Namanya Sarmin.
Ia sudah resmi menjadi
orang gila di kampung daun sejak 2005. Sarmin, yang dulu dikenal sebagai pemuda
tampan semi berandalan, sekarang hilir mudik dari kidul ke kaler kampung
sembari bermonolog ria sepanjang jalan, diselingi oleh cengir yang kadang
berubah menjadi tawa terbahak-bahak, atau cekikikan, yang mana dirasa pas
dengan suasana hatinya saja. Warga kampung daun sudah mafhum dengan Sarmin,
meski kadang ia berkeliling kampung dengan hanya bercelana tanpa baju, sering
juga kebalikannya. Meski begitu, Sarmin adalah orang gila yang santun. Selalu
salim kepada yang lebih tua dan menyapa ramah mereka yang lebih muda,
tetap sambil bermonolog tentunya. Sudah seperti itulah Sarmin sejak ia masih
waras pun. Sarmin disayangi warga kampung. Makanya, walau gila, Sarmin tidak
kurang makanan dan pakaian, apalagi kurang hiburan. Sarmin, dalam beberapa hal,
malah lebih kaya dari pada sarjana muda yang pengangguran. Yang miskin hanyalah
jalan nalarnya saja.
Sarmin tiap hari selalu tampil
berbeda. Baik rute perjalanan, baju atau celana yang ia kenakan, tema monolog,
atau pun tinggi rendah nada cekikikannya. Tapi ada satu yang tidak berubah dari
Sarmin. Ia selalu terlihat memegang beberapa carik kertas yang telah dicabik
membentuk persegi sama sisi. Kertas-kertas yang berasal dari koran bekas,
ataupun sisa-sisa selebaran kampanye yang terbuang, sepertinya telah dipungut
oleh Sarmin saban hari. Petang hingga malam, Sarmin akan terlihat duduk anteng di
sudut-sudut desa, melipat-lipat kertas bekas tadi menjadi seekor burung kecil.
Burung bangau, dengan ekor yang lurus dan sayap yang terbentang.
Tentu saja para warga
pusing, ibu-ibu bergosip, bapak-bapak berteori, dan anak-anak bernyanyi
mengejek. Ibu-ibu bilang, Sarmin sebenarnya pura-pura gila, cuma akting agar
dapat makan dan baju gratis tiap hari. Bapak-bapak berteori, Sarmin gila karena
ngelmu, dan burung bangau kertas itu
adalah bentuk sesembahan, syarat, sajen, tetek bengek dunia ilmu hitam. Dan
anak-anak tetap berlarian dalam tawa sambil bernyanyi "burung Sarmin gila, gila burung Sarmin, kalau tidak gila, bukan
burung Sarmin".
Sarmin memang gila, itu otentik.
Semua dokter dan dukun dalam radius 100 km dari kampung daun telah sepakat
dalam hal ini. Dan Sarmin tidak ngelmu
apapun, selain sebatas ilmu sosial sampai SMA kelas 2. Dan masalah burung Sarmin,
tentu saja burungnya gila, karena kalau bukan, ya pasti bukan burung Sarmin.
Kertas-kertas yang telah dilipatnya
dikumpulkan di dalam kantong plastik besar berwarna hitam yang telah cabik sana
dan sini, bersatu dengan makanan, baju, dan sampah. Itulah harta Sarmin di
dunia ini. Meski alasan Sarmin menekuni seni origami itu masih menjadi misteri,
toh Sarmin tetap warga kampung daun. Ia tetap memberi warna kepada suasana kampung
yang semakin moderen itu.
Entah siapa yang memulai, kelakuan Sarmin mulai direkam untuk di sebarkan di dunia maya, viral, kalau istilah zaman sekarang. Tujuannya tak lain untuk menambah viewer sang penyebar, berharap nebeng terkenal dari keanehan Sarmin. Sarmin, sang orang gila berhobi itupun mendapat perhatian khalayak dari luar kampung. Foto-foto dan video di internet, sebuah artikel di koran, bahkan sebuah liputan untuk pojok hiburan dari sebuah stasiun tv lokal pun pernah memuat gambar dan video sarmin dengan burungnya. Burung bangau kertas.
Semenjak itu banyak yang
menghampiri Sarmin, rata-rata adalah orang dari luar kampung untuk melihat
sendiri bagaimana Sarmin burung beraksi menjalani hobi. Ya, Sarmin burung
adalah nama baru untuknya. Wajah-wajah yang tak dikenal membuat Sarmin takut. Ia
sering berteriak tidak seramah biasanya kepada wajah-wajah baru itu. Sekali
waktu, Sarmin melempar seorang fansnya dengan seekor bangau yang baru selesai
dibuatnya, lalu berlari pergi sambil bermonolog setengah berteriak. Yang
dilempar malah girang, menjadikan burung Sarimin sebagai azimat yang pasti
mandraguna.
Seminggu setelah burung Sarmin
menjadi trending topic, Sarmin
hilang. Ia tak lagi terlihat hilir mudik di jalanan kampung. Monolognya tak
lagi terdengar di depan warung-warung. Burungnya tak lagi terlihat menggantung,
juga bangaunya. Para warga perlahan merasa kehilangan. Ada yang kurang
dari jalannya hari di kampung daun tanpa kehadiran Sarimin. Seorang demi
seorang mulai mencari Sarimin, hingga rombongan pencari menjadi kian besar
dibawah pimpinan Pangkalan Komando Strategis Pertahanan Sipil, dengan
legalisasi dari Surat Perintah Sekarmadji Mardjan, sang kuwu kampung daun. Anehnya,
tak seorang pun fans Sarmin yang menjadi anggota search and rescue Sarmin burung.
Akhirnya, pada suatu hari yang
biasa*, Sarmin ditemukan telah membuntang di kolong jembatan perbatasan desa
dengan posisi terlentang berbantalkan kresek hitam harta berharganya, dengan
tangan yang menggenggam seekor bangau yang belum selesai terlipat.
Di antara bau busuk mayat dan bau
busuk Sarmin yang memang kurang disiplin menjaga kebersihan badan, warga
menemukan sebuah dompet kulit usang yang tipis dan jelek. Di dalamnya tak ada
apa-apa selain terselip selembar foto seorang gadis ayu, dan secarik sobekan
koran lama berisi sebuah tajuk hiburan edisi minggu yang berjudul: Cara Mudah Menjadi Bahagia dengan Seni Lipat
Origami.
Burung bangau berdesakkan di dalam
kantong plastik hitam milik Sarmin.
Sekarang warga kampung tahu alasan burung bangau Sarmin.
Sarmin mati dalam senyum.
Sarmin mati dalam senyum.
JTR,
31 Des '16
*Soe
Hok Gie – Catatan Seorang Demonstran, 1983