Sepanjang
kehidupan remaja dan dewasaku (ah masa sih?), aku hanya beberapa kali
menangis.
Pertama, Maret 2011, saat Papa pulang ke surga. Ketika
bertemu pertama kali dengan beliau yang sudah berganti ke pakaian
terakhirnya, heran, aku tidak menangis. Sepanjang malam aku hanya merenungi
tentang dosa-dosaku kepada beliau, dan keinginan-keinginan beliau kepadaku yang
belum sempat terwujud. Sesak luar biasa, tentu, tapi herannya air mata tidak
mau keluar sedikitpun. Juga aku tahu, Papa tak mau dilepas dengan sesenggukkan.
Lalu malam pertama setelah beliau berpindah ke rumah terakhirnya, aku berkumpul
dengan sanak saudara, bercerita dalam suasana duka yang di riang-riangkan. Dan ketika
tiba saat aku menceritakan tentang ingatan-ingatanku tentang Papa yang humoris
keterlaluan, tiba-tiba air mata meluncur begitu saja. Dan sepersekian detik
berikutnya, aku telah tersedak dengan ingus sendiri beserta pandangan yang
kabur oleh air yang menumpuk di pelupuk.
Kedua, adalah saat mama kecelakaan. Hari itu 17 agustus, aku
sedang berada di puncak gunung untuk melaksanakan upacara bendera. Pagi dingin
tiba, hari merdeka, dan kabut belum sepenuhnya hilang. Seorang ranger gunung berlari, mencari seseorang
yang bernama Gerhana yang sepertinya seantero gunung hanyalah aku pemiliknya.
Aku pun menghampirinya, turun satu pos ke arah bawah dari camp ground yang lebih ke pucuk. Tiba di pos tersebut, tepat
sebelum aku bertatap muka dengan sang ranger,
ponsel sepupuku berbunyi yang entah bagaimana bisa mendapatkan sinyal seiprit di atas gunung sini. Sebuah
pesan singkat yang berbunyi:
"Yo,
pulang sekarang. Mamamu kecelakaan, sekarang di rumah sakit."
Sontak mataku blur oleh air yang mendesak-desak. Aku menangis tanpa suara. Aku hanya mengatakan kepada sepupuku
Sontak mataku blur oleh air yang mendesak-desak. Aku menangis tanpa suara. Aku hanya mengatakan kepada sepupuku
"Bang,
ayo kita pulang bang, mama di rumah sakit".
Aku berlari di lereng gunung tanpa lagi memperhatikan pijakan. Dan kadang sepupuku tertinggal jauh di belakang. Tidak ada lagi nyanyian dan yel-yel seperti saat menanjak kemarin. Yang ada hanyalah isak. Ya, sekarang tangisku bersuara. Mama adalah segalanya bagiku, dan pikiran-pikiran buruk tentang apa yang telah terjadi kepada beliau sangat menyiksa otak dan batin, sekaligus memberi tenaga kepada kaki untuk terus berlari.
Aku berlari di lereng gunung tanpa lagi memperhatikan pijakan. Dan kadang sepupuku tertinggal jauh di belakang. Tidak ada lagi nyanyian dan yel-yel seperti saat menanjak kemarin. Yang ada hanyalah isak. Ya, sekarang tangisku bersuara. Mama adalah segalanya bagiku, dan pikiran-pikiran buruk tentang apa yang telah terjadi kepada beliau sangat menyiksa otak dan batin, sekaligus memberi tenaga kepada kaki untuk terus berlari.
Sampai di pos awal pendakian, telah ada orang yang menjemputku.
Di sana tangisku reda. Dan kami memacu mobil dari desa pendakian menuju kota
secepat yang kami bisa. Dan setelah bertemu Mama, tangisku kembali pecah. Aku
menangis seperti bayi yang dicerai dari netek. Sembari meleler, aku bersimpuh di
sebelah Mama. Tangannya patah. Dan otakku berputar mencari cara untuk
mencelakakan orang yang telah mencelakakan Mama, hahaha.
Ketiga, adalah hari ini, saat aku mengabarkan kepada Mama
bahwa anaknya gagal sidang (lagi) dan terancam mundur wisuda. Aku menangis saat
mendengar suaranya yang di tenang-tenangkan.
"Mama
ngerti nak, ini bukan salah kamu. Mama cuma sedih liat kamu yang
terombang-ambing begini".
Aku
meleler dahsyat. Ingusku sepertinya tumpah ruah. Sepanjang hidupku, aku merasa ga pernah membanggakan Mama. Prestasiku
dibawah standar. Ga pernah menang
suatu lomba (pernah juga sih waktu SD). Dan sekarang, setelah
menghambur-hamburkan rezeki yang beliau dapatkan dengan susah payah demi
anaknya bertitel sarjana, aku kembali membuatnya kecewa. Ah Mama, betapa kau
mulia, meski diberi cobaan dengan dititipkan anak sepertiku kepadamu.
Keempat, sepertinya belum ada. Atau aku lupa? Nantilah
kalau ada (atau teringat) aku ceritakan kembali.
Nah intinya adalah (biar sesuai sama judul), menangis itu
baik. Menurutku loh. Tapi menjadi tak
terlalu baik jika berlebihan dan keseringan, terutama bila kau seorang lanang.
Jadi menangislah, karena menangis adalah sebuah ekspresi yang kaya: sedih,
senang, haru, cinta, bahagia, marah. Dan menangis membantu melepaskan beban
yang mungkin tidak bisa dikonversikan menjadi kata-kata, maka jadilah air mata.
Tapi menangislah secukupnya hai lanang. Bukan maksudku menempatkan wanita
sebagai yang harus nangis lebih banyak, bukan. Tapi lanang, bila kau nangis
berlebihan, ketika ibumu, kakak perempuanmu, jodohmu, atau semua wanita yang
kau kasihi menangis, siapa yang akan menyeka air mata mereka jika kau sendiri
sibuk menyeka air matamu dan mensrepet
ingusmu sendiri?
Nah begitulah, sok bijak nian kan aku? Biarlah, biar sesuai sama judul. Biar penuh pula blog ini, dan tidak hanya berisi sajak sampah dan gombalan. Meski kalimat barusan cheesy minta ampun, he.
Nah begitulah, sok bijak nian kan aku? Biarlah, biar sesuai sama judul. Biar penuh pula blog ini, dan tidak hanya berisi sajak sampah dan gombalan. Meski kalimat barusan cheesy minta ampun, he.
Eh, tapi sebelum pamit, aku sepertinya pernah menangis
sekali lagi. Tapi aneh, yang keluar bukan air mata, tapi manifestasinya muncul
sebagai demam, yang membakar jidat, leher, sampai ke sela-sela jari. Hingga
sekarang, aku masih di kompres bye bye
fever dan di tempel koyo hansaplast.
Mahal bukan?
Dan demam itu mungkin karena aku berusaha keras menahan air
mata demi selarasnya aku dan konsep kelananganku.
Ha!
Kapan ya aku mulai demam? Sepertinya setelah obrolan kita di suatu pagi saat hari libur, ketika ponsel ku berdering dan diujung sana adalah isak tangismu bersuara.
Kapan ya aku mulai demam? Sepertinya setelah obrolan kita di suatu pagi saat hari libur, ketika ponsel ku berdering dan diujung sana adalah isak tangismu bersuara.
di Kamar yang belang macam permen,
15 Juni '16
Ryo, semangat. Hikmahnya, dengan begini, kamu gak akan mengecewakan mamamu selepas lulus nanti. Karena perjuangan orang tua khususnya mamamu itu luar biasa. Be tough, Ryo :p
BalasHapusHai anon. Terima kasih. Selepas lulus pun masihlah sesuatu yang dingin berkabut. Tapi semoga saja matahari tetap terbit :)
HapusAkhir-akhir ini langit selalu sendu, bukan begitu?
Matahari pasti tetap terbit. Lantas, Gerhana kapan bangkit?
BalasHapusBtw kamu itu langit atau gerhana sih? Kok mirip? Sama-sama lagi sendu.
Dan Ryo, kalau boleh aku sarankan.
Jangan terlalu lama mendekap sendu. Lebih baik memupuk rindu. Lalu berwudhu. Dan berdoa untuk bahagiamu.
Maafkan anonmu ini bawel. Lupakan lupakan.
hai anon. aku sudah bangkit, tapi mungkin memang langit membawa pengaruh kepada manifestasi emosi.
HapusInsya Allah, wudhu akan menenangkan, benar seperti katamu.
Tapi aku tak berani memupuk rindu, takutnya bertumpuk terlalu jauh lalu longsor, hehe
Terimakasih untuk bawelmu :)
Alhamdulillah. Cheer up! :B sampai jumpa di postingan blogmu yang lain
Hapus-anon yang sok sok anon
Anon itu nama kucingku yg baru melahirkan. Anaknya kalem, manja, dan laper mulu. Kamu juga begitu ga non? Hehe
HapusWew disamakan dengan kucing. Pasti kucingnya lucu, soalnya aku juga lucu (mulai kepedean). Aku laper mulu dan sedikit manja kalau ada maunya. Tapi sayangnya aku enggak kalem, barbar malah hahaha. Untung kamu enggak kenal sama aku.
HapusKalo kenal pasti lebih lucu. Nanti aku kenalin sama anon kucingku, kalian mirip, si anon juga manja dan laper mulu. Masa seminggu makannya sampe 30 ribu. Kan mahal :(
HapusSee? I told you, Kak. You have a lot of people, who care about you. Even a secret admirer~
BalasHapushehehehe
Hapusi know din. memang kk menunjukkan gejala kurang bersyukur kayaknya. Makasih yaa din. salam sama dinginnya tanah eropa :)
Hai Ryo
BalasHapusAku salah satu anon dari anon-anon lainnya (gatau brp banyak) yg selalu menunggu cerita baru darimu. Sebelumnya,semangat ya Ryo,semoga kecewamu ga berlarut-larut. Masih banyak hal lain yg bisa kamu syukuri di dunia ini. Contoh simplenya kamu masih bernafas dan masih bisa baca komen dari aku (naon sih)
Ada yg menarik perhatianku dari ceritamu kali ini, yg kemudian menciptakan rasa aneh dalam diriku, tepatnya hatiku. Cemburu? Hahaha ga deng, iri mungkin lebih tepat. (Jangan takut ya, aku cuma penggemar biasa )
Pertama, aku iri dengan si anon di atas. Ingin juga rasanya berbalas-balas komen denganmu, tapi aku terlalu malu dan ga pandai bikin kata-kata puitis
Kedua, aku iri dengan dia yg mampu membuatmu demam hanya karna tangisnya. Beruntung ya dia. Kalau boleh tau, apakah dia someone spesial bagimu?
Hai Anon! Maafkan aku yang baru membalas komentarmu ini, i hope this not make me a jerk.
HapusSuper terima kasih atas penantianmu akan tulisan sederhana di blog ini, karena ga ada yg lebih aku takutkan selain kenyataan jika aku menulis kepada khalayak hampa.
Anonku ga banyak kok, cuma 1. Tapi anaknya yg banyak, ada empat ekor, yg sampe sekarang aku ga tau di sembunyiin di mana sama emaknya.
Betul, aku kemaren sempat lupa bersyukur. Dan seburuk-buruknya manusia adalah yg lupa bersyukur. Tapi untungnya teman-temanku baik-baik dan unyu-unyu, juga kalian yg di kolom komentar ini. Kalian bikin aku ingat untuk bersyukur.
Hei kamu, semua kata adalah puitis. Yang membedakan hanyalah rasa yang kita tempatkan pada kata-kata itu ketika digoreskan. Maka menulislah dengan seminimal mungkin memikirkan aturan-aturan. Ayo nulis! Nanti kasih tau aku ya :)
Yang membuatku demam adalah rasa takut yang menumpuk dan bermacam rupa. Overthinking, kalo kata bule mah. Dan ya, salah satunya mungkin perihal dia. Spesial? Sangat, karetnya dua dan pake telor bebek hehe.
Terimakasih sudah ikhlas (semoga), untuk menulis sepanjang ini di kolom komentar. Terima kasih, sungguh. Tulisan yang diperhatikan, terlebih dibaca, adalah tulisan yang memberi hidup penulisnya.