Pages

Senin, 08 Februari 2016

Seperti Salju, Matahari pun Tidaklah Abadi

“Salju lagi…” gumamku sengaja, seakan angin adalah makhluk yang dapat diajak bicara. Dengan nada gumaman seperti mengeluh tetapi pula seakan bersyukur, komentarku menandakan aku akan kembali keluar terpapar dingin Moskow, yang telah memulai musim dingin 1967 dan sepertinya akan kembali panjang.
Menyambar mantel, syal dan ushanka yang seperti beku tergantung di tiang gantungan belakang pintu. Benar saja, ketika pintu tersingit sedikit, angin dingin disertai beberapa kristal salju masuk memutar diantara sela pintu dan menuju ruangan, setelah sebelumnya menghantam kulit muka yang tidak terlindung apa-apa. Membekukan, padahal perapian ruangan belum dimatikan. Sebenarnya, tiap langkah keluar ditengah musim seperti ini adalah berat sekali, meskipun tugaslah yang mengharuskan. Maka aku kerap bingung atas keinginan orang-orang kampung halaman yang menyanjung-nyanjung salju seakan ia adalah suatu hal yang memberikan kehidupan. Tapi begitulah kita, kerap meningggikan atau bahkan merendahkan sesuatu hal yang belumlah kita ketahui benar dimana posisi hal tersebut sesungguhnya. Bah, apalah isi otakku ini? Ngalor-ngidul tak tentu, memikirkan hal yang tak perlu, yang akhirnya pasti nyasar ke kamu, tentang kamu.

Jalanan antara apartemenku menuju gedung comintern sudah berubah putih tandas, padahal malam sebelumnya masihlah hitam aspal dan coklat trotoar. Tetapi romantis juga, karena cahaya-cahaya lampu jalan yang mulai benderang mengiring senja, seperti memantul di salju yang mulai menumpuk. Ah, cahaya, bukankah cahaya bagiku itu kamu? Kamu yang terang, kamu yang hangat, kamu yang ceria bersemangat, bertekad bulat dan setia mengusir gelap pada hari-hari yang jemu serta tak tentu. Dan salju dengan kelembutannya seperti sangat padu untukmu. Apa kubilang, lamunku yang absurd, hanya mengujung kepada kamu, bahkan di saat telinga mulai kebas meski dilindung ushanka ini. Sejenak memikirkanmu membuat hangat, sungguh.
Tapi kau tahu? Akhir dari setiap ingatanku akan kamu itu selalu berujung sendu. Mungkin karena jauh, mungkin karena rindu. Atau mungkin karena aku tahu kamu tak tahu tentang ini semua, dan aku serupa boneka salju yang memuja matahari. Tapi aku khianati semua logika sehat dan nasihat-nasihat: kamu bagiku masihlah sama, sejak 3 tahun yang lalu  saat pertama kalinya bertemu, hingga sekarang saat aku berpijak di negeri orang. Kamu cahaya yang sama yang biasa menerangi hari-hari dingin dan asing, untuk nanti merubah perasaan menjadi remang lalu sendu, karena memang matahari berbahaya untuk boneka salju.

Langit telah gelap total, dan jalanan serta kota sebagai latar belakang telah semarak oleh lampu-lampu, belum lagi oleh laluan sinar mobil lalu-lalang dan kelap-kelip hiasan natal yang bergelantungan di berbagai atap. Menghadirkan rasa indah yang asing, ketika semuanya terlihat berbarengan saat aku berhenti sejenak di atas trotoar jembatan di atas sungai kecil yang mulai beku. Di jauh, pucuk Kremlin menyembul samar berpendar diselubung salju.

Kamerad Aryo?” , suara panggilan yang membuyarkan bayanganmu. Aku menoleh, mengalihkan pandang dari lansekap kota dari atas jembatan.
Kamerad Surya? Ah, betapa lama sudah! Bagaimana kabarmu? Kapan kau tiba di Moskwa?”
“Sungguh baik kabarku bung!”, katanya sembari bersalaman dan memeluk, “Aku baru saja tiba sore ini dari Praha, dan langsung menuju ke pertemuan. Tak menyangka bertemu wajah garang-mu tengah melamun di bawah salju, hahahahaha. Bung sendiri apa kabar? Menuju ke pertemuan juga, bukan?”
“Hahaha, aku pun baik-baik saja, kamerad. Aku juga menuju gedung comintern. Kalau begitu mari kita kesana bersama-sama”
Lalu kami mulai kembali berjalan, melewati jembatan ketika hujan salju sudah mulai lebih lebat. Surya adalah teman lama sedari aku masih calon kader partai di tanah air dahulu. Dan sekarang ia telah menduduki jabatan strategis di comite central partai di Jakarta, sedang aku lebih memilih bergerak di tanah asing.

“Apa kabar dari tanah air yang sekiranya perlu aku ketahui, kamerad?”, tanyaku dalam perjalanan. Gedung comintern telah terlihat di depan sana. Gedung yang megah, dan indah. Gedung yang baru saja selesai dibangun tahun lalu atas persetujuan bersama komite eksekutif  kongres internasional ke-13 ini tetap mengeluarkan aura dingin yang sama seperti salju yang menutupinya.
“Bung besar kembali masuk rumah sakit lagi, kamerad. Dan ini membuat cemas semua pihak. Seminggu setelah bung besar kembali masuk rumah sakit, setidaknya ada 4 golongan yang secara tidak langsung menyebut diri mereka sebagai pihak yang telah ditunjuk langsung oleh beliau sebagai penerus. Dan istana hanya bisa diam tanpa konfirmasi apapun. Ini berbahaya, kamerad, jika bung besar lewat, maka damai di tanah air hanya seumur jagung, dan jika…”
“Bung Surya, “ , kataku memotong pembicaraannya, “ ayolah, kabar apa selain berita politik yang sudi bung bagi kepadaku di tengah dingin ini, lagipula sebentar lagi, di gedung itu, kita akan ngomong politik panjang lebar semalam suntuk, bahkan dua malam pun!” , kataku sembari tertawa kecil.
“Hahahaha, kau benar, kamerad, kau benar. Baiklah, apa kira-kira yang akan aku bagi?” , katanya bertanya sendiri, lalu mengelus janggut seperti filsuf yang berpikir, “Ah, kau ingat dia, gadis yang dulu mendebatmu saat sidang terbuka comite central 1964?”
“Ah, ya..” , gumamku. “Ia kader muda yang bersemangat…, dan cantik.” Dan begitulah, semesta kembali membawa semua gelut pikiran, kepadamu. Kepada benderang cantikmu. “Ada apa dengan ia, bung?”
“Ia telah menikah dengan Kamerad Sjam, dan minggu kemarin kantor mengadakan pesta yang sangat meriah. Ah seharusnya kau ada di situ, bung, makanannya sungguh enak-enak semua!”

Dingin masih menusuk dan membekukan telinga di bawah ushanka. Sedang langkah kaki telah melangkah masuk, melewati gerbang besar gedung comintern. Cahaya yang ada perlahan meredup ditelan kelabu musim dingin yang jahat, di Moskow, 1967. 
Aneh, semua dingin lenyap ditelan amarah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar