Pages

Minggu, 14 Agustus 2016

Gerisik Kemarau

"Hei...", panggilnya pelan. 
Pelan sekali, seperti ragu, sehingga hampir tandas dihanyut angin yang gerisiknya bersiul keras meski tetap saja lembut. Aku merasakan rindingnya, bahwa sekujur rambut halus di lengan putihnya telah beku dibalut angin malam ini. Panggilanya kujawab hanya dengan tatap seraya mengeratkan kerah sweater rajut yang ia kenakan.


"Kenapa angin kemarau itu jahat?", tanyanya, menatap. 
Aku mencari-cari sunggingan senyum di sudut-sudut bibirnya, tapi kecul kutemui. Tatap dan tanyanya serius kali ini, dan itu membuatku berdebar. Obrolan serius dengannya selalu membuat jantungku mempercepat ritme tanpa peduli aku yang jadi malu karena nafasku memburu menyusul ketukan.

"Aku tidak tahu.."

"Tapi kau pandai", jawabnya bersamaan dengan angin yg kembali bergerisik. 
Kami berdua bergidik.

"Itu kan menurutmu", jawabku pelan, berusaha agar tak didengar. 
Sedang tanganku menggapai menggenggam tangannya untuk menghindari jemari yang kebas oleh dingin. Apakah karena dingin belaka? Tidak, mungkin lebih tepat aku mencoba mengalihkan perhatiannya.

"Apakah aku salah?", tanyanya, dengan mata semakin menatap.
Aku diam. Perhatiannya gagal kualihkan. Dasar kau jelita keras kepala. Bahkan ditengah dingin seperti ini kau dan rasa ingin tahumu akan langit dan kolongnya tetap bercahaya membara.

"I'm not saying that you're wrong, tapi aku hanya tidak menganggap diriku pandai sama sekali. Bodoh, tepatnya."


"Kau tahu, mungkin, pandai adalah bodoh bagi belahan bumi yang lain, and vice versaBukankah semua manusia juga begitu?", katanya lepas dengan suara yang tenang dan tatapnya lurus terkunci pada bebintang khas langit kemarau


Aku tersenyum, sembari menggapai kotak rokok di saku kanan jaket. Kugoncang ke atas hingga sebatang rokok mencuat terdesak, kugapit dengan bibir, lalu kusulut dan kuhisap dalam. Hembusan pertama ini terasa berat, dan asap putih itu menari-nari mengejekku tepat di depan muka, aku usir halau dengan tangan sehingga mereka kabur bersama angin. Kau lah yang pandai, jelita. Kau lah yang membanggakan. Yang mencerahkan dengan senyummu yang girang.


"Mungkin begitulah karakter kemarau bila menyapa, hanya kita saja yang salah kaprah.  Atau mungkin, angin ini penanda sedih saja, sebab purnama telah menghapus bintang-bintang yang seharusnya memprimadona kemarau dari musim-musim yang lain.", rokok kembali kuhisap dengan bunyi terbakar menggemertak.

"Hooo...", gumamnya sembari mengangguk-angguk, lalu menoleh kepadaku untuk melempar senyum. 
Alangkah kerasnya lemparan itu hingga menohok ulu. Ia kembali menatap langit, menjeliti bulan seakan ingin memarahi, sedang lengannya menggapai lenganku untuk didekap erat. Ia tinggalkan aku yang sendiri menyaksikan senyumnya, menikmati dekapannya, di mana akan terus ku putar ulang sebagai proyeksi di bawah sadar. 
Malam ini malam terakhir sebelum kami berpisah di simpangan yang berbeda. Dengan semua kenangan yang telah diciptakannya, angin kemarau di sisa malam ini tetap dingin, sangat, tapi bagiku  tak lagi jahat.



Nomaden, 14 Aug '16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar