Matanya berkaca-kaca, takkan lama lagi
sudah akan tumpah semua air mata. Dengan pandangan yang berlinang itu tapi, ia
masih tetap menatap cermin. Lekat dan dalam, sudah sejak sepuluh menit lalu
ketika matanya belum berair banjir.
Biasanya, ia menatap cermin dengan nada
riang, dimana simpul senyum rajin dijalin kulum. Tapi tidak malam ini, saat
rintik di luar kamar juga terjadi di dalam mata dan otaknya. Cermin adalah
sahabatnya. Hanya disana ia bisa bercanda-dicanda, mengobrol rupa-rupa,
mendengar semua cerita, dan diatas semuanya adalah: ia diperhatikan. Cermin lah
sosok yang rajin memperhatikannya di dunia ini, selain itu nihil. Maka cermin
adalah semua-mua baginya. Tetapi hujan di luar punya sihir yang kuat untuk
menarik semua akal sehat. Malam itu ia kelu oleh sendu yang menyeruak masuk,
buncah oleh rasa sepi yang sedemikian jahat hingga cermin sahabatnya tak mampu
menghibur. Ia kira sifat dasar manusianya telah jauh ia kubur dalam-dalam, tapi
hujan malam itu menggalinya sedemikian rupa. Ia kesepian, merasa ditinggalkan,
dimana tak diharap lahir di atas bumi. (Lagi).
Malam ini ia membenci sosok di cermin.
Sosok yang lemah, yang kalah, tak berharga. Hanya seorang tumbal dari
amarah-amarah yang berputar macam taifun di dunia sekitarnya. Dalam genang yang
membuat pandang berbayang itu, ia marah, dan meninju sosok di cermin itu sekuat
tenaga dengan harapan sosok itu hilang selamanya. Toh dunia juga takkan peduli
dengan hilangnya. Tinju kanannya telak ke arah muka di kaca, tapi-tetapi,
tinjunya mengenai hampa. Separuh lengannya hilang menembus kaca, membuat ia
terhuyung ke depan akibat hempasan tenaganya. Dengan kening mengkerut,
linangnya menghilang perlahan. Ia heran berbaur takut: kemana gerangan tanganku
pergi?. Lalu ia mencoba menggapai permukaan cermin dengan telapak kirinya, yang
lalu hilang juga menembus cermin. Kedua tangan itu tak ia tarik, meski ia
takut. Kali ini ia sodorkan muka kepada cermin untuk juga hilang, maka
tembuslah muka hingga batang lehernya, masuk ke sebuah dunia di balik cermin.
Setelah kembali jumpa dengan kedua tangannya, lalu ia susulkan masuk kesemua
anggota tubuh yang lain.
Dunia di balik cermin itu mirip dengan
dunia tempat ia hidup, tapi sepertinya di dunia cermin tersebut absen oleh
taifun. Dunia cermin adalah padang rumput yang maha luas dengan langit cerah
berawan dan matahari yang ceria tanpa terik sama sekali, sehingga angin sepoi
leluasa menari-nari menghibur sosoknya yang baru hadir di dunia cermin ini. Ia
terperangah dan terpesona, betapa indahnya sebuah kesepian, pikirnya. Sebuah
sepi yang sejati dimana hanya ada ia seorang disana. Lalu ia berlari. Berlari
jauh sekali. Ia biarkan sepoi yang menentukan arah, dan rumput yang memberi
tenaga kakinya. Hingga ia berhenti pada puncak sebuah bukit berhulu sungai
dimana ia bisa melihat lebih luas lagi kepada sebuah padang tanpa ujung macam
pedang tanpa hujung. Mulai sekarang aku akan hidup di sini, pikirnya, sembari
duduk di tepian sungai. Dcelupkannya kaki sebetis ke dalam sungai yang dingin,
ikan-ikan kecil segera merubungi. Di kala itu ia berbaring di tepi, menarik
nafas yang panjang dan menghela tenang sekali, senada dengan matanya yang mulai
menutup. Ya, ia akan hidup di sini, dan sepi tak lagi memunculkan air di
matanya.
*****
Ibu masuk ke kamarku hari ini. Dan
seperti biasa ketika pintu telah terbuka, ibu akan menjerit. Tapi jeritan kali
ini lain, rasanya lain sekali. Sebabnya gerangan? Apakah karena aku tak
langsung turun ketika ibu memanggilku? Atau apakah karena ibu melihat cerminku
yang pecah-buyar di lantai? Atau karena ibu melihatku menggenangi diri dengan
darah nadi diantara serpihan kaca? Biasanya, aku takut ketika teriakan ibu
menggema. Tapi tidak kali ini. Kali ini aku hanya bingung, tetapi tidak takut.
Karena kali ini, aku telah punya dunia yang lain. Dunia yang sama, tetapi jelas
berbeda. Untukku, setidaknya.
Biru, 15 May ‘16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar