Pages

Selasa, 08 Agustus 2017

I do


The Great Big Bang and dinosaurs
Fiery rain and meteors
It's all in unfortunately
You're gonna live forever in me
i guarantee, just wait and see
Lonceng tua katedral pagi ini terdengar begitu khidmat, serasi dengan suara kepak kawanan merpati yang kaget terbang karena dentang. Dengan mata tertutup Arnold menikmati keriuhan itu dari dalam gereja. Ada suatu kedamaian yang ia rasakan sehingga membuat ia bernafas dengan perlahan, seakan ingin menghirup semua kesucian yang terasa di udara pagi. Ia membatin, kapan kira-kira ia akan membuka matanya.Setelah nafas dihela? Setelah dentang lonceng berakhir?


Part of me was made by you
And planets keep their distance too
The moon got a grip on the sea
Youre gonna live forever in me
I guarantee your destiny


Derak pintu kayu yang berat terbuka  menggema di ruangan, mensenyapkan suara kerumunan orang yang saling berbisik, dan juga menggerakkan mata Arnold untuk terbuka. Cahaya pagi yang terpantul dari marmer putih halaman luar melesak masuk dari pintu yang terbuka, sudah pasti kontras dengan suasana bagian dalam yang lembut cahayanya dari kristal-kristal  chandelier kuno dengan -sinar lilin-lilinnya yang kuning temaram . Di sana, di dalam pancaran cahaya pada pintu yang terbuka, Arnold dan juga hadirin yang lain memusatkan pandangan pada seberkas siluet yang perlahan mendekat hingga warna-warna tidak lagi kontras dan menjadi padu. Hadirin serentak berdiri dengan aba-aba organ gereja yang mulai dimainkan. Arnold yang telah berdiri dari awal, menunggu, menanti di paling depan, segera mafhum akan aroma yang merebak melesak masuk ke dalam ruangan ketika pintu tadi dibuka. Aroma manis vanilla yang telah akrab dalam hidupnya. Aroma manis dari sosok manis yang sekarang terlihat lebih manis dengan gaun putihnya yang anggun. Sebuah kemanisan yang suci, semacam awan, batinnya. 

Terlihat dari senyum yang melebar, Arnold bahagia melihat dia dan cantiknya dengan gaun putih panjang dan cadar sutra yang takkan bisa menyembunyikan garis hidung dan bibir yang telah ia hapal dengan sangat; anggun langkahnya ketika berjalan perlahan dalam gandengan sang ayah yang bermuka keras tapi selalu jenaka bila bercanda; lebih bahagia lagi karena ia mendengar nama kecilnya, Arnie, yang hanya seorang saja di dunia ini memanggilnya begitu,  keluar dari sela senyum lucu mempelai wanita ketika ia menghampiri Arnold, lalu melewatinya menuju altar dengan meninggalkan aroma vanilla yang harum. 

Life is full of sweet mistake
And love an honest one to make
Time is not a fruit on a tree
But you gonna live forever in me
I guarantee, it just meant to be

Organ selesai dimainkan, para hadirin telah kembali duduk, juga Arnold yang duduk di barisan terdepan bersama para pendamping mempelai pria lainnya. Kamera kesayangan yang ia pegang terus merekam sejak awal, merekam semua kejadian bahagia pagi ini. Kamera itu hadiah ulang tahun pertama dari sang mempelai wanita saat mereka masih bersama, lima musim gugur yang lalu. Telah terlalu banyak kebahagiaan yang terekam di dalamnya, mungkin ini adalah tugas terakhir kamera itu, merekam mempelai wanita dipasangkan cincin di jari manisnya .

"If anyone here has any reason why these two should not be joined together, let him speak now or forever remain silent", suara pastor yang begitu bijak memantul-mantul di dinding katedral yang tua, disambut dengan hening diam para khalayak  yang berbahagia. Lalu organ kembali dimainkan, bercampur dengan riuh desah bahagia para hadirin. Bagi Arnold, dentang lonceng yang khidmat dan kepak sayap burung adalah satu-satunya riuh yang terdengar. Ia merasa seperti memandang lautan awan putih di bawah sayap pesawat yang perlahan melaju tenang di bawah biru. Kamera kesayangannya tetap merekam semua kejadian, yang tampak maupun tidak. Lonceng masih terus berdentang mengiring kedua mempelai bersama para hadirin menuju halaman luar. Samar, dentang itu seperti memanggilnya dengan lembut, dan manis...
"Arnie..."

And when the pastor ask the pews
The reason he can’t marry you
I keep my word and my seat
You gonna live forever in me
I guarantee, just wait and see




*lyric by John Mayer - You're gonna love forever in me

Sabtu, 13 Mei 2017

Badai

Hujan makin deras, suara rintik yang meluncur keras dihembus angin mengetuk-ngetuk atap dan jendela kamar Nia. Badai. Cuaca seperti ini seharusnya mengundang ngantuk untuk datang, nyaman dibawah dekapan bantal dan selimut. Tapi tidak malam ini. Nia merasa gelisah dan gerah menghampiri. Sudah dua kali ia bangun dari pembaringan untuk minum segelas air dan melangkah ke kamar kecil, dan sekian banyak gerakan memutar posisi badan di atas tempat tidur. Sekarang ia kembali menerawang dari atas pembaringannya. Menerawang ke dalam pikirannya sendiri, apa hal yang membuatnya susah tidur malam ini. 
Jam menunjukkan pukul empat dini hari ketika Nia tersentak bangun dari tidur yang tidak disadarinya. Dibangunkan oleh rasa kaget sungguh menyebalkan, pikirnya. Ia terbangun karena dering panggilan masuk dari handphone yang menganggu. 

"Dor!"

"Heh kamu, ngapain nelpon jam segini sih", suara Nia sudah bersiap untuk meledak.

"Ahaha, hai cantik. Aku di bawah nih, di pintu depan"

Nia membanting handphone nya dan berlari membuka pintu kamar, dan setengah melompat menuruni tangga menuju pintu depan.
"Rei!", Pekik Nia ketika pintu depan terbuka, sambil memukul bahu kanan sosok yang berdiri di depannya, berkali-kali. Sosok itu tertawa kencang lalu memeluknya sambil meringis kesakitan. Badai telah berhenti, tapi dinginnya masih terbawa oleh subuh yang masih gelap gulita. Sisa-sisa hujan itu mengeratkan dekapan kedua sosok yang remang di bawah lampu teras rumah itu. 

"Kamu kapan kesini? Kenapa ga ngabarin sih? Bego!" 

"Ah maaf-maaf, aku juga tiba-tiba kok. Baru sampe dan langsung kesini, pengen liat kamu"

"Bego. Setahun kita gak ketemu terus kamu nongol tiba-tiba. Mana boleh gitu bego!"

Lelaki itu terkekeh, "Iya maaf. I just want to see you so bad, that's all. Maaf udah ngebangunin kamu dan bikin kaget".

"Bodoh. Ayo masuk. Dingin tau"

"Eh, aku ga bisa, aku harus langsung pergi. Maafin ya cantik."

"Hah? Tapi?"

Nia tersentak. Suara dering handphone membangunkannya. Nafasnya memburu, matanya memendar pada gelapnya kamar. Bagian mana dari kejadian ini yang nyata? Ia meraih handphone-nya, dan melihat kontak Mama berada dilayar.

"Halo, Nia. Nia yang tenang ya nak. Mama di rumah sakit sekarang sama keluarganya Rei. Rei kecelakaan tadi malam dan masih belum sadar. Mama udah suruh Ujo beli tiket untuk nia pulang. Tapi jangan nyetir sendiri ke bandara ya nak. Nanti mama.....".

Handphone melorot jatuh dari genggaman Nia yang terkulai. Jam menunjukkan pukul 4 pagi. Suara badai di luar kamar masih riuh berkecamuk.


bdg, 13 Mei '17

Selasa, 02 Mei 2017

Aneh

Kucingku yang lucu datang disaat aku sedang membaca.
"Hush sana", hardikku, "jangan ganggu aku membaca".

Maka kucingku yang lucu meloncat pergi, duduk di pangkuan orang lain, dan lelap karena belaiannya.

Aku menyaksikannya.
Aku cemburu.
Aneh.

Kamis, 27 April 2017

Di Starbuck



“Kalau bukan karena ibuku, mungkin aku lebih memilih mati”
“Akhir-akhir ini, kalimat semacam itu dengan segala variasinya terus bergaung di telinga bagian dalam, macam kutu yang telah bersarang jauh di gendang telinga. Aku tak tahu kenapa, padahal kupikir hidupku baik-baik saja. Apakah menjadi tiada sebegitu menariknya sehingga terus muncul seperti ide brilian para pemikir-pemikir masyhur, yang terus bergema jika tidak terjewantahkan menjadi kerja praktek yang nyata. Masalahnya, jika suara ini ku ejawantahkan, aku mati. Selesai. Tamat. Nah di sini letak anehnya, aku tidak mau mati! Aneh kan? Ide itu membawa-bawa nama ibuku sebagai kalimat sebab; “kalau bukan karena ibuku,..”. Aku sangat menyayangi ibuku, dan aku haqul yakin, jika aku mati sekarang, ia tentu akan sangat sedih. Wong aku sakit saja dia cemas bukan main. Dan juga, orang tua yang harus mengubur anaknya sendiri adalah suatu hal yang ganjil. Membayangkannya harus hidup sendiri di masa senja nya membuatku sesak. Tapi kukira itu hanya alasan yang kupaksakan untuk masuk ke dalam kalimat bangsat itu. Karena kalau tidak, kalimatnya hanya berupa; “mungkin aku lebih memilih mati”, tanpa ada pilihan lain di dalamnya yang berarti: ya aku memang memilih mati. Tapi kan aku tak mau mati! Bangsat bukan? 

Hidupku berjalan baik, meskipun tidak meriah. Aku lahir di tengah keluarga yang menurutku ahaagia, berkecukupan, lengkap, sedikit berbeda dengan keluarga orang tapi kupikir malah itu menjadi poin plus bagi ku. Aku tumbuh bahagia, meski zonder prestasi. Hidupku lempeng saja meski banyak peristiwa-peristiwa yang patut dikenang walaupun tanpa bumbu-bumbu yang dapat dijadikan cerita sebuah buku. Aku lulusan universitas terpandang, meskipun belum bekerja. Keaadaan fisikku cukup lengkap, tak ada yang perlu dikeluhkan. Poinku adalah, hidupku lebih manis dari sebgian besar orang di dunia. Tapi kenapa kalimat keparat itu bergaung? Apa yang kuharapkan dari mati? 

Memang, beberapa waktu terakhir aku merasa lelah, meski tidak melakukan apa-apa, lah wong aku pengangguran kok. Sumber kelelahanku samar-samar, kadang kupikir karena aku terlalu overthinking terhadap sesuatu. Kadang kupikir mungkin karena aku selalu berusaha menjadi oraang lain demi mendapat perhatiaan. Dan kurasa mungkin juga karena aku selalu membanding-bandingkan hidupku dengan hidup orang lain. Karena zaman sekarang, semua orang serba pamer hidup, dan mau tidak mau kita terlibat dalam arus pameran itu. Mungkin kupikir, itulah kenapa aku kerap berpikir mati. Karena jika mati, kita tidak perlu memikirkan semua itu lagi. Sebuah solusi yaang gampang, sebetulnya. Yang bikin sulit adalah: aku tidak mau mati! Astaga, jadi orang kok susah amat. Semua serba dilema, serba paradoks. 
Kupikir akulah yang membuat hidupku susah, bukan hidup itu sendiri. Selalu ingin punya arti, selalu ingin punya posisi, selalu melakukan sesuatu dengan label ikhlas padahal mah cuma memuaskan ego pribadi. Mungkin dalam mati aku berharap diakui, tapi aku takut jika matiku ternyata tidak diakui, aku jadi tidak bisa konfirmasi! Bukankah nyeleneh?! Dasar manusia milenial. Terus-menerus mengeluh tentang hidup yang tak sesuai cita-cita. Merasa berpikir luas padahal berpandangan sempit. Ah, kukira itulah yang membuatku lelah. Serba lelah padahal tidak bekerja, memang tidak berguna. Kadang kupikir lebih bagus kiamat saja, biar tidak susah-susah memikirkan masa depan, ya ngga? Bagaimana menurutmu?”


“Eh? Sorryyy aku lagi komenin IG, tadi kamu cerita apa?”





bdg, 28 Apr' 2017

Minggu, 05 Maret 2017

Di Bosscha

Hari beranjak,
Siang makin menanjak
Di Bosscha terik tiada nampak
Hanya halimun menyejuki lamun
Beton tua, pepohonan renta merimbun
Siapa dan apa di suatu masa
Apakah sejarah, atau hanya seberkas lalu
tiada lagi arti wujudnya
Hilang seperti siang
Setelah senja dikerek ke awang
Dan hari begitu cepat berganti
Arti-arti tak sempat lagi di cari

4 Mar '17 , Bdg