aku haturkan padamu, pada warna-warni payung terkembang di bumi dan pada geulis yang tidur berkelimbung selimut putihnya. 

Nuhun ah.



PP, 25 Okt '16

Selasa, 04 Oktober 2016

Hujan di Mimpi


Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari



Hujan semakin deras meski tidak terlalu ganas seperti badai pada bulan-bulan kemarau. Derasnya terasa hadir pada setiap titik rintik yang menempel ramai pada kaca depan mobil, kian cepat berganti oleh titik-titik yang baru. Yang lama dengan cepat tersapu ke pinggir oleh sebuah sapuan sepasang wiper kaca. Seperti manusia saja rintik itu, pikirku. Ah, aku mulai merenung kejauhan, padahal mobil masih berjalan di bawah kuasaku.

Langit kota berselimut mendung yang membuat sore ini temaram. Padahal menurut perasaanku siang baru saja beranjak, dan petang masihlah terlalu muda untuk semurung ini. Kutarik tangan kiriku untuk melihat jam tangan yang melekat, tetapi tanganku tertahan oleh sesuatu yang lembut, yang mesra. Tanganmu masih erat menggenggam tanganku. Dan matamu masih rapat memejam pulas. 
Aku sempatkan memperhatikanmu sejenak, yang lalu menghasilkan senyuman tanpa disengaja pada bibirku. Entahlah, mungkin aku merasa nyaman melihat parasmu. Dan melihatmu tidur tenang seperti ini membuatku merasa tenang dan senang, terbuai seperti ketika terbangun dari tidur yang mengistirahatkan raga yang dibalut mimpi-mimpi indah. Aku mengeratkan genggamanku padamu. Persetan dengan waktu, pikirku. Aku tak lagi peduli sekarang jam berapa. 


Aku kembalikan pandanganku ke arah jalan. Cukup berbahaya juga bila fokusku teralihkan lama seperti barusan. Untung saja jalanan sore ini lengang, sepi. Aneh, tak seharusnya jalan J seperti ini kala pukul dan kondisi seperti sekarang. Harusnya mobil berteret dan saling berteriak antar sesamanya dengan klakson yang memekakkan, sedang pengendara motor bakal ngaso di pinggir-pinggir jalan, kalau bukan di bawah beton jalan layang. 


Tapi tidak kali ini. Jalan J sepi. Benar-benar sepi. Yang ada hanya suara deras hujan yang turun. Ke aspal, ke pohon, ke tiang-tiang lampu yang mulai benderang, dan ke kaca mobil, dimana di kaca mobil, mereka, rintik-rintik itu, terlihat saling berlomba antar sesamanya dalam bulir yang bergulir. 
Tak seharusnya J sesepi ini.

Semesta bicara tanpa bersuara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah

Di luar mesti dingin. Ranting saja bergoyang, apalagi tungkai manusia. Tapi tidak di dalam mobil meski pendingin tetap kunyalakan demi menghindari kaca depan yang berkabut. Darimana asal hangat ini? Dari kehadiranmu? Dari genggamanmu yang lembut tetapi erat itu? Dari dengkur halusmu yang menenangkan itu? Dari segenap rasa-rasa yang beredar diantara kita yang dengan magis terkonversi menjadi kalor yang menghangatkan? Ya. Aku yakin pasti karena hal-hal itu. Pasti karena kau.



Aku ingin memandangmu lebih lama. Maka kuputuskan menepikan mobil setelah melewati simpang lampu merah. Di pinggir jalan, aku memandangmu yang masih sabar mengatur ritme nafasmu dalam tidur. Aku memandang semua sisi-sisi wajahmu, garis hidungmu, tempat akhir deretan alismu, simetri matamu, merah pipimu, dan segi-segi bibirmu. Aku memandangmu lekat, dan hangat. 

"Magis", kataku sembari mengelus pipimu. Kembali terbit sebuah senyum. Hah. Baiklah, mungkin saatnya kita lanjutkan perjalanan. Sebuah keharusan untuk mengecup punggung tanganmu sebelum pedal gas kembali aku tekan.


Jalanan masih sunyi tanpa lalu-lalang. Dan kau masih pulas dalam tidur yang menenangkan. Apakah kau lelah? Aku yakin kau kelelahan. Mimpi-mimpi telah melelahkan kita semua. Hujan masih deras meski tidak mengganas, mengguyur dingin pada apapun benda yang ada diluar sana, tapi tidak di dalam sini. Aku sampai pada suatu titik dimana aku percaya: aku dalam mimpi. 

Lalu pedal gas kuinjak perlahan, menuju suatu tempat yang entah apa dan dimana.
Aku menunggu saat-saat aku dibangunkan.


Semesta bergulir tak kenal aral
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti genangan akankah bertahan
Ataau perlahan menjadi lautan



Utara, 4 Okt '16
*Judul dan lirik dari Banda Neira - Hujan di Mimpi