“Salju lagi…” gumamku sengaja, seakan angin adalah makhluk yang dapat diajak
bicara. Dengan nada gumaman seperti mengeluh tetapi pula seakan bersyukur,
komentarku menandakan aku akan kembali keluar terpapar dingin Moskow, yang
telah memulai musim dingin 1967 dan sepertinya akan kembali panjang.
Menyambar mantel, syal dan ushanka yang seperti beku tergantung di tiang
gantungan belakang pintu. Benar saja, ketika pintu tersingit sedikit, angin
dingin disertai beberapa kristal salju masuk memutar diantara sela pintu dan
menuju ruangan, setelah sebelumnya menghantam kulit muka yang tidak terlindung
apa-apa. Membekukan, padahal perapian ruangan belum dimatikan. Sebenarnya, tiap
langkah keluar ditengah musim seperti ini adalah berat sekali, meskipun
tugaslah yang mengharuskan. Maka aku kerap bingung atas keinginan orang-orang
kampung halaman yang menyanjung-nyanjung salju seakan ia adalah suatu hal yang
memberikan kehidupan. Tapi begitulah kita, kerap meningggikan atau bahkan
merendahkan sesuatu hal yang belumlah kita ketahui benar dimana posisi hal
tersebut sesungguhnya. Bah, apalah isi otakku ini? Ngalor-ngidul tak tentu, memikirkan hal yang tak perlu, yang
akhirnya pasti nyasar ke kamu, tentang kamu.
Jalanan antara apartemenku menuju gedung comintern sudah berubah putih tandas, padahal
malam sebelumnya masihlah hitam aspal dan coklat trotoar. Tetapi romantis juga,
karena cahaya-cahaya lampu jalan yang mulai benderang mengiring senja, seperti
memantul di salju yang mulai menumpuk. Ah, cahaya, bukankah cahaya bagiku itu
kamu? Kamu yang terang, kamu yang hangat, kamu yang ceria bersemangat, bertekad
bulat dan setia mengusir gelap pada hari-hari yang jemu serta tak tentu. Dan
salju dengan kelembutannya seperti sangat padu untukmu. Apa kubilang, lamunku
yang absurd, hanya mengujung kepada kamu, bahkan di saat telinga mulai kebas
meski dilindung ushanka ini. Sejenak memikirkanmu membuat
hangat, sungguh.
Tapi kau tahu? Akhir dari setiap ingatanku akan
kamu itu selalu berujung sendu. Mungkin karena jauh, mungkin karena rindu. Atau
mungkin karena aku tahu kamu tak tahu tentang ini semua, dan aku serupa boneka
salju yang memuja matahari. Tapi aku khianati semua logika sehat dan
nasihat-nasihat: kamu bagiku masihlah sama, sejak 3 tahun yang lalu saat
pertama kalinya bertemu, hingga sekarang saat aku berpijak di negeri orang.
Kamu cahaya yang sama yang biasa menerangi hari-hari dingin dan asing, untuk
nanti merubah perasaan menjadi remang lalu sendu, karena memang matahari
berbahaya untuk boneka salju.
Langit telah gelap total, dan jalanan serta kota
sebagai latar belakang telah semarak oleh lampu-lampu, belum lagi oleh laluan
sinar mobil lalu-lalang dan kelap-kelip hiasan natal yang bergelantungan di
berbagai atap. Menghadirkan rasa indah yang asing, ketika semuanya terlihat
berbarengan saat aku berhenti sejenak di atas trotoar jembatan di atas sungai
kecil yang mulai beku. Di jauh, pucuk Kremlin menyembul samar berpendar
diselubung salju.
“Kamerad Aryo?” , suara panggilan yang membuyarkan bayanganmu. Aku menoleh,
mengalihkan pandang dari lansekap kota dari atas jembatan.
“Kamerad
Surya? Ah, betapa lama sudah! Bagaimana kabarmu? Kapan kau tiba di Moskwa?”
“Sungguh baik kabarku
bung!”, katanya sembari bersalaman dan memeluk, “Aku
baru saja tiba sore ini dari Praha, dan langsung menuju ke pertemuan. Tak
menyangka bertemu wajah garang-mu tengah melamun di bawah salju, hahahahaha.
Bung sendiri apa kabar? Menuju ke pertemuan juga, bukan?”
“Hahaha, aku pun
baik-baik saja, kamerad. Aku juga menuju gedung comintern. Kalau begitu
mari kita kesana bersama-sama”
Lalu kami mulai kembali berjalan, melewati jembatan ketika hujan
salju sudah mulai lebih lebat. Surya adalah teman lama sedari aku masih calon
kader partai di tanah air dahulu. Dan sekarang ia telah menduduki jabatan
strategis di comite central partai di Jakarta, sedang aku lebih
memilih bergerak di tanah asing.
“Apa kabar dari tanah
air yang sekiranya perlu aku ketahui, kamerad?”, tanyaku dalam perjalanan. Gedung comintern telah terlihat di depan sana. Gedung yang megah, dan
indah. Gedung yang baru saja selesai dibangun tahun lalu atas persetujuan
bersama komite eksekutif kongres internasional ke-13 ini tetap
mengeluarkan aura dingin yang sama seperti salju yang menutupinya.
“Bung besar kembali
masuk rumah sakit lagi, kamerad. Dan ini membuat cemas semua pihak.
Seminggu setelah bung besar kembali masuk rumah sakit, setidaknya ada 4
golongan yang secara tidak langsung menyebut diri mereka sebagai pihak yang
telah ditunjuk langsung oleh beliau sebagai penerus. Dan istana hanya bisa diam
tanpa konfirmasi apapun. Ini berbahaya, kamerad, jika bung besar lewat,
maka damai di tanah air hanya seumur jagung, dan jika…”
“Bung Surya, “ , kataku memotong pembicaraannya, “
ayolah, kabar apa selain berita politik yang sudi bung bagi kepadaku di tengah
dingin ini, lagipula sebentar lagi, di gedung itu, kita akan ngomong politik
panjang lebar semalam suntuk, bahkan dua malam pun!” , kataku sembari tertawa kecil.
“Hahahaha, kau benar,
kamerad, kau benar. Baiklah, apa kira-kira yang akan aku bagi?” , katanya bertanya sendiri, lalu mengelus janggut seperti filsuf
yang berpikir, “Ah, kau ingat dia, gadis yang dulu
mendebatmu saat sidang terbuka comite central 1964?”
“Ah, ya..” , gumamku. “Ia kader muda yang bersemangat…, dan
cantik.” Dan begitulah,
semesta kembali membawa semua gelut pikiran, kepadamu. Kepada benderang
cantikmu. “Ada apa dengan ia, bung?”
“Ia telah menikah
dengan Kamerad Sjam, dan minggu kemarin kantor mengadakan pesta yang
sangat meriah. Ah seharusnya kau ada di situ, bung, makanannya sungguh
enak-enak semua!”
Dingin masih menusuk dan membekukan telinga di
bawah ushanka. Sedang
langkah kaki telah melangkah masuk, melewati gerbang besar gedung comintern. Cahaya yang ada
perlahan meredup ditelan kelabu musim dingin yang jahat, di Moskow, 1967.
Aneh, semua dingin lenyap ditelan amarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar