Pages

Sabtu, 30 Juli 2016

Mati pun Tetap Egois

   Kalo kita sedang ingin berpikir berlebihan, maka kadang pikiran semacam ini pasti muncul: setiap menit, kita berjudi di meja nasib, dan yang dipertaruhkan tentu saja adalah umur. Di jalan antara kosan dan rumah pacarmu kau bertaruh umur. Saat kau mencabut kabel charger laptop adalah taruhan umur. Bahkan diantara suapan makan dan segaran air minum pun adalah bertaruh umur. Roulette meja nasib yang bergeser sedikit saja bisa menyebabkan motormu hilang kendali, kabel charger yang ternyata telanjang digigit tikus, dan suapan terakhir yang keselek karena kurang air. Maka mungkin benar bila kuungkapkan bahwa maut lebih dekat dari satuan ukur jarak yang terkecil sekalipun. 

   Pikiran-pikiran kejauhan ini akan membuat kita takut, gelisah. Kadang hanya gelisah selewat mata, kadang bisa bikin kelakuan seseorang berubah. Betapa hebatnya pikiran kita. Tapi menurutku yang paling menakuti kita bukanlah kesadaran akan kematian kita sebagai tubuh, tetapi bagaimana pengaruh matinya kita terhadap lingkungan kita semasa hidup, dan umpan balik dari pengaruh tersebut kepada peninggalan kita setelah kita mati. 
Wah, ternyata manusia bisa seegois itu, pikirku. Bahkan sesudah mati pun kita masih memikirkan pandangan orang lain terhadap kita yang bahkan sudah hilang dari peredaran dunia!

Senin, 25 Juli 2016

Sebuah Sore

   Mata kami ditarik menutup oleh lembutnya angin lembah, dan rerumputan telah menjadi pembaringan yang mengikat punggung macam akar pada batangnya. Sebelum mataku menutup seluruhnya, aku sempatkan menoleh ke kiri, demi mengintip parasnya yang tengah terpejam menikmati seluruh baluran alam. Sepoi angin sore, terpaan mentari yang teduh disaring awan, dan wangi rerumputan yang seakan selalu lembab, selalu pas rimbunnya itu. Setelah menemukan senyum di wajahnya, aku kembalikan hadap wajahku ke langit, dan senyumnya menular ke bibirku. 
   Kupejamkan sepenuhnya mata, kunikmati semua rasa dalam hening. Aku bahagia, sungguh, atas semua kejadian di lembah kasih sore ini. Tapi dasar manusia, berpikir buruk adalah ciri kita yang paling khas. Di tengah keindahan pun aku sempilkan pikiran buruk akan masa depan. Bagaimana jika semua berubah? Bagaimana jika aku tak bisa menjaganya? Bagaimana bila langit tak melulu cerah? Atau mungkin saja semua ini maya!

   Sebuah cubitan terasa di lengan kiriku. Segera aku menoleh kearahnya lalu membuka mata, mendapatkan mata bulatnya telah melihat tajam ke dalam mataku dan aku terperangkap dalam sorot itu. Sorot dengan alisnya yang melengkung dan bulu matanya yang melentik. Matanya berbicara banyak bahasa, tapi aku tak mampu menerjemahkan beragam sastra matanya. Hanya dari cubitannya aku tahu, bahwa ia membaca pikiran burukku. Dan sorotnya adalah peringatan bahwa jika aku terus berpikir buruk maka cubitan ini akan semakin kuat. Aku isyaratkan menyerah melalui senyum, dan ia menerimanya. Setelah Ia lepaskan cubitan dari lenganku, telunjuknya lentik menunjuk ke hamparan langit biru. 
   "Aku ingin perlihatkan sesuatu,...", katanya lucu, "...lihatlah",

Ia menarik telunjuknya dari satu sisi langit yang cerah, dari siluet punggungan gunung-gunung yang menjadi batas jarak pandang mata, menuju ke tengah-tengah samudera langit hingga tepat ke atas wajahku. Aku memperhatikan dengan sungguh-sungguh, bahwa tarikan telunjuknya menciptakan segaris awan lurus yang bergumpal-gumpal, seperti awan yang tercipta ketika sebuah roket melintasi langit. Tetapi ini bukan karena roket, ini karena telunjuknya. Dan awannya bukanlah awan biasa melainkan awan yang ia buatkan untukku. 

   Aku memaku pandangan ke langit demi menatap sebuah keajaiban. Tentu semua otot wajah membentuk senyum girang layaknya anak yang melihat pelangi pertama kali. Aku tertawa sembari menoleh ke arahnya ingin mengabarkan kegembiraan. Ia telah hilang. Yang tersisa hanya sepoi angin pada suatu sore di lembah, beserta segaris-panjang awan yang membelah biru langit cerah.





Biru, 26 Jul '16

Minggu, 17 Juli 2016

Tentang Papua

Kita semua setuju bersatu di bawah satu bendera karena kita berjanji untuk menjaga satu sama lain, dan bersama-sama menjalani hidup demi suatu kemajuan dengan memenuhi hak serta kewajiban yang telah kita sepakati bersama.

Tapi ketika janji-janji itu dikhianati, dan tindakan utk dialog mengatasinya lebih bersifat represif demi memaksakan sepakat, maka apalagi alasan untuk mempertahankan hubungan yang sudah tidak membuat nyaman?

Untuk alasan nasionalisme pun susah, karena kebenaran politik apalagi yang harus dibela atas nama persatuan bila pada awalnya kebenaran itu merupakan sesuatu yang "dibenar-benarkan" ? Terlebih identitas budaya yang tidak sama seringkali menjadi alasan untuk menstigma, lalu membakar rasa benci antar sesama atas dasar hal-hal yang sepele, yang mengikis tebing-tebing kasih sayang menjadi jurang perbedaan.

Tetapi jelas aku yang selalu terjebak romantisme ini tetap menginginkan persatuan. Aku selalu berharap kita mencari jalan lain untuk tetap melanjutkan hubungan. Bukan sekedar untuk saling memanfaatkan, tapi untuk saling menjaga, saling mencinta, saling menjembatani jurang-jurang.

Stigma tidak akan hilang, tapi bisa berubah makna. Tidak ada salahnya untuk mulai peduli. Yang sudah peduli dari dulu juga jangan membully mereka yang belajar peduli. Mari pandangi hal ini atas sesama manusia, terlebih manusia senegara.

Sabtu, 16 Juli 2016

Caper

Ingatlah lagi masa-masa ketika kita kanak-kanak., dan sosok-sosok yang teerlibat di dalamnya. Semuanya masih serba sederhana, dan tokoh di dalam cerita kita pun cenderung itu-itu saja. Kadang ayah, kadang ibu, dan lebih sering ibu. Mungkin setiap keluarga berbeda, tapi kurang lebih begitulah situasinya. Maksudku, bagaimana kedua tokoh tersebut selalu hadir dalam kesetiap-harian kita. Belum ada yang lain, belum ada tokoh lain tempat kita memalingkan muka.
Salah satu yang paling ku ingat sekarang adalah saat-saat aku sakit. Sakit beneran, sakit palsu, sakit manja, hehehe. Apapun sakitnya, obat yaang paaling maanjur yang aku rasakan adalah perhatian mamaku. Bisa saja saat itu aku demam karena gejala tipes, tapi kompres dari mama yang sudah begadang semalaman lebih terasa mendinginkan semua demam daripada obat dokter. Atau saat dimana kepalaku kejedot sesuatu, maka belaian dan tiupan mama di daerah benjol menjadi semacam penangkis rasa sakit. Atau seringkali aku yang hanya pilek biasa atau bahkan tidak sakit sama sekali merengek-rengek melebaykan diri macam sekarat cuma ingin merasakan perhatian dari mama yang langsung izin pulang dari kantornya, membawakan soto ayam, lalu menyuapkan sirup setelah soto tandas. Dan beliau akan berada di rumah seharian, menjagaku. Menjaga tidurku. Dan tentu besoknya aku meliburkan diri dari sekolah, woohoo!
Semua penyakit ada obatnya. Dan perhatian adalah obat yang harus diutamakan  untuk semua penyakit. Bukankah menenangkan, ketika kita merasa aman di saat-saat terlemah kita? Merasa didekati saat orang-orang yang sehat menjauhi kita? Merasa ditemani di saat-saat sendiri kita? Kita merasa hadir sebagai manusia yang sukses, yang hidupnya terlibat dengan orang lain, yang dirinya terikat dengan diri orang lain, dimana kelemahan kita terasa sebagai kelemahan juga bagi mereka yang memperhatikan. Dan mungkin suatu saat hilangnya kita akan menjadi kesedihan bagi mereka yang memperhatikan. Bukan demi tujuan jahat, tapi memang perhatian adalah obat paling manjur sedunia. Karena fitrahnya, tidak ada manusia yang ingin sendiri di saat-saat terburuknya, meski mulut berkata sebaliknya.

Selasa, 12 Juli 2016

Dasar, Matahari

Senyum matahari merona di suatu pantai tatkala senja
Meski kehilangan kata-kata, tapi ramai dalam rasa-rasa
Kubiarkan saja senja itu menua
Merubah warna-warna perak menjadi emas yang tersipu
Pada riak, pada ombak, dan di antara riuh kecipak
Jejak kita abadi di pasir ingatan
Syukur kudekap hangat pelukan.

Surreal, 7 Juli '16

Senin, 04 Juli 2016

Awan Mendung Menyertai Mereka yang Sadar

     Apakah berdosa jika awan mendung menyelimuti matahari? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Semua terjadi bukan atas kehendak. Awan mendung itu diam-diam mencintai matahari dan sinarnya yang gemilang. Dan ia tak ingin menghalangi gemilang itu mencapai tanah yang butuh dihangatkan.
Tapi apa daya, kadang hembusan angin mengantar awan mendung memeluk matahari, meski bukan pada tempatnya. Membuat awan mendung semakin mendung  meskipun mentari ada di dekapannya. Awan mendung merasa bahwa cinta adalah sesuatu yang tak bisa dipaksakan. 
     Awan mendung tak ingin menjadi bendung bagi sinar gemilang matahari. Awan mendung ingin memilih jalan yang sepi, berkumpul bersama yang sesuai takdirnya: kumpulan awan yang mendung di langit siang. Dalam hati ia mengucapkan perpisahan: semoga angin tak mengantarkanku memelukmu lagi, hai pelita hari. Dalam sepi, doa-doa awan untuk matahari tetap berseliweran di langit hari bersama angin dari sisi ke sisi.

     Manusia-manusia kolong langit hanya menikmati semua hasil dari fenomena-fenomena yang terjadi itu tanpa sedikitpun peduli. Mungkin ada peduli, ketika mereka mulai bosan, dan melontarkan keresahan serta mulai mencari-cari kesalahan pada mendung yang terlalu dingin, pada mentari yang terlalu panas, pada hujan yang selalu basah. Manusia-manusia kolong langit tak peduli apabila awan tercerai-berai selama itu sesuai keinginan mereka. Manusia kolong langit hanya peduli pada cinta mereka, tepatnya pada bagaimana mereka dicintai bukan bagaimana mereka mencintai, apalagi pada kisah-kisah cinta makhluk langit mereka lebih tidak peduli lagi. Dengan keegoisan itu mereka hidup dan menghidupkan. 
     Beberapa yang sadar, akan memilih jalan yang asing yang sebenarnya menyakiti diri sendiri. Mereka yang sadar memilih jalan sepi yang juga dipilih oleh awan mendung. Sebuah jalan rindang setapak di sebuah desa yang ramah tapi entah kenapa selalu memunculkan sendu yang abstrak bila melaluinya. Seperti mengenang masa lalu, dimana kesadaran akan waktu yang hilang akan selamanya hilang tak peduli seberapa teliti kita kembali mencari, menimbulkan sesak yang nyeleneh di dada insan yang mengingat. 
     Mereka yang sadar akhirnya berbagi kisah dengan awan yang mendung sembari meniti jalan yang sepi itu, cerita-cerita cinta yang diutarakan dengan jujur yang sangat diusahakan. Sesak yang dilepaskan menimbulkan sesak yang lain. Kesalahan yang disadari berutang maaf yang terus-terusan diucapkan. Sebuah kesadaran akan kekurangan diri sendiri memang kadang memuakkan. Mereka yang sadar dan awan mendung tahu akan hal itu, meski bukan berarti mereka membenci diri sendiri. Mereka hanya lelah, sejauh ini telah berjalan sembari bercerita, tapi setapak sepi ini masih saja asing. Mereka hanya lelah, pada ketidakmampuan diri sendiri untuk memaklumkan apa yang seharusnya menjadi bagian hidup: sebuah takdir. Mereka hanya lelah, pada rasa sadar yang membuat mereka berbeda. Mereka hanya lelah.


Pagi buta di utara, 2 juli '16

Tiba-tiba

Hujan turun tiba-tiba
Di antara cerah langit kita
Dengan semua irama gerimis-deras
Dan aroma tanah basah
Mensamarkan tangis yang keras
Dan kesia-siaan resah

Bila hujan tiba-tiba
Di sela peluk dan canda
Dengan genggaman yang membuai
Dan parfummu tetap mengikatku
Maka angkatlah semua rasai
Dan indahmu tetap menjagaku

Ketika turun tiba-tiba
Hujan beserta sepoi iba
Semua sendu kita ingin ditepis
Oleh langit yang akan segera berbeda
Lihatkah ayunan daun kala ditahbis?
Mata kita basah meski hujan tlah reda

Senja di utara, 4 Juli '16

Jumat, 01 Juli 2016

-

"Senja adalah janji sebuah perpisahan yang menyedihkan tapi layak dinanti karena pesona kesempurnaannya yang rapuh, seperti kehidupan yang selalu terancam setiap saat untuk berakhir dengan patuh."

SGA
Sepotong Senja Untuk Pacarku
116