Pages

Minggu, 06 Desember 2015

II

Hari ini terik cerah, sudah sebulan. Langit biru sedikit saja dibercaki awan putih yang tak meneduhkan. Muji memandang langit dengan tatapan kosong. Di beranda, ia menunggu Emak pulang kerumah. Ini kegiatan rutin bagi Muji sehari-hari, yang telah ia lakukan 20 tahun sepanjang hidupnya, segera setelah emak merasa yakinia telah cukup besar untuk meninggalkannya ke pasar. Tentu tak melulu Muji menunggu dengan melamun. Dulu, seringkali ia menunggu Emak pulang dengan bermain bersama teman sebayanya saban sore, suatu kegiatan yang perlahan-lahan menurun intensitasnya, terlebih lima tahun belakangan. Mungkin karena mereka bosan bermain. Atau mungkin karena pemuda seumur Muji sekarang sudah tak seharusnya lagi bermain dari siang ke sore.
Muji seorang anak yang normal. Ia sehat, kuat, dan tampan pula rupanya. Hanya saja, Emak, yang membesarkannya seorang diri, terlalu memanjakan Muji sedari bayi. Memang itu adalah suatu bentuk kasih sayang ibu terhadap anak, tetapi sesuai ungkapan: yang berlebihan itu tiadalah baik, maka berlakulah untuk Muji. Muji tumbuh menjadi pemuda yang tak bisa apa-apa, selain bermain, bermanja dan menunggu emak pulang. Ketika teman-temannya yang lain sudah mencari nafkah di laut lepas, Muji tetap di rumah. Emak tak mau ombak yang dulu merenggut nyawa suaminya, nanti kan lagi meminta tumbal buah hatinya.

Muji menangkap sosok Emak di ujung jalan kampung sana. Segera ia terseok-seok berlari karena sendal yang belum terpasang sempurna. Ia menghampiri Emak, mencium tangannya, dan menyambutnya, "selamat datang, emak" , yang dibalas, "ayo kita pulang, mandi lalu makan", kata Emak dalam senyum. Mereka berdua berjalan pulang ke rumah, Muji dengan setia menggelayuti lengan Emak. Warga kampung pun sudah mafhum dengan pemandangan itu. Tidak normal memang, namun mau bagaimana lagi? Para tetangga dan sanak saudara tak enak hati menegur Emak, jika teringat wajah Emak yang meraung-raung ketika laki nya hilang di laut dulu, sedang Muji hanya anak satu-satunya yang hadir sebagai pelipur lara. 
Matahari telah tergelincir di ujung cakrawala, disambut gelap meliputi langit cerah. Muji telah selesai dimandikan dan kini Emak sedang menyisiri rambutnya yang dibiarkan tumbuh sebahu. Setelah puas mendandani anak laki-lakinya, Emak menyiapkan makan, sedang Muji bermain dengan kucing di tengah ruangan. Mereka berdua lalu makan bersama sembari Emak bercerita apa saja yang dilihatnya di pasar kampung sebelah hari ini saat berjualan, serta berjanji seperti biasanya, yang belum juga Emak tepati, untuk sekali waktu mengajak Muji plesir kesana. Emak sebenarnya ingin saja menepati janjinya itu, tetapi ia tidak sampai hati mendengar cemoohan orang kampung sebelah dan melihat Muji di ejek oleh pemuda kampung sebelah. Maka dari itu, sampai saat ini Muji hanya bisa berplesir dengan imajinasinya sendiri.

Purnama belum lagi di pucuk kepala saat mereka berdua bersiap tidur, tetapi batal karena Emak mendengar suara gaduh tetangga di depan rumah. Emak keluar, tentu setelah menyuruh Muji untuk tetap di dalam. Setelah sekian menit, Emak kembali kedalam dengan wajah yang cemas. Ia menyuruh Muji untuk segera naik ke kasur dan memejamkan mata, sedang ia sendiri bergegas mematikan lampu minyak di tengah ruangan. Setelah rumah gelap, ia menyusul ke kasur dan memeluk Muji dari belakang, "tenang, tenang. tidak apa-apa, tidak apa-apa", kata Emak menenangkan. Entah untuk apa dan siapa, Muji tidak mengerti. Sepuluh menit, akhirnya Muji mulai merasakan kantuk, dan sedikit terpejam saat akhirnya tubuh mereka berdua tersontak kaget oleh gedoran kasar disertai teriakan tegas dari pintu rumah. Emak segera meloncat turun dari kasur tanpa suara, dan menarik tangan Muji sembari berbisik, "Kemari nak, tidak apa-apa, tidak apa-apa, kau sembunyilah di dalam lemari, jangan keluar sebelum emak memanggilmu ya nak, tidak apa-apa". Muji yang kebingungan menuruti perkataan Emaknya. Pasti, Muji selalu menuruti kata emak yang ia sayangi lebih dari apapun. Muji masuk kedalam lemari kecil itu yang penuh dengan baju dan kain bergantungan, diantaranya adalah ambin favoritnya. Setelah Emak menutup pintu lemari tersebut, Emak bergegas keluar rumah. Tinggallah Muji dalam kegelapan yang menyesakkan dalam 40 menit yang membingungkan.

Emak berjalan diiringi kedua tentara yang tak jelas ekspresinya tersebut, padahal malam ini terang oleh purnama. Emak digiring ke tengah kampung, dimana warga lain telah ramai berkumpul, di depan deretan panser serta barisan tentara. Seorang berwajah sangar keluar dari dalam panser paling depan, dari atas panser itu ia membacakan maklumat: "Kampung ini terdeteksi sebagai sarang dan pemasok untuk gerombolan PN, bagi kalian yang mempunyai informasi dan atau merasa menjadi bagian dari gerombolan, harap maju ke depan, demi kebaikan bersama!" , teriak si sangar dengan suara serak yang kaku. Semua warga bingung dalam diam. Sekonyong-konyong setelah maklumat dibacakan, empat orang warga berlari menembus kumpulan warga, menuju rumah-rumah. Warga kaget, lebih kaget lagi ketika mendengar suara rentetan senapan yang membahana. Tentara bergerak mengejar salah seorang pelarian tadi yang belum mati dan masih berlari. Kumpulan warga yang masih diam dalam keterkejutan, mendadak riuh histeris. Mereka pun mulai berlarian kesana-kemari, tentara bergerak menangkap dan menembaki, sedang emak berlari dengan satu pikiran: Muji!
Emak berlari ke arah rumahnya, bergegas memasuki hingga ia tersungkur tersandung kusen pintu. Ia tau, beberapa tentara berlari mengikutinya. Ia segera memalang pintu dengan balok besar yang memang difungsikan sebagai kunci pintu. Setelah itu ia berlari ke kamar tempat Muji bersembunyi. Di depan, suara gedoran kasar kembali terdengar serentak dengan teriakan keras, "buka!". Tapi tak lama, gedoran berubah menjadi suara hantaman. Pintu telah berhasil di dobrak dan empat orang tentara merangsek masuk. Mereka langsung menendang pintu kamar satu-satunya yang ternyata, Emak berdiri menahan di belakang pintu tersebut. Segera saja emak tersungkur, sang tentara paling depan segera menghardik, "Apa yang kau sembunyikan, bu?!"
"Tidak ada, pak, tidak ada, demi Tuhan tidak ada yang saya sembunyikan"
"Lantas untuk apa kau berlari menghindar, dan memalang pintu? Kami bukanlah gerombolan PN! Geledah rumah ini!", kata sang tentara kedua dengan sangarnya. 
Mereka lalu berpencar, satu orang ke dapur, satu lagi ke halaman belakang dan sumur, dan dua orang sisanya menggeledah kamar. Mereka membalikkan kasur, menyenteri tanah dan memanjat plafon. "Jangan pak, jangan", kata Emak lirih. Mereka melihat lemari reyot yang teronggok di sudut kamar gelap, Emak yang melihat arah pandangan mereka, segera beringsut ke depan lemari, menghalangi, "disini tidak ada apa-apa pak, tidak ada", lirih emak dalam tangis. 
"Minggir!", hardik tentara. Melihat Emak bergeming, ia menghardik lagi, "Minggir atau kutembak!". Dalam sepersekian detik setelah hardikkan tersebut, Muji melompat keluar dari dalam lemari, menerkam tentara penghardik. Dihantamnya kepala tentara tersebut dengan celengan ayam dari tanah liat yang mungkin diambilnya dari dalam lemari tadi. Tentara penghardik itu pingsan seketika dengan kepala bersimbah darah dan tertimbun keping-keping recehan. Tentara satunya yang ada diruangan, sempat bengong melihat kejadian yang cepat itu di dalam kamar remang ini. Tetapi ia pun tersadar, ia menarik pelatuk senjatanya. Emak berteriak, Muji meraung: Dua butir peluru menembus kaki Muji, sedang butir lainnya terbang menembus dinding separuh gedek ini. Emak yang berteriak kalap terbang menerkam tentara penembak, menggigit pipinya, tentara penembak meraung sembari menggapai-gapai dan menarik-narik emak menjauh dari pipinya. Berhasil. Emak terlepas dari tubuhnya. Begitupun senjata yang tadi ia pegang, yang kini sudah berpindah ke tangan Emak. Tentara penembak belum sempat bertindak saat 4 butir peluru dengan mudahnya menembus perut dan dadanya, ia tersungkur. Emak kembali menarik pelatuk saat dua orang tentara lain yang tadi menyisiri rumah muncul di depan pintu kamar. Dengan cepatnya mereka berdua pun tersungkur pula meregang nyawa. Setelah melihat mereka ambruk, Emak terhuyung menghampiri Muji yang meringis kesakitan. "Tidak apa-apa nak, tidak apa-apa, kau akan sembuh, emak akan merawatmu"
Di depan rumah emak, tentara lain yang menyisiri kampung mendengar rentetan tembakan dari arah dalam, segera masuk. Emak yang mendengar suara derap sepatu lars tersebut memasuki halaman., segera menutup dan mengunci pintu kamar sekenanya. Ia lalu memeluk Muji dengan penuh kasih sayang, mengecup kening dan kedua pipinya, serta berkata, "Tenang nak, tidak apa-apa, kita aman, kau aman, nanti kau akan emak rawat sampai sembuh". Muji diam dalam bingung, matanya berkaca-kaca menahan sakit. Emak lalu berjongkok membelakangi Muji, menghadap ke arah pintu. Derap sepatu Lars sudah terdengar di depan pintu kamar. Lalu mendadak sunyi. Dalam hati Emak merapal doa serta puja-puji bagi Maha Kuasa, bernazar jika ia dan Muji selamat dari kengerian malam ini, ia akan menyiapkan kurban yang sangat layak untuk Nya. Suara keras mengiringi terbukanya pintu kamar secara paksa. Refleks, jari telunjuk Emak menarik pelatuk senjata yang dari tadi moncongnya diarahkan ke pintu kamar. Debu dari lantai bertanah serta asap mesiu memenuhi ruangan pengap ini. Dari pintu terdengar teriakan kesakitan tentara-tentara yang mungkin terkena tembakan senjata Emak. Emak terus menarik pelatuk senjatanya, hingga moncong senapan itu berhenti menyalak. Pelurunya habis. Emak menunduk pasrah. Tiba-tiba ia teringat wajah suaminya, dan wajah Muji ketika bayi. Ketika mengangkat wajahnya kembali, diterangi cahaya remang berasap yang memutar di pintu kamar, terlihat tiga moncong senapan. Selanjutnya yang emak tahu hanyalah rasa sakit, teriakan Muji, dan rasa sakit kembali. Setelah itu gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar