Pages

Sabtu, 16 Juli 2016

Caper

Ingatlah lagi masa-masa ketika kita kanak-kanak., dan sosok-sosok yang teerlibat di dalamnya. Semuanya masih serba sederhana, dan tokoh di dalam cerita kita pun cenderung itu-itu saja. Kadang ayah, kadang ibu, dan lebih sering ibu. Mungkin setiap keluarga berbeda, tapi kurang lebih begitulah situasinya. Maksudku, bagaimana kedua tokoh tersebut selalu hadir dalam kesetiap-harian kita. Belum ada yang lain, belum ada tokoh lain tempat kita memalingkan muka.
Salah satu yang paling ku ingat sekarang adalah saat-saat aku sakit. Sakit beneran, sakit palsu, sakit manja, hehehe. Apapun sakitnya, obat yaang paaling maanjur yang aku rasakan adalah perhatian mamaku. Bisa saja saat itu aku demam karena gejala tipes, tapi kompres dari mama yang sudah begadang semalaman lebih terasa mendinginkan semua demam daripada obat dokter. Atau saat dimana kepalaku kejedot sesuatu, maka belaian dan tiupan mama di daerah benjol menjadi semacam penangkis rasa sakit. Atau seringkali aku yang hanya pilek biasa atau bahkan tidak sakit sama sekali merengek-rengek melebaykan diri macam sekarat cuma ingin merasakan perhatian dari mama yang langsung izin pulang dari kantornya, membawakan soto ayam, lalu menyuapkan sirup setelah soto tandas. Dan beliau akan berada di rumah seharian, menjagaku. Menjaga tidurku. Dan tentu besoknya aku meliburkan diri dari sekolah, woohoo!
Semua penyakit ada obatnya. Dan perhatian adalah obat yang harus diutamakan  untuk semua penyakit. Bukankah menenangkan, ketika kita merasa aman di saat-saat terlemah kita? Merasa didekati saat orang-orang yang sehat menjauhi kita? Merasa ditemani di saat-saat sendiri kita? Kita merasa hadir sebagai manusia yang sukses, yang hidupnya terlibat dengan orang lain, yang dirinya terikat dengan diri orang lain, dimana kelemahan kita terasa sebagai kelemahan juga bagi mereka yang memperhatikan. Dan mungkin suatu saat hilangnya kita akan menjadi kesedihan bagi mereka yang memperhatikan. Bukan demi tujuan jahat, tapi memang perhatian adalah obat paling manjur sedunia. Karena fitrahnya, tidak ada manusia yang ingin sendiri di saat-saat terburuknya, meski mulut berkata sebaliknya.

2 komentar: