Jatinangor, hari kedua februari
Angka menit baru saja berubah, menjadi 44 di pukul 8 pagi ini. Kopi sudah setengah
diseruput, dan keadaan medsos sudah semua di cek. Pagi ini masih mendung, sedang playlist memutarkan sampai jadi debu-nya
Banda Neira.
Sendu, pagi ini, di tengah balutan mendung yang
sepertinya telah jatuh dari subuh. Dan orang-orang pun sepertinya tau: jalanan
Sayang tak se-raya biasanya. Memandang ke luar jendela dari meja kerja kadang
merupakan hal yang memabukkan. Entah apa yang ditangkap dari pemandangan yang itu-itu
saja, tetapi bisa membuat terlena hingga sekian menit, sedang yang dipandang hanyalah
atap-atap seng tua dibawah langit yang tak berubah warna.
Aku bersyukur diizinkan untuk merasakan indah
dan keindahan, bahkan dalam hal-hal kecil yang kadang luput dari apresiasi.
Lihatlah, putaran asap hawa kopi yang berputar menggelung dari atas cangkir,
berarak ke atas lalu hilang saja dalam jarak yang pendek, semuanya dibalut
mendung pagi dan sendunya lagu. Hah, asap kopi, tercipta sebentar saja untuk
hilang membaur bumi.
Maafkan aku yang sendu di pagi yang kelabu. Aku
bingung atas masa hidup yang dianugrahkan di antara waktu-waktu yang berjalan,
mengancam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar