Hari ini dinginnya luar biasa. Hujan sudah deras sejak adzan
maghrib berkumandang, dan hingga sekarang masihlah sama derasnya, meski malam
sudah semakin lanjut. Sempat malas untuk berangkat, karena kalau bermotor di
cuaca seperti ini pastilah basah kuyup sampe ke dalam. Untung saja Panca mau
mengantarkanku ke pool travel meski tau konsekuensi yang akan
dihadapinya, bahwa mobilnya bakal kejebak macet yang selalu hadir berbarengan
dengan hujan deras di kota ini. Tiba di pool pukul 9.45, rencanaku untuk mengejar
keberangkatan pukul 9 sudah pasti gagal. Ah, bisa sampai ke pool saja aku harusnya sudah bersyukur dan
berterimakasih kepada Panca yang tetap tenang ngadepin macet yang kayak berenti
total tadi, yang bete malah aku.
Mau tidak mau aku membeli tiket untuk jadwal keberangkatan
selanjutnya, yaitu pukul 10. Okelah, pikirku, hanya menunggu sekitar 15 menit
ga akan menyakitkan. Ternyata, berpikir positif belum cukup untuk bikin nasib
membaik, apalagi di tengah cuaca yang seperti ini. Kabar terbaru yang masuk
adalah mobil yang dijadwalkan berangkat jam 10 harus ditunda keberangkatannya
karena masalah teknis yang diakibatkan hujan yang demikian derasnya. Harus apa
lagi selain menghela nafas dan lanjut menunggu bersama calon penumpang lainnya,
dan sekarang jam baru berganti ke 10.27. Malam ini gelapnya ga kalah pekat sama
kopi gayo tubruk original.
Diantara suara hujan yang berisik, dan obrolan calon penumpang
lain yang berbisik, kayaknya tanpa sadar aku tengah melayang diantara tidur
tapi tetap sadar dan kaget, ketika namaku dipanggil oleh petugas travel. Aku
yang terkejut mendengar namaku yang diteriakkan kencang, tersentak bangun,
seperti roh yang tadi melayang ditarik masuk kedalam badan dengan terburu-buru.
Jadi sedikit pusing, tapi langsung aku berdiri dan menghampiri petugas tadi
untuk mengkonfirmasi. Masih dalam kantuk dan sekarang ditambah pusing, aku
hanya menjawab cepat “ya, saya widya mas”, dan petugas menjawab dengan
mempersilahkan aku untuk naik ke mobil sembari menunjuk kearah mobil yang
terparkir di sebelah kanan. Semua mobil di parkiran sepertinya akan berangkat
berbarengan, mungkin karena hujan juga sudah sedikit mereda. Suasana agak
sedikit riuh dengan raung mesin mobil-mobil dan suara orang yang ngantri masuk
ke dalamnya. Semua orang berlari kecil dari ruang tunggu ke arah mobil di
parkiran menghindar hujan yang walaupun udah agak reda, tapi masih aja bikin
basah, kecuali seorang perempuan yang dari tadi cuma berdiri di samping mobil
yang berada di kiri sisiku. Ga takut dingin ya mbak?
Aku langsung nurut aja sama mas petugasnya karena ngantukku masih
parah. Aku diarahkan ke seat di barisan paling belakang karena
sepertinya antrian tiket ku tadi memang bernomor buntut. Ga apa-apa lah,
pikirku, toh disebelahku juga bakal kosong sepertinya, jadi aku bisa tidur
dengan leluasa. Mobil mulai berjalan, dan saat aku menyolokkan headset ke handphone,
sempat kulirik jam di sudut kanan atas layar yang menunjukkan pukul 10.52.
sudah jam segini aja, pikirku, untung nanti pas sampai aku ada yang jemput.
Saat headset sudah nyantol dengan nyaman di kuping,
aku memilih lagu yang pas sebagai awal pengantar tidur. Sempat kudengar suara
seperti orang pilek dan ingusan, eh, atau menangis? Suaranya seperti dari
barisan yang ditengah, ah bukan, dari depan deh kayaknya. Aku melongok sedikit
ke depan karena penasaran, tapi kayaknya semua udah pada nyantai, malah ada
yang udah tidur. “Mungkin suara radio aa supirnya”, kataku berdialog sendiri.
Lagu ku pilih, dan aku langsung memejamkan mata. Secepat rintik turun dari
langit, secepat itu juga aku tertidur.
**********
Mimpiku absurd. Aku seperti berada di sebuah ruangan, kelas
kayaknya, dan aku duduk menghadap ke depan. Di sebelahku duduk perempuan cantik
dan wangi sekali, tapi aku sama sekali ga kenal, dan rambut serta bajunya
terlihat basah. Ia terlihat sedih. Tangan ku bergerak kearah bahunya untuk
menyapa dan menenangkannya. “Gubrak!”, mobil berguncang hebat. Masuk lubang
sepertinya. Aku jadi terbangun sebangun-bangunnya. Mimpi yang aneh, pikirku,
pasti karena tadi pagi di kampus riweuh.
Aku jadi pusing lagi karena bangun tiba-tiba seperti ini. Aku melepaskan headset, dan tanganku mendekap
leherku. “panas…”, aku menggumam sendiri. Ah, jangan sampai aku demam gara-gara
kena hujan sedikit tadi. Tapi pusingnya belum hilang.
Aku melihat jam di handphone,
00. 07. Wah, kok lama juga ya? Apa tadi macet? Aku melongok ke depan, kayaknya
penumpang yang lain masih pada tidur.
Aku bertanya ke aa supir dengan suara yang di
pelan-pelankan “A, ini sudah di mana?”.
“Bentar lagi sampe Purwakarta, neng.”, jawabnya. Aku bingung.
Purwakarta? Kenapa ke Purwakarta?
Aku
langsung deg-degan, dan tambah pusing, “A, saya bukan tujuan
Purwakarta!”.
“Hah,
maksudnya neng?”.
“A,
saya bukan mau ke Purwakarta…” kali ini suaraku mulai bergetar, duh, bakal
nangis nih kayaknya.
“Eeh…” suara aa nya kayak bingung, “gimana ya neng? Kok bisa?”. Penumpang
yang lain kayaknyaa mulai bangun karena obrolan kami yang gaduh.
“Ga tau aa,
tadi nama saya dipanggil, trus disuruh naik mobil ini…”, tuh kan nangis, dan
aku pusing sekali.
“Ya udah neng gini aja, nanti sampe pool saya bilang ke kantor, semoga masih
ada mobil yang mau balik ke bandung ya neng”
kata aa nya mencoba menenangkan. Agak lega sih,
tapi masih pusing. Dan sayup-sayup aku mendengar suara pilek atau ingusan atau
nangis itu lagi.
Sekitar 5 menit, mobil kami tiba di pool Purwakarta. Hujan sekarang sudah
berhenti, yang tersisa hanya dinginnya yang membentuk kabut. Aku turun terakhir
dari mobil, dan langsung diajak aa supirnya ke dalam kantor yang sudah
sepi antrian, hanya beberapa petugas travel yang bercengkrama. Keadaanku
dijelaskan oleh aa supir tadi kepada rekan-rekannya, lalu
mereka berdiskusi sendiri, sedang aku hanya berdiri diam, pengen nangis tapi
malu.
“Yaudah neng,
ga apa-apa, kebetulan ada mobil yang mau balik lagi ke pool Bandung, neng naik lagi aja ya?”, kata salah satu
petugas yang kayaknya manajer pool Purwakarta ini.
“Iya pak, ga apa-apa, yang penting bisa balik.
Soalnya saya ga ada saudara di sini pak”, jawabku lebih tenang sekarang, karena
udah minum teh manis hangat, mungkin.
“Iya neng,
tunggu di sini aja ya, bentar lagi mobilnya mutar balik kesini. Soalnya tadi
barusan jalan mobilnya”
“Wah maaf banget ya pak merepotkan, biaya
tiketnya berapa pak?”
“Ga usah neng, ini juga karena kesalahan petugas
kami yang tidak konfirmasi dulu penumpang yang naik. Pokoknya neng tenang aja ya ga usah pikirin
biayanya.”
Ah, syukurlah Ya Tuhan, masih ada orang baik di dunia. Aku jadi
lemas karena lega. Aku duduk menunggu di ruang tunggu pool, ditemani teh manis hangat
dan beberapa petugas pool yang baik-baik. Sekitar 5 menit, mobil
yang dimaksud tadi masuk ke parkiran pool.
Aku bergegas naik setelah bersalaman dan mengucapkan terima kasih kepada
petugas di pool Purwakarta. Aku duduk di tengah, di
belakang kursi bapak supir. Mobil kosong, sekosong-kosongnya, kecuali aku dan
bapak supir. Di radio sudah terputar lagu sunda pengisi kosongnya ruangan, dan
diantara aku dan bapak supir sepi dalam diam. Terasa ganjil.
“Salah naik mobil ya neng?”, Tanya bapak supir
tiba-tiba.
Aku kaget, “eh, iya pak. Tadi nama saya di
panggil di suruh naik mobil ini, saya kirain teh bener ini mobilnya.”
“Oh, salah panggil ya?”
“Iya, pak”
“Nama eneng Widya?”
“Eh, kok tau pak?” Lagi, aku kaget.
“Soalnya dari kemaren ada 3 orang yang namanya
sama kayak eneng gitu, salah naik mobil. Dan semua sama
ceritanya, karena namanya dipanggil petugas.”
“Semua namanya widya, pak? Kok bisa gitu pak?”
“Iya, kayaknya udah 3 malem ini ada yang namanya
widya beli tiket travel ke Purwakarta, tapi ga pernah dateng,
makanya suka salah panggil. Kan yang namanya widya banyak ya? Hahahaha”
Aku mendadak merinding. Selanjutnya obrolan dengan bapak supir
beralih ke hal-hal mistis nan serem di sekitar Purwakarta, tema yang
sangat-amat aku benci. Aku hanya menjawab seperlunya saja, dan sepertinya bapak
supir sadar aku ga suka, sehingga ia menyuruhku untuk tidur saja. Aku kembali menyolokkan headset dan memilih lagu, dan diluar mulai
hujan lagi. Lagu sudah diputar. Seharusnya dengan cuaca seperti ini tidur
adalah hal yang sangat mudah, tapi pusing masih mengganggu ku. Sepertinya aku
akan demam. Maka aku hanya mendengarkan lagu sambil bersandar dan menatap ke
luar jendela, seperti video
clip lagu-lagu cinta.
Pikiranku mengolah kembali cerita bapak travel tadi. Jika ada
orang yang sama membeli tiket travel dan di cancel, masa berulang
hingga 3 kali? Dan tidak mencoba menghubungi pool
travel-nya untuk mengkonfirmasi? Aneh juga, dan menghabiskan uang tentunya.
Mendadak jadi kesal juga sama petugas travel yang tidak mengkonfirmasi dulu
penumpang yang naik, kan kurang professional. Tapi setidaknya bapak manajer pool Purwakarta tadi orang yang baik,
mungkin dia bisa melaporkan kejadian kayak gini agar tidak terulang kembali.
Pikiranku melayang, sembari melihat lampu-lampu jalan yang melintas cepat
menyinari rintik hujan yang kembali deras. Tiba-tiba aku merasa dingin. Ada
jendela yang terbuka? Atau AC nya terlalu tinggi nyalanya? Ada wangi
yang semerbak memenuhi mobil. Mendadak tanganku yang tergeletak di samping
tubuhku terasa dingin sekali, membeku, dan berat. Aku menoleh.
Di sebelahku, duduk perempuan cantik sekali, ia menangis, sedang tangan dinginnya erat menggenggam tanganku. Rambut dan
bajunya basah, perlahan ia menoleh ke arahku, tersenyum, lalu bertanya, “Hai
Widya, nama kita sama, ya?”.
Aku tersentak terbangun. Kepala ku berat sekali, dan perempuan di
sebelahku ikut kaget juga. “Bisa-bisanya lo tidur pas lagi kelas, wid!”
*Based on true event and story*