Pages

Jumat, 16 Desember 2016

Sore yang Biasa di Bulan Agustus

Sore yang biasa di bulan Agustus.
Observatorium terasa dingin setelah basah oleh hujan kemarau yang ramai rintiknya tapi tiada deras. Tapi segala mendung telah disapu angin khas kemarau, dan langit kembali di bakar rona jingga bercorak terang. Bima melangkah diantara kilauan hijau rumput halaman yang basah, melalui jalan dari batu-batu pipih yang telah disusun menjadi penjejakan setapak mengarah ke pintu utama observatorium. Gemerincing kunci ditarik dari cantolannya di pinggang, dipilih satu kunci yang paling tua penampakkannya. Pintu terbuka dan suatu aroma tua yang akrab menyeruak masuk ke rongga hidung Bima. Sebuah aroma cengkeh, kopi, dan petualangan. 

Setelah di tariknya tiga buah tuas di pinggir ruangan, maka teranglah seluruh gedung kubah yang telah berumur itu. Waktu bumi telah menunjukkan pukul lima sore, dan sudah waktunya lampu-lampu taman dihidupkan pula. Diantara seluruh kewajibannya, Bima paling berar untuk menghidupkan lampu-lampu untuk menerangi taman, jalan, dan seluruh kawasan eksternal observatorium. Menurutnya, itu suatu perbuatan dosa, dimana membiarkan sebuah cahaya asing mengganggu pendar cahaya-cahaya langit yang sejak purba telah menerangi bumi sesuai kodratnya kala malam turun untuk: bintang-bintang.

Hari ini sungguh hari yang biasa. Bukan hari-hari yang ramai nan sibuk meski bulan kemarau tengah berlangsung dan jadwal observasi malam telah dibuka. Hari ini belum nampak rombongan anak-anak sd yang riuh, atau muda-mudi sma yang serba sok tau, atau mereka yang sekedar ingin merasakan keromantisan gedung tua berteropong raksasa, yang pasti sangat yahud bila difoto untuk media maya. Di hari biasa ataupun tidak, tugas Bima tetaplah sama saban sore: menyalakan lampu-lampu, membersihkan ruangan-ruangan, memeriksa secara sederhana keadaan teropong kecil (teropong utama bukanlah bagian Bima), lalu bersiaga di meja kecil yang tersudut bertuliskan "informasi" di atasnya. Di antara kegiatannya itu, obrolan antar manusia hanya sesekali terjadi, yaitu antara Bima dan mas Iwa yang bertugas di ruang teropong utama, atau dengan Udin penguasa dapur dan petugas serba bisa. Sedang dengan para punggawa antariksa, Bima hanya sesekali bertukar sapa dengan ramah, karena mereka selalu terlihat sibuk dalam segala sesuatu urusan. Sisanya, sepanjang sore hingga waktunya pulang Bima lebih sering mendengar  playlist lagu yang mengalir dari headset biru minimalisnya. Playlist lagu adalah penentu tempo langkahnya. Musik memberi bentuk pada hari-harinya. Maka, playlist Bima adalah sesuatu yang selalu baru, beriringan dengan barunya hari yang tiba. 

Hari ini tema playlist bima adalah smooth acoustic. Jam besar di dinding aula menunjukkan pukul 17.30. Bima meletakkan sapunya meski sisa debu belum sempurna hilang dari peradaban aula. Ia menuju ke pintu tempat ia masuk tadi. Dari sana, di depan pintu, terlihat hiruk yang tidak terlalu riuh yang terjadi di desa-kota di bawah sana, berlatar semburat jingga pada senja bulan Agustus yang mebuncah ria seperti menari, kala suasana di atas sini masih basah dan dingin bakda hujan pada pangkal sore tadi. Semua terasa begitu kontras sekaligus begitu padu. Bima menikmati semua itu dengan perlahan menutup mata dan menarik nafas dalam perlahan. Dalam sepersiekian detik pada tiap tarikan nafasnya itu ia bersyukur dipertemukan oleh observatorium tua di atas bukit hijau nan dingin ini.

Bima perlahan membuka matanya. Langit masih jingga, tetapi di ujung jalan sana, berlatar langit senja dan dipayung kanopi pendar lampu-lampu jalan, Bima melihat siluet seseorang yang sedang berjalan ke arahnya. Ah bukan, ke arah observatorium ini. Pandangannya terpaku pada sosok itu, mencoba mencari-cari apa saja yang dapat di jadikan identitas. Semakin dekat, ia tahu bahwa sosok itu ialah seorang gadis. Makin dekat, ia juga tahu bahwa gadis itu seorang yang jelita. 

Gadis yang dari ujung jalan sana berjalan menunduk, sekarang mengangkat kepalanya, ia berjarak sekitar 10 meter dari Bima. Sembari menunjukkan ekspresi kaget yang ceria, lalu menyapu keningnya dari bulir-bukir keringat dengan lengan jaketnya, ia terus berjalan kearah bima.
"Haaaah, sampe jugaaaa, jauh... juga... ya bang... dari bawah..", seru sang gadis dengan nafas yang memburu.
Aroma vanilla yang manis menggantikan aroma tua yg tadi bersarang di hidung Bima
"Capek mbak?", Bima menyambut sang gadis dengan senyum yang sama sekali tidak bisa ia kendalikan sembari melepas sebelah headset-nya dari kuping sebelah kanan. Yang kiri ia biarkan tetap menggantung.
"Mayan bang, ini jadi kurusan deh kayaknya" katanya sembari mencubit pipinya
Aih lucu, pikir Bima yang sekali lagi tidak ia sengajakan. Benar-benar gestur yang lucu, pikirnya, dan senyum tak beranjak dari bibir Bima.
"Mau liat bintang mbak? Atau foto-foto doang?"

"Mau liat bintang dong bang, kalo foto doang udah luntur make up saya saya keringat"

"Udah reservasi?" 

"Hah, harus reservasi ya bang? Yah gimana dong saya ga tau bang. Tadi pas nyampe langsung kesini, ga tau juga kalo kudu reservasi", katanya dengan nada yg memelas tanpa dibuat-buat.
Bima melihat kebelakang, ke arah observatorium. Hari ini hari yang biasa. Tidak ramai, dan belum tampak pengunjung lain mendatangi gedung berteropong itu.
"Oke, saya bisa bantu mbak, tapi syaratnya mbak harus bener-bener liat bintang, kurangin foto-foto, dan panduan saya di dalam ya"

"Serius bang? Siap! Saya kesini beneran mau nge-date sama bintang kok bang. Bang makasih banyak ya bang", katanya sembari meraih tangan Bima untuk bersalaman lalu menempelkan ke keningnya.
Bima kaget, yang dalam beberapa milidetik kagetnya terkonversi menjadi tawa yang sedikit menyimpan malu meski tetap dibalut senyum senang. 

"Sekarang mbak reservasi dulu dari hp nya, nanti biar saya langsung verifikasi. Di dalam aja gimana mbak, udah mau maghrib". Kata-kata Bima disambut anggukan berkali-kali sang gadis dengan senyum yang mengembang. Aih lucu, pikir Bima sekali lagi.

Bima melangkah menuju pintu tua aula utama. Di belakangnya, sang gadis mengikuti sambil berceloteh girang tentang betapa ia dilimpahi keberuntungan hari ini. Bima pun berpikir begitu, betapa ia tiba-tiba merasa beruntung hari ini, dan senyum di bibirnya terus merekah. Di telinga kiri nya terdengar melodi awal Bloom milik The Paper Kites. Pintu besi tebal aula utama bergeser dengan suara yang berat, tapi yang terdengar oleh Bima hanyalah melodi indah pada sore yang biasa di bulan agustus.


When the evening pulls the sun down,
And the day is almost through,
Oh, the whole world it is sleeping,
But my world is you


Can i be close to you?



Pantai Panjang 16 Dec '16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar