Pages

Sabtu, 17 September 2016

Carpe Diem

Ingatan kadang menjelma pisau bermata dua.
Seperti saat-saat hujan turun dengan derasnya, dan debu menggema dengan kerasnya, ingatan memunculkan senyum di muka juga sesak di dada. Kala kusingkap hikayat lama tentang semua gila saat hari diraja matahari maupun bulan. Carpe Diem.

Kita hidup di tengah umur yang bergejolak emosinya. Dan entah, nanti, bagaimana? Kita masihkah sama? Ketika semua berubah, luar dan dalam, untuk menjadi debu pun, sampaikah?

Guguran Derai-Derai Cemara

Bagiku, sajak-sajak Chairil tidak untuk dibacakan di depan khalayak. 

Bagiku, sajak-sajak Chairil hanya layak untuk dibacakan sendiri, dengan nada yang sunyi, menuding cermin jika perlu.
Karena bagiku sajak-sajak Chairil adalah obrolan dengan diri sendiri, yang bergulat antara rasa demi rasa, dengan ganas, dengan marah, kadang lembut, seringkali jujur, dan tentu egois, tanpa menyisakan pihak menang ataupun kalah. Ia tahu, kita pada akhirnya selalu tampil sebagai pihak yang kalah, karena hidup itu sendiri hanyalah menunda kekalahan.

Dan Derai-Derai Cemara dengan semua lirih di dalamnya adalah salah satu sajak Chairil yang senantiasa aku ulang-ulang. Aku sadar, aku mengulang sajak yang meredupkan. 


Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam


Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini


Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


1949

Jumat, 16 September 2016

Good Morning. Good Morning Indeed

Aku suka pagi ini. Bosankah kau bila aku mengatakan itu? Ah, bagaimana bisa. Sedang selama ini aku hanya berkata barang satu atau dua kali, sisanya kukatakan dalam hati. Tapi bukankah kau tahu, aku selalu suka kala pagi hangat membiru seperti sekarang ini?

Aku suka bagaimana kau menyapa di kala dingin masih menyelimuti tungkai kaki, lalu kita memulai hari. 
Aku suka bagaimana percakapan riang mengisi gelas kopi, seriang uap panas yang berputar menari di atasnya.
Aku suka ketika empat potong roti gandum berisi coklat dan selai nanas yang aku hidangkan diterima dengan senyuman.
Lalu aku juga suka, suasana pasar yang ramai dalam semesta yang berbeda-beda antara tiap-tiap kepala yang bersuara, riuh demi kebahagiaan keluarga-keluarganya nanti.
Aku sangat suka, bagaimana cahaya hangat menerpa kulit, dan membentuk segitiga keemasan di halaman putih pada lembar-lembar buku yang kubaca ketika menunggu.
Akhirnya aku tak tahan untuk juga suka dengan bagaimana aku berani mendekatkan diri kembali dengan pena dan kertas, akrab, dimana kutinggalkan ponsel tempat catatan-catatanku tercolok listrik di rumah demi kedamaian pada masa-masa silam.
Aku suka pagi, terlebih pagi ini, meski ia akan segera berganti. Putaran nasib yang tak terelakkan memang kadang melelahkan.
Tapi bosankah kau bila kukatakan lagi, jika aku suka keindahan?
Dan kau, menurutku: indah.


Curup, 17 Sept '16

Selasa, 06 September 2016

Gotong-Royong dalam Budaya Maritim Indonesia


   Banyak hal yang dapat kita akui sebagai identitas bangsa Indonesia, yang merupakan nilai luhur warisan pendahulu bangsa yang terus kita coba pertahankan sebagai niat baik untuk mempertahankan bangsa yang baik. Salah satu yang paling membumi adalah gotong-royong. Tentu, bagi seluruh masyarakat Indonesia, kata gotong-royong telah sangat akrab di telinga masing-masing pribadi seperti mendengar nama sendiri. Pancasila sebagai dasar negara pun disusun dengan semangat gotong-royong yang sangat tinggi di dalam butir-butirnya, seperti yang dikatakan Presiden Sukarno:
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong. Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong!” (Sukarno, Pidato 1 Juni 1945 di dalam sidang  BPUPKI)

   Budaya luhur lain yang dapat dengan bangga kita katakan sebagai identitas bangsa Indonesia adalah budaya maritim. Keluhuran budaya maritim telah menjadikan kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan berjaya bahkan hingga ke wilayah seberang samudera, seperti kejayaan maritim Sriwijaya yang terekam dalam relief di candi Borobudur, atau kehebatan perahu Pinsi suku Bugis yang melegenda. Budaya maritim telah berhasil menghubungkan wilayah-wilayah yang dahulu tidak pernah bersinggungan hingga menjadi suatu kesatuan yang berjaya karena limpahan isi bumi dan lautnya. Dan sekarang sesuai dengan harapan dan tujuan pemerintahan Presiden Joko Widodo, budaya maritim yang luhur tersebut ingin dihidupkan kembali melalui sebuah gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
   Demi mewujudkan gagasan poros maritim tersebut, hal yang paling utama yang harus dilakukan bersama adalah membangun kembali budaya gotong-royong di dalam budaya maritim Indonesia. Untuk menjadi bangsa yang besar, terutama bangsa maritim yang kuat, masyarakat Indonesia tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, terlebih menggantungkan nasib kepada satu orang atau satu pihak saja. Masyarakat Indonesia telah lama terjebak dalam pola pikir ketokohan, yaitu mendambakan seseorang tokoh yang akan memimpin dan membawa bangsa ini menuju sebuah kejayaan. Pola pikir seperti itu, terlebih jika dihubungkan dengan ramalan-ramalan mistisme, tidak lagi relevan pada masa sekarang. Bangsa Indonesia tidak boleh lagi menggantungkan harapannya pada seorang tokoh dan ketokohan, tetapi setiap individu harus mencoba untuk menjadi tokoh yang memimpin pergerakan menuju sebuah kemajuan. Dan jika nantinya telah muncul kesadaran pada setiap individu untuk menjadi seorang tokoh pergerakan, maka akan muncul sebuah aksi massa yang merupakan suatu bentuk gotong-royong dalam sebuah perjuangan aktif dan masif. Maka dalam konteks budaya maritim, tujuan utama dari aksi massa tersebut adalah mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
   Pada era media sosial yang aktif seperti sekarang, pembentukan pola pikir gotong-royong demi mewujudkan aksi massa telah banyak terlihat dalam diri setiap individu pemuda Indonesia sebagai garda utama kemajuan bangsa. Telah banyak pemuda yang menjadi tokoh bagi dirinya sendiri, dan berhasil menciptakan gerakan yang membanggakan. Yang harus dilakukan sekarang adalah berhenti menebarkan konten negatif, keluhan, dan biang permusuhan dalam media sosial, tetapi harus menyebarkan seluas-luasnya pola pikir gotong-royong yang positif dengan memanfaatkan media sosial, sehingga akan muncul generasi baru di mana setiap individunya adalah tokoh pergerakan yang akan mengawal budaya maritim Indonesia untuk kembali menjadi suatu budaya yang luhur, dan impian Indonesia yang berjaya sebagai poros maritim dunia akan segera terwujud.

Kamis, 01 September 2016

Reminder

So you brought out the best of me,
A part of me I've never seen.
You took my soul and wiped it clean.
Our love was made for movie screens.

05.30
Sebagian besar manusia di dunia ini jengkel dengan suara berisik alarm di pagi hari. Tapi tidak dengan dia. Setidaknya tidak hari ini. Dia hanya meraba-raba sebelah bantal kepalanya untuk mencari letak posisi smartphone-nya yang berbunyi nyaring sejak satu menit yang lalu. 
Ia menggenggam ponsel tersebut, lalu matanya yang masih setengah terbuka langsung berbinar kala melihat layar ponsel yang masih menyalak alarm tersebut. Di dalam gelap kamar pagi itu, layar ponsel memancar terang memperlihatkan screen alarm yang meminta dimatikan, dan di atasnya, sebuah reminder yang berbunyi "berjumpa si cantik". Dia tersenyum memandang ponselnya, lalu menggeliat memutar-balikkan pinggang dan sekujur tubuhnya diantara selimut dan guling yang berantakan. Cahaya matahari menembus sela-sela gorden di sisi kiri kamar, bersamaan dengan cerewetnya burung gereja yang mulai terdengar.

07.15
Ia menghadap sebuah cermin besar setinggi dirinya yang hanya ia senderkan  sekenanya saja di dinding kamar. Memasang sabuk ke jeans-nya, mengancingkan kemeja, lalu menepuk-nepuk bagian sisi kemejanya karena mungkin ada sesuatu, atau mungkin merapikan lipatan yang terlihat tidak pada tempatnya. 
Ia mengeringkan kembali rambutnya dengan sebuah handuk kecil, kemudian melapisi sisirannya dengan pomade lalu menyisirnya rapi ke belakang, dengan sedikit gelombang berjambul. Berturut-turut setelah itu: parfum, jam tangan, merapikan janggut dan jambang, dan merapikan rambut sekali lagi. Semua itu dilakukannya di depan cermin besar setinggi dirinya itu. Setelah puas, ia memandang cerminan dirinya dengan senyum, dan duduk di pinggir tempat tidrnya untuk mengenakan kaus kaki yang segera disusul sepatu. Masih dengan duduk di sana, ia menggapai kunci motor, dompet, dan ponselnya yang tergeletak di tengah-tengah kasur. 
Kembali ia memandang layar ponsel dengan tersenyum. Memandang layar yang menampilkan sebuah reminder: "berjumpa si cantik"

07.30
Coffee maker berbunyi pelan sembari mengucurkan kopi hitam pekat ke dalam mug favoritnya. Sedangkan ia tengah sibuk mengoleskan selai pada permukaan sebuah roti tawar putih tanpa pinggiran. Coffee maker selesai mengucur mengisi mug yang bersebelahan dengan sebuah lemari pendingin. Terdapat sebuah kalender yang ditempel dengan magnet di pintu freezer. Satu tanggal terlihat ditandai dengan tanda hati, berwarna merah. Tanggal itu adalah hari ini. Perlahan terdengar senandung dari dia yang masih mengolesi roti.

08.10
Motornya terparkir di depan sebuah kios bunga sederhana setelah perempatan lampu merah, di samping sebuah pos polisi lalu lintas. Ia tengah memilih bunga-bunga untuk sebuah buket. Beberapa tangkai telah ia peluk seperti menggendong bayi. Terlihat beberapa lili putih di tangannya. Pemilik kios menyapa ramah dan memuji bunga pilihannya, lalu membantu memilihkan beberapa tangkai lagi sebagai pelengkap dan penyeimbang warna. 
"Hari ini ya?", tanya pemilik kios sembari menyusun bebungaan beragam warna.
"Ya, pak. Hari ini.", jawabnya dengan senyuman lebar dan pipi merona merah. Jalanan di depan kios telah hiruk oleh keriuhan pagi di hari yang cerah ini.

08.46
Langkahnya pelan menikmati semilir angin di tanjakan tangga ini. Ia menoleh ke kiri dan kanan, memandangi hamparan rumput dan beberapa bunga kuning kecil yang tumbuh liar di antaranya. Senyumnya tetap lebar, pipinya terus merona. Hatinya berdebar dan matahari seakan mengetahui hal-hal tersebut hingga sinarnya hangat memupuk semua perasaan yang bersemi, macam bunga kuning kecil yang tumbuh liar di padang rumput. Ia berjalan di jalan setapak, langkahnya yakin membawa ia ke suatu tempat yang ia telah akrab di antara beribu nama yang tertulis di padang itu. Bunga di pelukannya terlihat semakin indah tertimpa cahaya, dan ia terlihat semakin jatuh dalam debar semakin ia melangkah. "Hari ini kita kembali bersua, cantik", gumamnya kecil.
Setiap kali hari pertemuan itu datang, jantungnya berdebar persis seperti saat kali pertama ia berjumpa dengan si cantik yang termaktub di remindernya. Aneh, pikirnya, setelah sekian tahun lamanya, tubuhnya masih menunjukkan gejala riang yang sama kala akan bertemu dengan kekasihnya itu. Ia pun  menghela nafas panjang.
Langkahnya berhenti di depan sebuah pusara, diantara ribuan nama yang tertulis di padang itu. Ia duduk disamping pusara tersebut, meletakkan bunga tepat di bawah sebuah tulisan nama. Sebuah nama yang sangat indah. 
Tangannya mengelus nisan itu, di antara cahaya hangat matahari dan harum seikat bunga-bunga indah yang ia bawa, suaranya bergetar, berkata mesra, "hei cantik, aku kangen "
Ia menengadah menatap matahari, dimana isak mulai terdengar lirih.

If you loved me
Why'd you leave me?
Take my body,
Take my body.
All I want is,
And all I need is
To find somebody.
I'll find somebody like you.


Nomaden, 1 Sept '16

*lyric by Kodaline - All I Want