Pages

Jumat, 11 Maret 2016

Sampai Jadi Debu

Badai Tuan telah berlalu
Salahkah ku menuntut mesra?
Tiap pagi menjelang
Kau di sampingku
Ku aman ada bersama mu

Diluar masih hujan deras. Angin dingin khas hujan sore merangsek masuk melalui sela-sela teralis jendela yang kacanya sengaja dibiarkan terbuka. Tepat  di samping jendela, di atas meja yang penuh dengan buku-buku, gelas kopi, dan alat-alat tulis, ia membaringkan kepalanya di atas lengan yang dilipat disusun menjadi pembaringan empuk yang sederhana, sedang wajahnya terang disinari cahaya sore yang kelabu, dan rambutnya diterpa cahaya dari sebuah laptop yang tebuka menyala. Dilayarnya, terbuka sebuah tulisan tentang masa lalu dan masa depan, ditulisnya sendiri sebagai pengingat untuk sebuah kehidupan yang ia rayakan. Seantero kamar yang berdinding biru namun gelap tanpa cahaya lampu, hanya cahaya langit mendung  meneduhkan mengisi ruang dan bebenda kamar, bergema lagu-lagu indah tentang hidup dan kenangan. Baginya, kenangan adalah pisau bermata dua. Tentu berhasil menimbulkan senyum dan tawa, tetapi bersamaan juga dengan sesak di dada. Sesak untuk waktu-waktu yang hilang, dan tak 'kan bisa di ulang, sedang di depan entah takdir apa yang akan memeluknya. Sesungguhnya ia takut, ia takut kalau saja ia tak 'kan lagi bisa merayakan hidup seperti sekarang, merayakan sepenuhnya dengan semua indera, mem-persetan-kan saja semua luka akibat jatuh dan bangun diantara semua tawa.
Selamanya Sampai kita tua
Sampai jadi debu
Ku di liang yang satu
Ku di sebelahmu

Kepalanya masih berbantalkan lengan, menghadap ke jendela, memandang setiap rintik yang dianugerahkan langit untuk jiwa-jiwa yang mengharap dari doa-doa yang dipanjatkan. Ia pun juga begitu, meski kadang terasa baginya doa-doa itu monoton, dan doanya yang paling jujur adalah saat-saat ia berbaring diam seperti ini: doa-doa yang ia ucapkan tidak dengan bahasa apapun. Kenangan adalah pisau bermata dua. Dan ia sadar setiap manusia ditakdirkan untuk hidup dengan berjalan di antara dua mata tersebut. Bahwa nanti kita akan tersakiti itu adalah kepastian, dan yang tidak pasti hanyalah sejauh mana kebahagiaan akan datang. Ia masih memandang keluar jendela, di antara dinding-dinding biru dan alunan nada indah yang menggema. Tanpa alasan yang mudah dijelaskan, sore ini ia remuk redam. Ia masih memandang ke luar sana, di terpa cahaya kelabu langit sore yang menyingkap semua kenangan dan harapan dengan cahaya mendung-nya. Hujan perlahan berhenti, berkurang, dan hanya menyisakan dingin yang abu-abu, tetapi di tempat lain hujan baru saja akan memulai lagi rintik sendu nya: di atas meja di sebelah jendela, berbantalkan tangan yang terlipat, ia membaringkan kepalanya, meneteskan air mata.

Badai Puan telah berlalu
Salahkah ku menuntut mesra?
Tiap taufan menyerang
Kau di sampingku
Kau aman ada bersama ku


Biru, 16 Maret '16