Pages

Minggu, 28 Desember 2014

Teropong Mimpi Dari Almari

Aku sering melihatnya begini. Sekian banyak tidurnya yang aku perhatikan dari puncak almari, berapa kali sudah yang seperti sore ini.
Kudapati ia terbangun dan tengah senyum sendiri. Rupanya mimpi yang barusan, terasa kali nyatanya hingga otot, dan daging-daging di badan menyesuaikan gerak. Ia terbangun dengan ekspresi bingung disertai rasa bahagia membucah yang awalnya, aku bingung datangya dari mana. Ternyata dari mimpi barusan, yang kuduga, lagi-lagi, tentang gadis yang kian sering muncul dalam igaunya.

Kuperhatikan ia langsung duduk, menyelaraskan lagi dengan dunia nyata, mencoba redakan debar hati yang sedari tadi tak jelas apa ritme dan ketukannya. Amboi, bahkan detak jantungnya terasa hingga ke tempatku berada, di pucuk almari! Setengah sadar, ia cek ponsel berharap ada kabar dari dia yang dimimpikan, kalau-kalau peristiwa barusan adalah ingatan, bukan bual khayalan. Tapi sepertinya tidak, bukan. Ponsel tak berisi sesuatu yang menggairahkan, sepertinya. 

Dengan gerakan malas ia meraih botol air dan mereguk isinya, untuk kembali membangunkan organ dalam badan yang tengah mabuk dalam semu. Setelah mendapat kembali kesadaran, malah tampak ada rasa kecewa yang nyempil. Mungkin kecewa karena, yang barusan hanyalah mimpi.
Sebuah mimpi dimana semua serba dirinya, dan seorang lagi yang ia puja, di dunia yang fokusnya hanya pada mereka sahaja.
Kulihat ia menulis sesuatu di note ponselnya. Apa yang ditulis aku tak tau. Tapi yang jelas, rautnya merona merah. Astaga, hangatnya terasa hingga ke atas sini! Begitu senang rupanya dia. Syukurlah, aku ikut bahagia.

Aku, dan teman-teman yg lain, sebagai sekelompok hal yang pernah dibagi cinta dan sayang olehnya, turut berbahagia bila ia terlihat seperti ini. Tak lagi murung berhari-hari seperti berbulan-bulan lalu saat aku baru saja jadi penghuni pucuk almari di kamarnya yang kecil ini. Setidaknya, berbagi afeksi ini sebagai wujud kecil terima kasih atas kasih yang kami terima selama ini.

Sepertinya selesai sudah catatannya. Diletakkannya ponsel di depan tv, lalu ia melangkah keluar kamar, masih dengan wajah yg merona. Pintu kamar ditutup, kamar menjadi hening dengan sisa-sisa kehangatan dari emosinya, suara kecil dari rintik gerimis merambat terdengar. Ia meletakkan ponselnya diatas sebuah novel, sebangsaku. Kupanggil novel itu, kutanyakan, bisakah kau lihat catatan yg baru saja di tulis di ponsel itu? Setelah mengiyakan, kuminta si novel membacakan. Bacakan yang kencang untuk semua benda di kamar, pintaku. Lalu ia mulai membacakan suatu cerita, memecah sunyi kamar, diantara kehangatan emosi yg tersisa, dibalut suara rintik gerimis sore yg kian mengeras:

Mimpi sore ini: 
Berlatar sore, ketika aku dan temanku berplesir ke kosnya, seperti biasa rupa. Dan ketika hendak pulang, aku ajak dia cari makan, karena setelah ratusan berkisah dan cerita membuat kami lupa pada urusan perut. Setelah kami bertiga makan di luar, kami mulai melangkah pulang, yang anehnya saat itu, kami berjalan searah, meskipun kosku dan kosnya berbeda, dan lebih aneh lagi, temanku yang seorang menghilang. Dasar alam mimpi. 
Kami berdua, aku dan dia, berjalan pelan menikmati sore yang gelap karna langitnya sudah hamil tua. Di jalan bercengkerama seperti biasa, ia pun cantik seperti biasa: tertawa, mencubit, memukul, sedang badan makin merapat, mungkin juga karna dorongan angin dingin kala itu. Lalu setelah sebuah tawa untuk suatu canda berakhir, ada suatu hening canggung yg tercipta, dimana senyum masih nyisa di tiap-tiap bibir yang mengatup rapat. 
Hening pecah, ketika ia, oh Tuhan, dengan merdunya melantunkan lagu. Dia menyanyi! Ia menyanyi dengan suaranya yg lembut nan merdu itu, bernyanyi sebuah lagu cinta yang ceria, ah sial, tak mampu kuingat judulnya. Mendadak aku senyum lebih lebar, setelah mendengarkan ia melantunkan beberapa bait, aku ikut menyanyi pula! Ini hanya karna terbawa suasana, sedang nyanyiku bukanlah sama sekali tandingan suaranya. Kami bernyanyi berdua, berduet bersama, dimana setelah beberapa bait kunyanyikan, atas kuasa suatu alam yang bukan aku penguasanya, tanganku naik ke pundaknya, mendekap, atau memeluk? Entahlah, yang pasti aku lingkarkan sebelah lenganku, yg sedari tadi beku disampingnya, ke belakang lehernya untuk nyangkut di pundaknya. Tampak jelas kalau ia kaget, tapi tak ia hentikan dendangnya. Sekilas kutangkap senyum dibibirnya. Aih, tak berani ku pandang dengan lantang. 
Lalu langit mendadak pecah: hujan turun! Gerimis deras menerjuni langit. Masih dalam pelukku, ku ajak ia berlari. Ia mengangguk lucu. Masih dalam pelukku, kami berlari, sembari tertawa, lalu menyanyi. Hah, tak berasa sedikitpun dingin di badan. Yang ada malah rasa hangat yang aneh yang menjalar sampai-sampai ke bulu tengkuk. Kami berlari dan bernyanyi hingga tiba di tempatku, dimana saat itu barulah kulepas pelukku dengan enggan. Lalu bersama berhadap tatap dalam senyum, dalam sunyi. 
Jantung keparat. Aku terbangun karena debar jantung yang telah tak tentu ritmenya. Aku terbangun dari sebuah dunia yg mungkin hanyalah sebuah harapan tertumpuk, memupuk menumbuhkan bualan. Tapi aku ingin sekali melanjutkan mimpi ini. Menjadi racunkah atau bukan mimpi ini nanti mengarah, aku tak peduli.
Keluar kutukan yang bertuding diri sendiri. Aku malu.

Selesai membaca. Kami terdiam. Kulihat teman-teman sederet senyum terharu. Ah, andailah kami bukan sekedar buku, tapi seekor makhluk, maka sudah kupeluk ia, pemilik kami, atas cinta yang ia rasa, atas anugrah yang mungkin masih dalam diam diterimanya, tapi perlahan merambat ke semua aspek kehidupannya. Tapi apalah daya sebuah buku? Dalam maklum kami berdoa untuk bahagianya, semoga doa kaum buku yang rendah ini masih dijabah. Sebuah sore yang indah di kamar yang makin sunyi ini. Kuharap suatu hari nanti, aku bisa melihat sendiri gadis pujaan tuan yang pengaruhnya bisa sampai ke kami.

Nangor, 27 Des '14

Senin, 22 Desember 2014

Kebanggaan (?)

Bangga-bangga yang semu 
Semi, Membatu 
Macam penuh 
Nyatanya semu 
Sepi, menjenuh


Nangor, 22 Des '14

Minggu, 21 Desember 2014

Attention Seeker

Banyak manusia yang krisis identitasnya sebagai manusia. Mereka ini, butuh diakui, sebuah pengakuan dari manusia lainnya akan eksistensi dirinya sebagai anggota pada ras berakal itu. 
Pada tahap ini akhirnya muncullah apa yang disebut attention seeker. Sekianlamanya ia memendam pertanyaan "bukankah aku ini manusia?" , sehingga dipamerkannya bukti-bukti bahwa ia memang seorang makhluk sosial, jika ada manusia lain yang sejenak menyempatkan melihat. 
Karena kepada siapalah lagi ia mendapat pengakuan jika bukan dari sesama manusia? Sedang kepada binatang dia merasa tinggi.


Pun begitu pada agama
Atau para mahasiswa

Maka berbesarhatilah, maafkan.



Nangor, 20 Des '14

Jumat, 19 Desember 2014

Geliat Senyap Hari

Tanpa sadar, umur menelan semua dasar
semua gila pada hari,
semua canda dan tari
perlahan dibungkusi
oleh kain lebar
berlukis tanggung jawab
diikat tali
bersimpul:
mati
Nangor, 18 Des '14

Kamis, 18 Desember 2014

Tawa Sunyi Seorang Sendu

Sekarang, aku sedang membaca (lagi) bukunya Pram: Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Ini buku beliau keempat berarti yang kubaca setelah Rumah Kaca. Sebenarnya hasrat untuk melanjutkan membaca karya-karya P.A.T sudah membuncah sedari aku menamatkan Tetralogi Buru. Tapi apa daya, kemalasan (lagi) menghalangiku, terlebih mata dan otakku seringkali nyangkut di film berseri dari barat yang sekalinya nyangkut bisa makan waktu hingga berbulan. Ditambah, mencari karya-karya beliau di toko-toko buku kontemporer sekarang terbilang susah.

Ada sesak yang sama yang kurasa saat membaca NSSB, dan Tetralogi Buru. Sesak karena rasa sadar bahwa di bumi, ada makhluk yang berakal yang dengan sengaja menindas sesamanya, yang kadang alasannya tak kena logika. Tetapi ada desir yg berbeda di dalam NSSB, yang bikin sesak dada tambah parah. Ini merupakan buku autobiografi. Ya, ini berarti, semua kejadian malang dalam buku ini benar-benar pernah terjadi, bukanlah imajinasi, tapi sungguh dirasakan oleh daging P.A.T sendiri! Sesak!

Tapi di antara sesak nafas yg kuderita lantaran amarah yang bergemuruh di sanubari, tetap saja ada bagian dimana ketika terbaca, keluar juga dengusan kecil dari hidung dan mulut disertai senyum, bahkan tawa pun. Sungguh aneh lagi hebat, ditengah sekian beratnya himpitan hidup, beliau masih bisa menemukan sepercik humor, walau kadang satire dan penuh sarkas, yang menunjukkan kelapangdadaan yg luar biasa. Yang menunjukkan bahwa dia, adalah manusia, sekalipun hak-haknya telah dihilangkan sebagaimana rupa.

NSSB sedikit lagi kuselesaikan. Dan sebelum halamannya tuntas tertutup sampul belakang, aku ikrarkan, kan kubaca semua karya-karya Pram, kuserap saripati kata-katanya, untuk nanti jadi bahan bakar menjadi manusia yang lebih baik.
Semoga Tuhan memberkati ikrarku ini.

Nangor, 18 Des '14

Buih-buih

Ada riuh yang menggembirakan
Pada pagi
Pada gulungan ombak yg buyar diri di tepian
Berbuih mengisi ceruk karang yg bolong
Terisi, penuh, meletup, kembali kosong
Akankah selamanya hidup seperti ini
Pecah, berai, berbuih
Untuk nanti hilang ditelan bumi

Batukaras, 14 Des '14

Selasa, 16 Desember 2014

Kesetanan

Manusia dan setan-setan yang dia ciptakan sendiri
Dipuja diam-diam, untuk nanti dihina-dina berhadap-tatap dengan kaca
Coreng sendiri tai ke muka
Saling tuding sama cermin,
siapa salah siapa dusta,
sedang muka sama karutnya,
penuh cipratan ludah dari lamanya bersenggama kata,
sama kaca!



Nangor, 16 Des '14

Untuk paman-paman taliban yang mencabut-paksa hak hidup pakistani kecil mereka. Darah dagingnya. Di sekolahnya.
Untuk manusia yang kesetanan dan disetankan

Kamis, 04 Desember 2014

Inkonsistensi

Malam ini, aku naik ke awan. 
Aku bertanya, mengapa awan, setelah beberapa minggu ini, menyusahkan manusia dengan hujan-hujannya yang seperti tangis bayi mendamba susu sang bunda. Deras, dan tak kunjung henti. Setelah beribu tangga, aku akhirnya tiba dihadapannya. 
Malam itu, dia gelap. Gelap seperti pagi dan sorenya. Langsung saja aku mencerocos bertanya, mengapa awan, yang menurutku ditakdirkan oleh sang Hyang untuk membantu manusia, malah membuat repot selama beberapa minggu ini? Tidakkah dia tau jika pekerjaan manusia terhambat karena hujan deras yang tak kunjung reda? Bukan hanya menghambat secara teknis, tetapi juga memberi dampak kepada batin manusia yang menjadi murung lantaran terbawa suasana gelap yang dihantar hujan.

Awan melihatku dengan sinis, mendengus, lalu berkata, bercerita: 
Bukankah pada dasarnya manusia mencintai hujan? 
Dengan mesra mereka mendamba setiap rintik 
Dengan manja mereka reguk setiap tetes 
Lalu dengan angkuh berkata: "Akulah pemilik hujan dengan segala cinta" 
Lalu dengan tamak meminta: "Demi cinta, balas kami dengan lebih" 
Maka lebih kuberi, lebih kubagi 
Maka hutan merimbun, angin menusuk 
Sungai meluap, dan tanah menelan kaki-kaki yang mencoba melangkah 
Lalu mendengus mereka berkata:
"Karena ini kami membenci hujan!"

Senin, 10 November 2014

Ada hujan di nangor

Selalu ada yang menarik saat hujan turun
Selalu ada perasaan yang bercampur aduk disana
Ada ingatan-ingatan indah seiring rintik-rintik basah yang tiba,
Juga memori-memori sendu di sela dinginnya angin.
Mungkin karena ini istilah rainy mood muncul..
Ya, hujan bisa menciptakan atmosfernya sendiri, yang terkadang biru dengan semburat-semburat cerah, atau malah kelam dengan tiupan-tiupan dingin..

Jatinangor sekarang kembali dengan sifat aslinya. Dingin, basah, dan romantis. Tapi romantis tak melulu merah jambu, kadang, romantis penuh dengan warna-warna kelabu. Inilah yang menyesakkan. Inilah kota yang menggalaukan.

Ketika setiap susunan benda di kamar kos mu terlihat dramatis, lagu-lagu di playlist mu terasa melankolis,  dan ingatanmu melulu tentang yang sendu-sendu, baik itu tentangmu ataupun siapapun, maka selamat, kamu galau.
Diperparah dengan rainy mood yang dingin.

Saranku: keluarlah!
Berkumpul lah dengan teman-teman mu, obrolkan sesuatu yang membuatmu semangat dan ceria. Timbulkan rona terang kembali di pipimu.

Tapi bagaimana jika obrolan-obrolan malah membuatmu berpikir jauh menembus ramalan, tentang masa depan yang dengan sejuta bintang pun belum terlihat terang?
Mengerikan.

Ya, hidup memang mengerikan.
Terlebih ingatan.

Selasa, 04 November 2014

Begadang

Ketika tidak lagi ku gauli mimpi
Ku tunggu matahari
Duduk, sembari ngopi
Ku sulut tembakau di tangan
Lalu kugoda bulan
Ah! Jarum jam cemburu!
Jadi semakin berdebar memburu
Amboi, aku dicumbu waktu!

Lalu terasa tak enak hati
Kucoba bangkit, berdiri
Lalu jatuh, mengaduh
Nah! Tak lagi kuat badan menopang
Terasa kau sekarang umur tlah kurang

Jangan salahkan hari
Yang hanya gendongi mentari
Sementara putarannya adalah takdir
Yang kadang mengantar bertemu khidir
Atau sampai ke titik nadir

Coba curigai hati
Yang katanya sudah selingkuhi
Macam ragam dunia
Hingga lupa balik ke raga

Curup, '12

Jumat, 31 Oktober 2014

Diam

Kamu diam aku diam
Sampai kapan kita diam-diam
Sedang canda semakin mesra
Daun-daun bergugur tua
Dan detik berpantun iba
Diam..diam..diam..diam

Kamu diam aku diam
Sampai kapan diam-diam
Sedang tangan saling genggam
Nyaman mencengkram
Dan doa saling dipanjatkan
Dalam diam, diam, diam.

Nangor, 30 Okt '14

Sabtu, 18 Oktober 2014

Kau!

Kau yang selalu hadir saat anjing-anjing mulai melolong
Kau yang selalu mampir saat detak jam begitu kosong
Kau yang menghantu
Kau yang mengganggu
Kau yang ditanyaku
Kau kah cinta?
Kau sekedar nafsu?
Kau hantu!
Kau ganggu!


Nangor, 19 okt '14

Jumat, 10 Oktober 2014

Waktu menunggu

Menung di antara pesing keritingkan bulu hidung
Sedang geliat pagi mulai riuh bersenandung
Aku resah, diantara silau lampu dan kentut mobil
Untung purnama setia saja nyempil
Mana perut keparat makin tak stabil
Sungguh, menunggu serupa mati kutu,
Mati saja aku dibunuh waktu

Kiaracondong, 10 Sept '14

Selasa, 07 Oktober 2014

BDG

Ada cinta di sana
Di kota indah
Jalanan kota yang menyambutmu mesra
Lampu-lampu jalan dan taman penuh romansa
Senyum-senyum yang ramah
Langkah-langkah sopan berirama
Pada pagi yang dingin
Pada Siang yang ramai
Pada Sore yang indah
Pada malam yang penuh cinta

Cirebon, 5 Okt '14

Senin, 06 Oktober 2014

Sajak pagi

Sisi kanan cerah, sisi kiri mendung
Bagaimana nasib sore?
Tetap tak pasti
Tak sejiwa pun bisa memasti
Hanya bisik-bisik semu
Bahwa pagi ini cerah,
sedang sore mungkin kelabu.

Curup, 21 Jul '13

Jumat, 03 Oktober 2014

Ketika selimut ditarik

Peluklah, hai dingin pagi
Peluklah raga dan rusuk-rusuknya
Nyatakan: surgamu semu di mimpi
Sadarkan tentang hari dan jahatnya
Masuklah melalui celah pintu dan jendela jendela
Yang sudah mulai dibuka dan terbuka
Bangunkan hati yang belum terjawab tanyanya
Meski seribu tanya masih belum dijawab nirwana
Bangunkan saja tidur para manusia
Agar dingin menghidupkan daripada semi semu tidur menghancurkan

Nangor, 1 Okt '14

Selasa, 30 September 2014

Ceramah kaum pemuja

Hai kalian para pemuja mentari yang setia
Kalian yang selalu berdoa menyanjung diam-diam
Kalian yang mengasihi dalam hati
Camkan tanyaku dalam hati:

Kau yang gembira ketika dia senyum berseri; Kau yang bercita ketika dia terik menari:

Apabila suryamu tenggelam, sanggupkah kau hadapi malam?
Ketika hanya diterangi murung rembulan, dapatkah kau teruskan jalan?
Meski ditemani ribuan bintang, bisakah kau lupakan dia yang paling terang?
Karna tak satupun jiwa berani berjanji, bahwa pagimu kan kembali
Bahwa mentari kan kembali dari belahan bumi satunya lagi
Bahwa sang surya kan temani kita lagi
Bersama berjuang
Mesra menyongsong siang
Seperti dahulu ketika pagi masih berseri

Nangor, 26 Sept '14

Minggu, 28 September 2014

Siapa kamu?

"Perasaan itu mengerikan. Dia bisa muncul dalam bentuk apapun- Marah, sedih, senang, benci, cinta -dan bisa muncul kapanpun yang kadang tanpa alasan apapun. Dan kita, manusia, hanya bisa pasrah dalam ombang-ambing ombak takdir dan perasaan. Antara hidup dalam badai, atau mati dalam ingatan."



"dek, tas nya jangan ketinggalan".


"Iya ma".



"Tiketnya jangan jatuh, taruh di kantong depan".


"Iya ma".



"Tas nya di jaga, jangan sampe ketinggalan".



"Iyaaaaa maaaaaa".

Percakapan lucu yang tidak sengaja kudengar dari keluarga sebelah yang mengantri untuk masuk lobby. Percakapan yang samar-samar lalu kian jelas terdengar diantara percakapan lain di kiri kanan ku. Entah kenapa percakapan itu yg masuk di telinga. Aku yang lagi bengong, sambil senderan sama koper gede, nunggu antrian. Dalam bengong sambil mengedarkan pandangan ke sekitar, mungkin karena perilaku repot keluarga tadi yang menjadi penyebab percakapan mereka mampir di telinga; ayah, ibu, dan anak perempuannya, 15 tahun mungkin, dengan bawaan yang banyak, atau bisa dibilang lebay, dan bagaimana ribetnya mereka pas mau masuk lobby. Mungkin itu sebabnya perhatian saat bengongku terarah pada mereka. Ah, aku memang suka memperhatikan manusia dan tingkah laku mereka. Terlebih pada keluarga kecil seperti mereka. 
Mendadak aku senyum sendiri.

"Ya, kenapa bengong?"

"Ah, ngga tante, lg kepanasan aja, hehe"  kataku.

Sebenernya, bandara masuk dalam 10, ah, mungkin 5 daftar tempat yang aku ngga suka. Mungkin di urutan 3 atau 4. Kenapa? Well, pertama: Rame. Apalagi kalo hari libur macam sekarang. Dan karena rame muncul alasan kedua: ribet. Yap. Bandara di indonesia itu ribet, apalagi bandara di sebuah provinsi yang belum bisa dibilang maju ini. Ketiga: bosen. Bosen karna ribet karna rame. Tambah bete karena alasan keempat: panas! Panasnya disini itu Na'udzubillah. Udah masuk lobby yang pake ac pun masih panas loh! Entah karna emang panas nya ga normal atau karna ac nya dimatiin buat penghematan, entahlah. Dan alasan terakhir: bikin galau. Yes, karena bandara tempat perpisahan. Baik yang berangkat itu kita sendiri, ataupun cuma ngantar orang lain, tetep aja kita akan berpisah satu sama lain. Bikin galau kan? Nah, ke bandara kali ini pun bikin galau, karena mau nganter tante kesayangan pulang. Aih, andai libur bisa di modifikasi.

"Tan, kenapa harus pulang sekarang sih? Udah tambah aja cutinya"

"Maunya gitu ya, maunya gitu. Tapi ga bisa lagiii, ini aja udah bolos 2 hari. Kamu mau tantemu yang cantik ini pengangguran?"

"Ga mauuu, nanti ga bisa beliin cahya oleh-oleh lagi dong"

"Nah, ga mau kan. Makanya kamu aja yang ikut tante yuk"

"Mau banget! Tapi tante yang minta izinin ke mama ya!?"

"Waw. Ga berani ah. Belom kuat mental di omelin sama mama kamu, hahaha"

Tertawa. 
Lalu ada keheningan yang melankolis. Aku sedih sebenarnya. Dan aku tau tanteku juga sedih. Tapi kami ga mau nagis-nagisan di bandara kaya sinetron. Karna kami berdua terlalu periang dan "gila" untuk tangis-tangisan.
Ah, tidak, jangan sedih cahya, jangan sedih! Mari kita bengong dan edarkan pandangan sekali lagi. 
Keluarga yang ribet tadi udah di antrian depan. Dan masih tetap ribet. Apalagi pas mau masukkin koper-koper yang sedemikian banyak dan sedemikian gede itu ke pemindai. Aku berhasil tersenyum lagi. Bagus ya! Mari kita edarkan pandangan lagi, biar ga sedih-sedihan. Mari perhatikan tingkah laku manusia yang unik-unik ini. 
Di belakang keluarga tadi ada bapak-bapak dengan setelan jas, ngepit koran di keteknya, sambil nelpon pake tangan yg sama, dan tangan satunya lagi memegang......rokok! Ugh, aku benci rokok. Terlebih lagi aku benci manusia yang merokok, padahal jelas-jelas di atas jidatnya ada tulisan larangan merokok. Argh, bikin emosi. 
Di sebelah bapak ngeselin tadi ada ibu muda yg nggendong anaknya yg masih kecil. Astaga, anaknya lucu sekali! Sambil ngantri, ibu muda itu bermain sama anaknya sembari di gendong. Astaga, bahagia! Tapi bapaknya mana? Mungkin sedang menunggu di bandara di seberang pulau, tujuan pesawat ini berangkat kelak. Ah, jaga anak dan istrimu baik baik ya pak. 
Di depan ibu muda tadi ada seorang pemuda yang tampak bingung. Mungkin ini pertama kalinya dia naik pesawat dan ga nyangka bakal ngantri sepanjang ini. Sabar ya mas, di dalam ngantri lagi kok. Di belakangnya ada kumpulan muda-mudi yang ribut banget, mau liburan mungkin. Ga ada yang menarik dari mereka selain lil' bit annoying
Di depan pemuda bingung, ada seorang pemuda lagi yang, entahlah ini perasaanku aja atau bukan, terlihat kontras dengan orang-orang sekitarnya. Kayaknya seumuran sama aku, atau setahun lebih tua. Tinggi lumayan sekitar 175 cm. Ga terlalu ganteng kok padahal, ga kekorea-korea an. Sambil setengah duduk di atas kopernya, dia mainin hp yg dibawahnya tercolok headset yang ujungnya nyantol di kupingnya. Dengan rambut yang jingkrak-jingkrak, Dia make  polo coklat dilanjut ama jeans standar dengan sneakers nike atau adidas, entahlah, berwarna abu abu. Astaga, tanpa sadar aku memperhatikan dia sedetil itu! Entahlah, dia macam magnet dan mataku macam besi biasa yang selalu tertarik padanya. Ada yang berbeda darinya diantara manusia manusia di sekitarnya, apalagi dengan pemuda di belakangnya, kontras. 
Dia sempurna dalam ketidak sempurnaan. Dia cool dalam hari panas. Dia nyantei dalam keribetan. Dia seperti orang yang akan mendengar semua ceritamu, tertawa oleh semua jokes mu, sedih oleh semua galaumu, hangat dalam semua dinginmu. Aku bertaruh, senyumnya pasti bikin kacau ritme jantung. 
Dan tiba-tiba dia mengangkat kepalanya, dan melihatku. Semuanya dalam slow motion bagiku. Dan mataku dan matanya bertatap temu. Alur pandang kami satu. Dan aku masih tidak sadar dengan bengongku, yang entah ekspresi wajah macam apa yang aku buat saat itu. 
Dan dia tersenyum! 
Astaga! Astaga! Dia tersenyum padaku! Aku menang taruhan. Senyumnya memang bikin kacau ritme jantung! Kami bertemu pandang lama menurut waktu semesta, tapi sebentar menurut waktu dunia. Aku gemetar. Lalu dia melihat kebelakang, kearah antrian, sadar bahwa antrian sudah jalan dan sudah gilirannya untuk masuk ke lobby. Setelah itu dia memandangku lagi, tersenyum lagi, lalu berpaling sambil melangkah masuk sambil menyeret kopernya. Menjauh. Lalu dia hilang, ditengah kerumunan orang di depan alat pemindai, dia hilang. Aku tetap bengong. Hingga aku mengalami rasa yang abstrak tapi bikin tidak enak, sangat sangat tidak enak. Aku merasa baru saja jatuh dari tempat yang tinggi. Dadaku sesak. Jantungku tak beraturan berdetak. Aku ingin menangis. Aku menangis!!!


"Ya..., ya.., kamu kenapa?" Tanya tanteku.

Aku hanya bisa diam sambil menggeleng tertunduk, dengan mata yg mulai merembes basah. Lalu aku menarik nafas panjang yang terdengar seperti orang astma, lalu mulai sesegukan. Tanteku pun memelukku erat.

"Kan tadi kita janji ga boleh sedih-sedihan ya" tanteku juga mulai menangis

"Maafin tante ya, tante janji nanti balik lagi kok kalo libur, atau kamu yang susul tante ya. Tante janji bakal ngajak kamu keliling kota, main sepuasnya."

Tangisku makin parah. Kami berdua berpelukan menangis. Dia lalu melepaskan pelukkannya, menyeka airmatanya, lalu airmataku. Memegang tanganku erat dan menciumi pipiku berkali-kali. Lalu berkata "sampai jumpa cahya". Dan melangkah menuju pintu pemeriksaan, lalu hilang.
Aku masih berdiri mematung, dengan air mata yang ga terkontrol alurnya, dan mungkin juga dengan muka yang merah, sangat merah. 

Aku merasa hancur hari ini. Aku jatuh cinta, lalu aku patah hati 2 kali. 2 kali!
Aku jatuh cinta pada sosok yang suaranya pun seumur hidup belum pernah kudengar. 
Dan dia hilang. Yang mungkin sampai akhir hidupku pun takkan pernah bertemu lagi.



Sudah kubilang, aku benci bandara!!!
















*tulisan yg agak teenlit ini fiksi, dengan sedikit inspirasi dari kisah nyata roman dedek eumes

Selasa, 23 September 2014

Suatu Pagi di Hutan Mati

Diantara kerikil debu yang diinjak kaki
puncak-puncak  di lautan awan yang menyembul tinggi
atau tarian bisu para cantigi :
Kudekap jingga kala pagi
Jikalau takdir 'kan bawa pergi
Maka teruskanlah langkah lagi
Dari kelam pada malam
Sampai mati pada pagi



Hutan mati, 20 Sept '14

Suatu Malam di Padang Kelam

Aku Menyerah padamu malam ini, bimasakti
Tengadahku padamu bentuk kepasrahan hati
angin dingin goyahkan kaki menopang
Aku masih berdiri di tengah luas padang
Malam ini malam yang riang di pondok salada
Semua bernyanyi semua tertawa
Api unggun girang sambar kemana-mana
Nikmati dingin yang kian goyahkan raga
Bawa aku kepada sesuatu yang abadi, hai bimasakti
Kepada keriangan yang kau simpan di antara ribuan bintang
Angkat aku dari kehampaan yang jalang

Kembalikan aku menjadi partikel mu, hai semesta
Jadikan aku setitik yang cahyai bumi
Diantara ribuan yang telah dan tak berarti


Pondok salada, 20 sep '14

Sabtu, 13 September 2014

Aku, Yang Mulia, dan Teori-Teori

Menembus gelombang kalam yang seakan tak kan surut

Terbang melewati putaran kipas yang kadang berkedut

Aku tak ingin kau buat takut!

Biarkan ku jelajah peta semau

Terjemahkan prosa menurutku

Usah gurau, tak kan rusak kelasmu

Benang beda jalur tak perlu kusut bersatu



Nangor, 5 Sept '14

Jumat, 05 September 2014

9.37 am

Terbangun pagi, jam sembilan lebih tigapuluh tujuh
Agak siang lagi, itupun karna sebelah yang gaduh
Tapi ini bukan pagi biasa
Ini bukan seperti kemaren lusa
Pagi ini aku berdebar

Sekonyong flashback akan potongan mimpi terngiang yang ku coba rangkai menjadi sesuatu yang masuk akal
Membentuk suatu roman yang ku kenal

Aku ingin bersajak!
Aku ingin diajak!

Segera ku ambil C.A dan W.S.R
Kunikmati setiap rangkaian kata yang tak lagi populer
Sekarang semuanya masuk akal
Kaulah roman yang kukenal

Maka segera kugores tinta dengan penuh rendah hati tapi kian mengeras
Karna rasa dalam hati mulai bikin suasana tak waras
Ku buat sajak-sajak tentang mu, wahai cerminku:

Tentang bagaimana harapku benang takdir kan membilit kita satu

Tentang bagaimana sajak-sajak kita berakhir dalam antologi satu buku

Tentang bagaimana kau dan aku bersama meniti jalan-bumi-semu

Kau dan aku



Nangor, 6 Sept '14

Jumat, 29 Agustus 2014

Awanlah!

Jika ditanya apa yang paling kau suka dari hari yang telah menua dalam biru tanpa celah, maka sigap kujawab: awanlah!

Seharian saja bisa menengadah sampai kejang batang leher, tetap saja mendongak melamun melihat mengumpul ludah berkata: awanlah!

Karna rangkaian syaraf otak manusia mengizinkan meliarkan bermacam fantasi dan menerawang melintas gumpalan putih tenang menuju bahya tapi tetap berjalan berbaris rapi sembari membentuk bentuk yang kadang mistis dalam rangka duniawi

Karna tabiat tamak manusia menginginkan sepasang sayap yang pada akhirnya hanya akan jadi alat mendosa yang nanti harus ditanggung di lantai-lantai langit

Karna sifat lembut manusia yang membuat rasa damai ketika melihat hamparan padang biru diatas hijau terpantul cermin beriak  yang lalu muncul gerombolan putih datang dan pergi kadang ramai kadang sepi entah bulat entah pipih bikin angan terbang tinggi lalu teriak kencang dalam hati: awanlah!

Bengkulu, 8 Agustus '14

Hah?!

Guratan kasar nan absurd
Di langit senja pada hari yang kalut
Bah, indah tapi menghina
Kau kira aku ini siapa?
Akulah manusia!
Takdirku 'kan hapus takdirmu
Bahkan kau, langit
Bahkan kau!

Nangor, 26 agustus 14

aku 
 kau 
  kita 
   siapa 
    bersama 
     kesana 
      kembali 
       kesini 
        berjalan 
         berdua 
          berangan 
           bersama
            tertawa 
             bercanda 
              sedih 
               cerita 
                bersama 
                 berdua 
                  tersipu 
                           aku 
                             kau 
                              kita 
                                bagaimana 
                                 ku 
                                 jejak 
                                  kau 
                                   ikut 
                                    kau 
                                     langkah 
                                      ku 
                                       turut 
                                        berdua 
                                         bercengkerama 
                                          bercanda 
                                           dunia 
                                              aku 
                                          kau 
                                      kita 
                                beda 
                             tapi 
                    senada
              kenapa 
        tersipu 
     aku 
     mau 
     kita 
     terlibat 
     takdir 
     bersama 
semoga.

                                                                  Tapi kita apa?


Pasteur, 24 Aug '14

Sabtu, 14 Juni 2014

Kesenjaan

Rerumputan liar mulai mendesah layu,
lelah memamah selama hari bermentari

Cemara langit perlahan merunduk jauh ke ujung ufuk,
seakan lari dari bahaya yg akan menghampiri

Sedang diri masih di sini,
mematung sendiri,
menjadi saksi sihir yang merubah cahaya menjadi remang lalu kelam

Bersaksi atas lampu-lampu taman yang mulai berpendar tentram

Tapi hidup tetap di sini
Masih dihimpit kesemuan gravitasi

O, alangkah hidup tidak pasti,
Tetapi mati



Nangor, 13 Juni '14

Minggu, 08 Juni 2014

mdpl

Aku ingin lebih sering bertemu denganmu, sayangku
Bercengkerama dengan rerumputan basah
Dengan embun-embun
Dengan gemerisik angin dingin sekian derajat
Dipayungi padang bintang dan lentera bulan

Aku ingin lebih sering tidur denganmu, sayangku
Menggeliat di peluk tanah lembab nan harum
Ditelanjangi gigil subuh
Dihangatkan terpaan sinar pertama pagi

Aku ingin lebih sering melihat tubuhmu, sayangku
Lekukan indah di sekujur badanmu
Menggairahkan hati merangsang indera 
Rasa yang tak mampu dicerna sastra

Takkan lelah kaki Takkan pupus hati
Selimuti ragaku dengan kabut putih!
Aku akan selalu berjuang, hingga perih hingga pedih
Untukmu, Untukku, untuk kita hingga dicampur mati



Nangor, 08 Juni '14

Rabu, 21 Mei 2014

Nyanyian si Cu'up




Kau kenal lanang itu?  Ya, si Cu'up, Si Sudun Cu'up yang berdendang melulu itu.
Ah, temanku dia itu. Teman dari orok kalau boleh ku bilang. Bahkan sedari bocah sudah saling jitak kepala sampai nangis tumpah ruah, hahahaha, lalu kami pun berbaikan lagi esoknya.

Cu'up itu, selalu suka menyanyi dan berdendang. Periang memang anaknya, walaupun sebenarnya dia pemalu, malu kalau suaranya di dengar orang. Tapi dia hobi menyanyi dan berdendang. Entah kapan hobi nya itu dimulai, dia saja lupa, apa lagi aku. Yang pasti, sejauh ingatanku, tak pernah Cu'up kecil jadi bocah penyanyi. Menggumamkan lagu sih sering, macam lagu Chikita Meidy yang terkenal dulu, ingat tidak kau?
Tapi nyanyi tak pernah jadi hal yang dia bangga-banggakan. Tak pernah Cu'up jadi macam Joshua yang bikin klip video sama papanya. Pun orang tua Cu'up tak pernah juga mengajaknya ke acara kontes menyanyi anak, sepanjang pengetahuanku. Itu berarti memang bukan bakatnya. Dia pun berkata begitu saat kutanyakan tentang hal ini. 

Lalu, Cu'up cerita padaku,
"Ah, tapi aku ingat. Mama ku dulu hobi karaoke. Dan aku pun sering duet atau jadi backsinger nya. Mama tak pernah memuji, tapi dari senyumannya, aku tau dia suka melihatku bernyanyi. Kami nyanyi sama-sama lagu broery, pance, d'lloyd, dan sederet artis zaman sebelum internet. Mungkin dari situlah yang membuatku suka bernyanyi. ", katanya.



Cu'up selalu suka bernyanyi dan berdendang. Lagu apapun, bahasa manapun. Selama itu melekat di hati, Cu'up akan menyanyikannya. 
Mungkin suara Cu'up tidak bagus-bagus amat, tapi persetan, yang penting dia suka. Aku ingat, pernah Cu'up mencoba belajar alat musik untuk mengiringi lagunya. 
"Sekalian untuk menutupi fales suaraku juga" , katanya. 

Tapi kecul. Tak ada yang selesai, bahkan gitar pun cuma bisa kunci dasar. Padahal papa nya sudah membelikan gitar karena sedih melihat anaknya belajar gitar dengan gitar orang, yaitu gitarku. Bah.


Di sekolah menengah pertama dan atas, pernah juga Cu'up dan aku bergabung di grup band kecil-kecilan. Tak pandai kami memang, tapi jadilah, yang penting kami senang. Aku suka main gitar, jadilah aku gitaris. Temanku suka drum, jadilah dia drummer. Karena kami takda yang pandai sumbang suara, dan karena Cu'up seorang yang hobi menyanyi, didapuklah Cu'up jadi vokalis. Tampil lah kami di acara-acara sekolah. Lucu juga kalau ku ingat lagi, tapi seru.
"Cuma segitulah karirku menyumbangkan suara untuk orang banyak. Tak pernahlah lagi aku memperdengarkan suara sumbangku ke khalayak. Tak PD aku, kasian liat orang-orang nahan sakit kuping. Biarlah aku sendiri yang menikmati suara sumbang ini. Bergitar di kosan dengan berbagai macam lagu dari berbagai macam belahan dunia.  Ah, mantap! " , kata Cu'up. 
Benar pulak pikirku. Setuju aku dengan pikiran temanku  itu. Bergitar sendiri di kosan sambil kepul asap dan sruput kopi emang paling mantap, setuju pulak kan kau?


Menurut curhatnya padaku, tak pernah Cu'up ingin mendengarkan suaranya ke orang lain. Biarlah dia yang menikmatinya. Mengungkapkan perasaan dengan nada-nada yang terkadang sumbang. Katanya, dia nyaman dengan kondisi ini. Cu'up nyaman dengan situasi ada dalam ketiadaan.
Sampai tiba seseorang dengan permintaan yang menurut Cu'up aneh itu.

"Nyanyikan aku sebuah lagu bang, untuk kado ulang tahunku", kata orang itu.

"Bah, kaget aku yok. Orang tak waras macam mana pula dia itu. Tapi mana bisa aku menolaknya? Kunyanyikan juga satu, dua, tiga, nah sampai empat lagu jadinya. Dasar karena aku suka nyanyi. " , kata Cu'up padaku. 
Aku senyum-senyum saja,
"Akupun kalau diminta gigiti kulit nangka sama orang secantik itu, pasti kuturuti juga 'up" , balasku pada Cu'up.


Tapi aneh bin ajaib,
"Aku suka suaramu, bang.", kata orang cantik tadi . 
Nah, komentar macam apa pula lagi ini? Secara tidak sadar, dia telah mengacaukan status ada dalam ketiadaan si Cu'up. Dia mengacaukan kenyamanan dalam kesendirian si Cu'up.

Sejak kejadian itu, Cu'up ingin bernyanyi dan berdendang lebih sering lagi, untuk khalayak yang lebih banyak lagi. Tidak lagi dia malu sama suaranya. Tidak lagi sekedar bergitar sendiri di kosan yang kadang hanya aku satu-satunya manusia yang pekak karena nyanyiannya.

Sekarang, lihatlah ia, makin periang saja jadinya macam orang mabok cimeng. Berdendang kesana kemari, bernyanyi kapanpun dan dimanapun tiba. Bahkan kudengar nyanyiannya sudah di uploadnya pulak di internet. Bah!
Semua gara-gara seorang cantik tadi kasih komen. 
Tau kau siapa orang itu? Itu loh, gadis cantik kampung sebelah, yang sering kita perhatikan jikalau dia sedang beli minyak di warung depan gang.

Nah, benar kau. Si Cempaka anak Haji Surip!





Nangor, 20 mei '14

Rabu, 14 Mei 2014

Kosmos

Ingin hilang dalam malam.
Hilang dan kembali menjadi debu bintang.
Ingin tenang dalam kelam.
Tenang di hening nyanyian bisu tentang pulang.

Biarkan aku kembali ke semesta
Bersenggama dengan ribuan kerlap cahya
Bermain bersama bimasakti dan terseret ke tengah
Lalu perlahan hilang menyusut menjadi partikel yang tak ada
Tapi aku nyata
Kuharap alam masih merasa
Aku
Akan
Ada
Di langit
Semesta



Nangor, 14 mei '14

Senin, 05 Mei 2014

Laut

Entahlah, apa artinya
yang pasti deru angin tak lagi dingin
Paling tidak, itu rasanya
Seakan mati tapi masih beringin


Tatapan mentari, menuduh!
Jelitan bulan, mengganggu!
Lari saja! Lari ke laut!
Tenggelam
Bukan karena topan
tapi karena ingatan


Setidaknya di laut bisa tenang
Beralas bumi beratap bintang
Sedang tak kan henti bertualang
Karena ini air tak berbatas terbentang


Biar saja mati
Toh, tak kan peduli
Kiranya habis masa dunia
Kan juga putus talian dosa.



Nangor, 7 Okt '12

Selasa, 29 April 2014

Untuk Anies Baswedan

Jikalau nanti akhirnya bapak mengadakan rapat umum, atau kampanye,
maka biarlah nanti hanya ada panggung sederhana,
tanpa atribut berlebihan dan pejabat pejabat,
tanpa dangdut dan artis-artis.
Kami akan datang.
Bukan untuk berjoget,
bukan bernyanyi,
apalagi untuk duit sekedar
dan sebungkus nasi.
Kami akan datang.
Untuk mendengar beliau berbicara tentang ibu pertiwi. Tentang penyakit dan obat untuk menyembuhkannya.
Kami akan datang, untuk dibakar semangatnya.
Kami akan datang, untuk dibuka mata hatinya.
Kami akan datang, untuk membantu beliau menuntaskan janjinya pada bangsa.
Sukarela.
Seperti halnya dulu rakyat berbondong ke lapangan ikada, hanya untuk mendengar putra sang fajar berbicara.

Rabu, 23 April 2014

Don Soeharto Cendaneone

Malam tadi saya nonton acara yang berjudul Memoar di Kompas TV. 
Temanya tentang Ibu Tien Soeharto.
Saya sedikit tersentak. 

Saat itu, saya melihat Jenderal Besar Soeharto sebagai sosok suami dan bapak.
Bukan sebagai Jendral dan Tiran yang memerintah dengan tangan besi selama 32 tahun.
Bukan juga sebagai orang yang telah mengkomandoi pembantaian jutaan rakyat Indonesia pasca G30S '65.
Ya, saya selama ini kontra dengan Soeharto. Saya mengecam seluruh tindakannya.
Tapi malam ini, saya merasa curang. Saya tidak pernah mau mencoba melihat Soeharto dari perspektif lain, selain dari dia sebagai diktator.

Tentu, fakta bahwa rezimnya adalah rezim yang penuh darah dan korupsi, kolusi, serta nepotisme adalah tidak bisa disangkal lagi.
Tapi itu adalah ketika Soeharto menggunakan topeng Jenderal besar nya.
Ketika di rumah, saya rasa dia berbeda. Terutama ketika dihadapan Tien, istri tercintanya. Atau dihadapan anak dan cucunya. 
Saya teringat sosok Don Vito Corleone, sosok fiktif yang sangat saya idolakan. Padahal, saya sadar, selama ini saya hanya melihat Don Vito sebagai sosok kepala keluarga. Saya menolak melihat sosok Don Vito ketika beliau memakai topeng La Cossa Nostra nya.

Lucu bagaimana kita terkonsumsi dengan kebencian sehingga kita menolak untuk melihat sesuatu yang jelas, atau sengaja mengkaburkannya.
Tentu, keadilan diatas segalanya, tapi bukankah kemanusiaan adalah hak yang paling dasar?
Menolak melihat keseluruhan sisi manusia sama saja dengan menyangkal kemanusiaannya. Lalu kita anggap dia sebagai setan, atau malah dewa.

Keadilan tetap harus diperjuangkan, tapi bukan berarti harus menolak melihat kenyataan.
 The Smiling General harus tetap dibongkar kejahatannya, seperti halnya sang Godfather yang harusnya bertanggung jawab atas semua darah yang ditumpahkan.
Tetapi, melihat mereka sebagai sosok manusia yang memperjuangkan cita-cita dan ambisi adalah hal yang menarik, tanpa harus mengenyampingkan fakta yang ada.
Mereka adalah sosok pria tua yang menghalalkan segala cara demi melindungi dirinya, dan keluarganya.
Yang ketika Anak pertama / Istrinya meninggal, mereka tetap berduka.

Bagaimana dengan kita?
Berapa banyak koleksi topeng di lemari batin kita?

Minggu, 20 April 2014

2-3 menit

Bangku kayu ini sudah lapuk.
Tidak terlalu nyaman, sih, tapi setidaknya aku bisa duduk. Lembab kayu terasa merembes ke balik celana, dingin di pantat. Bah, hujan tak kunjung berhenti pulak!

Aku berada di sebuah warung di pinggir jalan.
Warung tipikal yang ada di pinggir jalan: dari gerobak, berdinding kayu dan plat, disampingnya ada bangku kayu beratapkan terpal yang diikatkan ke atas gerobak. Biasanya dipakai untuk pelanggan warung yang duduk sembari ngopi. Atau sekedar jadi tempat duduk orang-orang yang berteduh karena hujan, seperti aku, yang karena "ga enakan" akhirnya membeli sesuatu dari warung si penyedia fasilitas.

Warungnya tutup. Entah karna hujan atau karna rumah si empunya lagi terendam banjir. Tak tahulah. Yang jelas, rencana beli rokok dan kopi sembari nunggu kucuran air dari langit ini berhenti batal sudah.
Bosan juga. Hampir 60 menit pula duduk disini. bukan apa - apa, kutakut bangkunya tak kuat lagi nahan pantatku yang seksi. Motorku yang baru saja di cuci (sial) pagi tadi, macam menggigil di bahu jalan. Lirik jam sedikit, ah, sudah hampir maghrib pula.

Tapi suasananya romantis juga. Permukaan jalan berasap dihantam hujan, pepohonan mangut-mangut digelayut angin, jalanan sepi-lurus-panjang, dan tetesan-tetesan air dari tepi terpal.
Ah, akan tambah romantis kalau lampu jalan mulai dihidupkan. Tapi suasana ini membawa rasa lain selain indah. Rasa yang membuat kau memandang ke langit kelabu, lapang, luas. Memandang tanpa alasan, tanpa pertanyaan.

Heh, dunia itu aneh. Kau tak pernah tau bagaimana hidupmu yang menyedihkan itu bisa berubah drastis dalam sekian menit ke depan. Pikiran kita selalu dibiasakan untuk mempersiapkan diri berdasarkan ramalan jangka panjang. Cita-cita, rencana, peta kehidupan. Tapi, kita cenderung melewatkan pikiran tentang apa yang terjadi dalam 2-3 menit kemudian.
Kita cenderung menganggap, kalau waktu yang sedemikian singkat tidak akan membawa perubahan yang signifikan dalam hidup.

Padahal, kita tidak pernah tau, dalam 2-3 menit tersebut, hal apa yang akan muncul dari persimpangan jalan. Seperti mobil yang tetiba datang, dan menabrak warungku, bangku reyotku, motorku, 2-3 menit setelah aku melirik waktu di jam tanganku tadi.

Ah, sekarang, tak lagi perlu ku khawatirkan hujan.

Sabtu, 19 April 2014

Jauh

Takkan sampai bangun tangga kebulan, keburu mati di tengah jalan.
Takkan habis masa di jalan, jika takda tangga ke bulan.
Jatinangor, 20 Apr '14

Sabtu, 12 April 2014

Saudara

Bukan dengan darah diikat
Tapi dengan hidup dikebat
Erat

Sama badan dipapar terik
Sama hidup dikuyup hujan

Bersama menentang raja kemunafikkan
Bersama

Jika kau berdarah, aku berdarah
Bukan dengan darah kita diikat
Tapi dengan hidup kita dikebat
Erat.

Jatinangor, Nov '12


Tulisan ini diposting setelah liat time line nya akun @yeahmahasiswa yg bikin galau.

Sadar bahwa waktu mungkin akan habis, tapi memori akan kekal.
Sahabat, kau lah yg membawa debar dalam jantung waktu ku.

Mungkin kita tak kan selamanya bersama. Kau dan teman baru mu, aku dan dunia baru ku.

Tapi, saat nanti kita baru pulang kerja, mencium anak kita yg sudah tidur, melihat istri/suami kita di ruang tv, kita mendadak flashback ke masa-masa dulu,
dimana kita nongkrong tanpa kenal waktu, ngobrol tanpa kenal tema, ngomong tanpa kenal sensor.

Kita akan cari album foto lama yg tersimpan di harddisk bertahun-tahun.
Saat ituah kita ingat, kita pernah bersama, bicara tentang mimpi gila kita.

Mendadak muncul hasrat ingin menanyakan kabar, ingin mendengar suara lama.
Saat itu juga kita buka smartphone kita, kita pencet nomor kontak yg lama tak dibuka, ah, nada sambung berbunyi...., yg hanya dijawab oleh operator....


Mungkin nomor kontak kita telah berbeda.
Mungkin kita telah berbeda...

Mulai Berberes

  Banyak orang, yg terus-terusan mengeluh tentang betapa kotor dan berantakan rumahnya. 
Tapi saat ditanya kenapa ga ambil sapu dan mulai berberes, dia bilang:  "males ah, dibersihin juga bakal kotor lagi" atau "males ah, udah terlalu kotor ga bakal bisa bersih lagi" 
atau "males ah, rumah orang juga kotor kok" atau "males ah, ntar suruh pembantu aja" .
Lah, ini rumah siapa? kok malah nyuruh orang lain

Mengeluh tanpa bertindak. 
Mengkritik tanpa memberi solusi. 
Marah tanpa tujuan. 

Dan ketika kita merubah subjek nya dari "Rumah" ke "Negara" , orang macam tadi bakal lebih banyak lagi kita temui. 
Bisa saja anda, bisa saja saya. 
Sekarang pilihannya adalah: maukah kita berubah?

Mungkin ada yang bilang, "Susah, karena masalah di negara kita beda sama negara lain. Negara kita lebih kompleks".
Tentu ga ada yg bisa disamain dengan spesifik. 
Tapi dalam hal tertentu, banyak kok. 
Dalam hal ketidakmerataan pembangunan dan ekonomi: India misalkan. 
Dalam hal korupsi: Thailand misalkan. 
Tentu setiap negara punya masalah endemis masing - masing, tapi akar rumput permasalahan selalu sama; apatis. 
Seperti yang Edmund Burke bilang :
"All that is necessary for the triumph of evil is that good men do nothing"




*Tulisan ini terinspirasi dari lirik lagu mas Pandji Pragiwaksono yang berjudul "Tangan Kotor" dari album "Merdesa"

Kamis, 10 April 2014

Bandung - Nangor

  Rinduku terperangkap jalan gelap.
Cahya temaram terbias gerimis yang sendu.
  Aku rindu pulang.
Dimana jalan berbatu berumput, bukan beraspal berlubang.
Ujungberung, 7 Apr 14

Senin, 07 April 2014

Sastra

Sastra adalah hasil dari bentuk perjuangan.
Perjuangan manusia untuk dirinya, dan manusia untuk manusia lain. Contohnya adalah, kita akan banyak menemukan karya - karya sastra yang sangat kuat dari rakyat - rakyat yang berasal dari daerah monarki.
Bukan berarti tidak ada karya sastra yang muncul dari kaum bangsawannya, tapi, ketika kaum bangsawan berkarya karena berjuang dari dirinya untuk dirinya sendiri, sastra rakyat biasanya berjuang dari dirinya untuk orang lain, yaitu rakyat.
Semakin kuat tertindas, semakin kuat berkarya.

Kata

Kata diciptakan manusia sebagai alat untuk mentransformasikan perasaan dari bentuk abstrak, ke bentuk yang bisa diketahui oleh manusia lain, karena ungkapan yang diberikan mimik sangatkah terbatas.

Kata kata yang rumit mewakili perasaan yang rumit. Kata kata yang enteng mewakili perasaan yang sederhana, bukan berarti tak dalam.

Untuk mengungkapkan perasaan tak perlu di batas batasi sesuatu, cukup kau cari kata yang menurutmu sesuai dengan perasaan yang ingin kau sampaikan.

Satu lagi, kata yang kau pilih mencerminkan wawasanmu. Tak perlu berbohong dengan diri sendiri, cukup muat kata yang kau sendiri mengerti. Koreksi diri: kurang kata, kurang wawasan. Perluas duniamu untuk memperluas kata katamu.

500

Kurang-kurung kurang-kurung
Manapula belum keluar
Sedang perut celoteh kasar
Lapar-lapar-lapar-lapar
Kurung!

Kurang-kurung kurang-kurung
Manapula simelati
Banyak rasanya kuisi
Sebiji sebiji sebiji sebiji
Kurang!

Kurang-kurung-kurang-kurung
Manapula cukup tukar nasi
Sedang air masih harus beli
Lagi dan lagi dan lagi
Kampang!

Otak ku kurang rangsang dipasung sungguh habis sisa akal kalah hati tidur duri rintangi ngisi siapa aku kutanya nyatanya nyamuk KauAku kurung. Kacung!

Heranlah kau sama kau
Hidup terkekang dalam kurang terkukung dalam kurung, macam macan dalam karung atau mutiara di cangkang kerang.

Heranlah kau sama bapak
Berjuang cuma sama kacang, bertarung cuma sama jagung, tak pusing kurang pun kurung


Kurang-kurung kurang-kurung
O Sri manapula lagi
Ah, sepertinya dialah ini
Congkeli congkeli congkeli congkeli
Kancing!


Jatinangor, 31 maret 14.

Ironi dua orde

Orde lama: ketika founding father yang bersikap anti imperialis, anti fasis dan anti kolonialis, malah cenderung memilih cara memimpin yang bersifat raja - raja .

Sedangkan orde baru: dipimpin jenderal besar yang seakan pembebas dan pembawa panji - panji demokrasi sekutu, malah berubah diktator ganas, hampir mirip jenderal aladeen dari wadiya, tanpa janggut dan komedi sarkasnya tentu saja..

Isn't it?

More we thinking about something, more it become a paradox.

Minggu, 06 April 2014

Kamp Konsentrasi Indonesia

Sukarno ga pernah bikin camp tahanan untuk lawan politiknya.
Memenjarakan iya, camp tahan tidak.
Tapi Suharto merubah 1 pulau sebagai camp tahanan untuk ribuan orang yang belum pernah diadili. Bahkan lebih buruk dari Boven Digul-nya Belanda.

Ya kan?

Kalo memang mainstream berada di arus yang baik, kenapa harus jadi hipster?

Belajar dari Hitler

Hitler dan tentara Reich ketiga tumbang, bukan karena ganasnya sekutu, tetapi karena kesalahan perhitungan, kesombongan, dan ketamakan. 
Over percaya diri dan mendengar saran yang salah. Hitler mendengar saran dari jenderal jenderal pengecut, yang hanya mengiyakan semua ide Hitler, tanpa berani membantah, pun ide tersebut terkadang ngawur, malah cenderung seperti halusinasi. 

Kemana jenderal pemberani? Ke garis depan.

Hasilnya adalah Reich ketiga tumbang di tanah dingin, Stalingrad, Rusia. Hadiah natal yang sangat dinginkan, tapi berakhir sebagai tumpukan mayat, setengah karena peluru, setengah karna beku. 

Tentara Jerman jauh lebih kuat, dengan persenjataan yang lebih canggih dan taktik yang mumpuni. Sedangkan Rusia bisa dikatakan hanya mengandalkan jumlah tentara besar - besaran, para pemuda yang diwajibkan untuk membela Motherland, yang konon katanya sebagian dari mereka bahkan tidak memegang senjata, hanya bermodalkan badan.
Tapi, keuntungan pun berbalik, setelah makna perang ini berubah. Perang ini menjadi perang ego personal antara sang Fuhrer Hitler, dan Kamerad Stalin. Bukan lagi untuk negara, terlebih untuk ideologi.
Hasilnya? Bertumpuk mayat tentara merah di medan tempur.
Pun, sang Reich ketiga dipaksa putar balik dengan hampa.

Jadi, dimana belajarnya? Belajarlah bahwa, memaksakan kehendak itu adalah hal yang buruk. Belajarlah bahwa mengelilingi diri kita dengan pemuja - pemuji tidaklah membuat diri kita lebih baik. Belajarlah bahwa kritik itu pahit seperti obat. Belajarlah membedakan mana kebutuhan, mana sekedar keinginan. Belajarlah membedakan antara kepentingan pribadi dan yang bukan. Belajarlah menahan diri.
Belajarlah bahwa salju itu dingin.
Klise?
Memang.
Tapi, belajarlah.

Sabtu, 05 April 2014

-

Pancaran lampu murah itu penuhi kamar.
Memantul cermin, menerpa wajah, silau.
Seketika aku mampu mengingat samar.
Menguap batin, nelangsa jiwa, galau.

Jumat, 04 April 2014

-

Dada masih saja sesak, mulut masih ingin bersajak. 
Sedang detak jam makin mengeras, bising sirna, pulas. 
Ini karna kau. 
Semua hanya kau!

Kita

Jikalau saja sudah tiba senja, aku melamun. 
Akankah nanti garis lurus ini bersentuh?  Atau semesta saling bersetubuh? 
Bisakah sajak sajak kita berpaut satu?