Ia menyenderkan kepala di jendela, di depan sebuah buku yang tertutup di atas tatakan kecil yang tersiram cahaya matahari. Pandangnya jauh, tetapi pikirannya penuh. Ia menatap berhektar luas padang hijau dengan kemuning milik ladang jagung, yang beratap langit biru cerah yang di pinggir-pinggirnya berbaris pegunungan nun jauh, seperti pinggiran kertas yang dirobek dengan tak sempurna. Ia sedikit resah karena hanya bertemu dengan hamparan ladang jagung yang terkesan kering, bukan hamparan sawah yg mungkin lebih terkesan sejuk. Ia mencoba menghitung awan yang sedikit sekali hadir pada siang ini. Satu..., dua..., ah, ada 12, 2 awan kecil berpencar di kiri dan kanan, sedangkan sisanya berarak bertingkat seperti sudah saling mengenal dalam keakraban. Di luar tentu panas, pikirnya, tetapi manusia-manusia dalam bingkai jendela kereta ini tetap bergerak seakan tanpa sadar. Idrak, ia merasa sesuatu yang merundung dalam hatinya. Sesuatu yang sepi dan sepertinya akan membakat. Halai-balai.
Sekejap, pemandangan berubah menjadi barisan pohon jati muda yang rapih bersaf-saf hingga ke pinggiran rel yang bertanah kerikil dan bebatuan kecil nan tajam. Lalu pemandangan telah berubah semakin indah, menjadi sebuah perkampungan dengan rumah-rumah khas beratap genting joglo, dan dinding-dinding kayu sederhana yang sebagian diantaranya terdapat ukiran-ukiran tangan. Desa yang teduh dan damai, dalam lindungan kanopi pepohonan melingkupi jalanan desa, serta nuansa kuning-coklat yang dimunculkan oleh tanah, dinding, dan atap-atap. Senyumnya mengembang tanpa sadar ketika ia merasa betapa bahagianya hidup dalam damai yang seperti itu, yang batas-batasnya masihlah berupa pola-pola sederhana, dan hakikat manusia masih berada pada dasarnya. Lagi, rasa aneh itu muncul kembali dalam hatinya. Senyumnya hilang, dan ia menghela nafas panjang yang dalam.
Desa itu terlewati oleh jalannya kereta, dan tak beberapa lama sebuah sungai yang tua dan tenang dalam arifnya muncul sebagai latar baru jendela kereta. Mendadak ia merasa lelah, dan memutuskan untuk memejamkan mata. Maka ia mencoba menutup kelopak mata dengan kepala yg tetap bersender di tengah gonjang-ganjing jendela kereta, berusaha mengistirahatkan semua pikiran-pikiran tak bertanggung jawab dari kepalanya. Tapi percuma, otaknya tetaplah otak yang selalu lapar dengan bengis. Meski nafasnya telah teratur dalam tidur, pikirannya terus bekerja, mengetik cerita-cerita dongeng dan khayal representasif pikiran-pikiran yang represif. Kereta terus melaju, berusaha menepati janji dengan sang waktu.
Kedung Jati - Klaten, 20 Aug '16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar