Hari
ini terik cerah, sudah sebulan. Langit biru sedikit saja dibercaki awan putih
yang tak meneduhkan. Muji memandang langit dengan tatapan kosong. Di beranda,
ia menunggu Emak pulang kerumah. Ini kegiatan rutin bagi Muji sehari-hari, yang
telah ia lakukan 20 tahun sepanjang hidupnya, segera setelah emak merasa yakinia
telah cukup besar untuk meninggalkannya ke pasar. Tentu tak melulu Muji
menunggu dengan melamun. Dulu, seringkali ia menunggu Emak pulang dengan
bermain bersama teman sebayanya saban sore, suatu kegiatan yang perlahan-lahan
menurun intensitasnya, terlebih lima tahun belakangan. Mungkin karena mereka
bosan bermain. Atau mungkin karena pemuda seumur Muji sekarang sudah tak
seharusnya lagi bermain dari siang ke sore.
Muji
seorang anak yang normal. Ia sehat, kuat, dan tampan pula rupanya. Hanya saja,
Emak, yang membesarkannya seorang diri, terlalu memanjakan Muji sedari bayi.
Memang itu adalah suatu bentuk kasih sayang ibu terhadap anak, tetapi sesuai ungkapan: yang berlebihan itu tiadalah baik, maka
berlakulah untuk Muji. Muji tumbuh menjadi pemuda yang tak bisa apa-apa, selain
bermain, bermanja dan menunggu emak pulang. Ketika teman-temannya yang lain
sudah mencari nafkah di laut lepas, Muji tetap di rumah. Emak tak mau ombak
yang dulu merenggut nyawa suaminya, nanti kan lagi meminta tumbal buah hatinya.
Muji
menangkap sosok Emak di ujung jalan kampung sana. Segera ia terseok-seok
berlari karena sendal yang belum terpasang sempurna. Ia menghampiri Emak,
mencium tangannya, dan menyambutnya, "selamat
datang, emak" , yang dibalas, "ayo
kita pulang, mandi lalu makan", kata Emak dalam senyum. Mereka berdua
berjalan pulang ke rumah, Muji dengan setia menggelayuti lengan Emak. Warga
kampung pun sudah mafhum dengan pemandangan itu. Tidak normal memang, namun mau
bagaimana lagi? Para tetangga dan sanak saudara tak enak hati menegur Emak, jika
teringat wajah Emak yang meraung-raung ketika laki nya hilang di laut dulu,
sedang Muji hanya anak satu-satunya yang hadir sebagai pelipur lara.
Matahari
telah tergelincir di ujung cakrawala, disambut gelap meliputi langit cerah.
Muji telah selesai dimandikan dan kini Emak sedang menyisiri rambutnya yang
dibiarkan tumbuh sebahu. Setelah puas mendandani anak laki-lakinya, Emak
menyiapkan makan, sedang Muji bermain dengan kucing di tengah ruangan. Mereka
berdua lalu makan bersama sembari Emak bercerita apa saja yang dilihatnya di
pasar kampung sebelah hari ini saat berjualan, serta berjanji seperti biasanya,
yang belum juga Emak tepati, untuk sekali waktu mengajak Muji plesir kesana.
Emak sebenarnya ingin saja menepati janjinya itu, tetapi ia tidak sampai hati
mendengar cemoohan orang kampung sebelah dan melihat Muji di ejek oleh pemuda
kampung sebelah. Maka dari itu, sampai saat ini Muji hanya bisa berplesir
dengan imajinasinya sendiri.
Purnama
belum lagi di pucuk kepala saat mereka berdua bersiap tidur, tetapi batal
karena Emak mendengar suara gaduh tetangga di depan rumah. Emak keluar, tentu
setelah menyuruh Muji untuk tetap di dalam. Setelah sekian menit, Emak kembali
kedalam dengan wajah yang cemas. Ia menyuruh Muji untuk segera naik ke kasur
dan memejamkan mata, sedang ia sendiri bergegas mematikan lampu minyak di
tengah ruangan. Setelah rumah gelap, ia menyusul ke kasur dan memeluk Muji dari
belakang, "tenang, tenang. tidak apa-apa, tidak
apa-apa", kata Emak menenangkan. Entah untuk apa dan siapa, Muji tidak
mengerti. Sepuluh menit, akhirnya Muji mulai merasakan kantuk, dan sedikit
terpejam saat akhirnya tubuh mereka berdua tersontak kaget oleh gedoran kasar
disertai teriakan tegas dari pintu rumah. Emak segera meloncat turun dari kasur
tanpa suara, dan menarik tangan Muji sembari berbisik, "Kemari nak, tidak apa-apa, tidak
apa-apa, kau sembunyilah di dalam lemari, jangan keluar sebelum emak
memanggilmu ya nak, tidak apa-apa". Muji yang kebingungan menuruti
perkataan Emaknya. Pasti, Muji selalu menuruti kata emak yang ia sayangi lebih
dari apapun. Muji masuk kedalam lemari kecil itu yang penuh dengan baju dan
kain bergantungan, diantaranya adalah ambin favoritnya. Setelah Emak menutup
pintu lemari tersebut, Emak bergegas keluar rumah. Tinggallah Muji dalam kegelapan
yang menyesakkan dalam 40 menit yang membingungkan.
Emak
berjalan diiringi kedua tentara yang tak jelas ekspresinya tersebut, padahal
malam ini terang oleh purnama. Emak digiring ke tengah kampung, dimana warga
lain telah ramai berkumpul, di depan deretan panser serta barisan
tentara. Seorang berwajah sangar keluar dari dalam panser paling depan,
dari atas panser itu ia membacakan maklumat: "Kampung
ini terdeteksi sebagai sarang dan pemasok untuk gerombolan PN, bagi kalian yang
mempunyai informasi dan atau merasa menjadi bagian dari gerombolan, harap maju
ke depan, demi kebaikan bersama!" , teriak si sangar dengan suara serak
yang kaku. Semua warga bingung
dalam diam. Sekonyong-konyong setelah maklumat dibacakan, empat orang warga
berlari menembus kumpulan warga, menuju rumah-rumah. Warga kaget, lebih kaget
lagi ketika mendengar suara rentetan senapan yang membahana. Tentara bergerak
mengejar salah seorang pelarian tadi yang belum mati dan masih berlari.
Kumpulan warga yang masih diam dalam keterkejutan, mendadak riuh histeris.
Mereka pun mulai berlarian kesana-kemari, tentara bergerak menangkap dan
menembaki, sedang emak berlari dengan satu pikiran: Muji!
Emak
berlari ke arah rumahnya, bergegas memasuki hingga ia tersungkur tersandung
kusen pintu. Ia tau, beberapa tentara berlari mengikutinya. Ia segera memalang
pintu dengan balok besar yang memang difungsikan
sebagai kunci pintu. Setelah itu ia berlari ke kamar
tempat Muji bersembunyi. Di depan, suara gedoran kasar kembali terdengar
serentak dengan teriakan keras, "buka!".
Tapi tak lama, gedoran berubah menjadi suara hantaman. Pintu telah berhasil di
dobrak dan empat orang tentara merangsek masuk. Mereka langsung menendang pintu
kamar satu-satunya yang ternyata, Emak berdiri menahan di belakang pintu
tersebut. Segera saja emak tersungkur, sang tentara paling depan segera
menghardik, "Apa yang kau sembunyikan, bu?!".
"Tidak ada, pak, tidak ada, demi Tuhan tidak
ada yang saya sembunyikan".
"Lantas untuk apa kau berlari menghindar, dan
memalang pintu? Kami bukanlah gerombolan PN! Geledah rumah ini!",
kata sang tentara kedua dengan sangarnya.
Mereka
lalu berpencar, satu orang ke dapur, satu lagi ke halaman belakang dan sumur,
dan dua orang sisanya menggeledah kamar. Mereka membalikkan kasur, menyenteri
tanah dan memanjat plafon. "Jangan
pak, jangan", kata Emak lirih. Mereka melihat lemari reyot yang
teronggok di sudut kamar gelap, Emak yang melihat arah pandangan mereka, segera
beringsut ke depan lemari, menghalangi, "disini
tidak ada apa-apa pak, tidak ada", lirih emak dalam tangis.
"Minggir!",
hardik tentara. Melihat Emak bergeming, ia menghardik lagi, "Minggir atau kutembak!".
Dalam sepersekian detik setelah hardikkan tersebut, Muji melompat keluar dari
dalam lemari, menerkam tentara penghardik. Dihantamnya kepala tentara tersebut
dengan celengan ayam dari tanah liat yang mungkin diambilnya dari dalam lemari
tadi. Tentara penghardik itu pingsan seketika dengan kepala bersimbah darah dan
tertimbun keping-keping recehan. Tentara satunya yang ada diruangan, sempat
bengong melihat kejadian yang cepat itu di dalam kamar remang ini. Tetapi ia
pun tersadar, ia menarik pelatuk senjatanya. Emak berteriak, Muji meraung: Dua
butir peluru menembus kaki Muji, sedang butir lainnya terbang menembus dinding
separuh gedek ini. Emak yang berteriak kalap
terbang menerkam tentara penembak, menggigit pipinya, tentara penembak meraung
sembari menggapai-gapai dan menarik-narik emak menjauh dari pipinya. Berhasil.
Emak terlepas dari tubuhnya. Begitupun senjata yang tadi ia pegang, yang kini
sudah berpindah ke tangan Emak. Tentara penembak belum sempat bertindak saat 4
butir peluru dengan mudahnya menembus perut dan dadanya, ia tersungkur. Emak
kembali menarik pelatuk saat dua orang tentara lain yang tadi menyisiri rumah muncul
di depan pintu kamar. Dengan cepatnya mereka berdua pun tersungkur pula
meregang nyawa. Setelah melihat mereka ambruk, Emak terhuyung menghampiri Muji
yang meringis kesakitan. "Tidak
apa-apa nak, tidak apa-apa, kau akan sembuh, emak akan merawatmu".
Di
depan rumah emak, tentara lain yang menyisiri kampung mendengar rentetan
tembakan dari arah dalam, segera masuk. Emak yang mendengar suara derap sepatu
lars tersebut memasuki halaman., segera menutup dan mengunci pintu
kamar sekenanya. Ia lalu memeluk Muji dengan penuh kasih sayang, mengecup
kening dan kedua pipinya, serta berkata, "Tenang
nak, tidak apa-apa, kita aman, kau aman, nanti kau akan emak rawat sampai
sembuh". Muji diam dalam bingung, matanya berkaca-kaca menahan sakit.
Emak lalu berjongkok membelakangi Muji, menghadap ke arah pintu. Derap sepatu
Lars sudah terdengar di depan pintu kamar. Lalu mendadak sunyi. Dalam hati Emak
merapal doa serta puja-puji bagi Maha Kuasa, bernazar jika ia dan Muji selamat
dari kengerian malam ini, ia akan menyiapkan kurban yang sangat layak untuk Nya. Suara keras
mengiringi terbukanya pintu kamar secara paksa. Refleks, jari telunjuk Emak
menarik pelatuk senjata yang dari tadi moncongnya diarahkan ke pintu kamar.
Debu dari lantai bertanah serta asap mesiu memenuhi ruangan pengap ini. Dari
pintu terdengar teriakan kesakitan tentara-tentara yang mungkin terkena
tembakan senjata Emak.
Emak terus menarik pelatuk senjatanya, hingga moncong senapan itu berhenti
menyalak. Pelurunya habis. Emak menunduk pasrah. Tiba-tiba ia teringat wajah
suaminya, dan wajah Muji ketika bayi. Ketika mengangkat wajahnya kembali,
diterangi cahaya remang berasap yang memutar di pintu kamar, terlihat tiga
moncong senapan. Selanjutnya yang emak tahu hanyalah rasa sakit, teriakan Muji,
dan rasa sakit kembali. Setelah itu gelap.