Bising macam
lebah. Tetap masuk ke pikiran meski aku sedang tak ingin. Aku menebar pandang
ke sekeliling; ke lampu gantung, ukiran pilar dan tembok, patung-patung,
semuanya indah, meski tetap saja bising. Seorang pria tua sedang tegak di
mimbar berlatar merah, mengeraskan suara demi tua-muda dihadapannya. Serta yang lain asik
berdebat sesamanya: bising. Sedang pelupuk mataku diberati bayangmu. Hatiku panas
macam diungguni, ingin kubuka rasanya kancing-kancing kemeja. Bukan hakku untuk
marah, memang. Setinggi apapun angkuhnya, makhluk tetap tak punya hak memarahi
panasnya cahaya yang ditimbulkan matahari. Kenapa? Karena cahyanya menghidupkan
bumi! Meski keling legam kulitnya nanti.
Berita
tentangmu telah tiba padaku bak gemuruh ombak yang membuyar diri. Dan kini,
urusan politik kupersetankan, karena semua terasa bising macam lebah, tak
kupahami lagi bahasanya. Detik ini dan mungkin hingga beberapa detik kedepan, alam
pikirku akan berisi doa-doa kebaikan untukmu, meski bukan seperti yang
kuharapkan. Otakku membungkus tiap doa-doa dengan sajak C.A.
“…Karena
kau tidak ‘kan apa-apa
Aku
terpanggang tinggal rangka”
Siaplah ku kirimkan. Selamat, dengan tulus ku ucapkan. Kau akan
terus memberiku kehangatan, aku yakin. Meski pada hidup yang berbeda, aku harap
kita tak menjadi asing. “Sedang aku
mengembara serupa Ahasveros”.
Dan sesuai takdirnya, matahari berbahaya bagi salju, bahkan dalam sayang
sekalipun.
Moskow, 1967, dalam dingin yang membara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar