Kulihat ia menulis sesuatu di note ponselnya. Apa yang ditulis aku tak tau. Tapi yang jelas, rautnya merona merah. Astaga, hangatnya terasa hingga ke atas sini! Begitu senang rupanya dia. Syukurlah, aku ikut bahagia.
Sepertinya selesai sudah catatannya. Diletakkannya ponsel di depan tv, lalu ia melangkah keluar kamar, masih dengan wajah yg merona. Pintu kamar ditutup, kamar menjadi hening dengan sisa-sisa kehangatan dari emosinya, suara kecil dari rintik gerimis merambat terdengar. Ia meletakkan ponselnya diatas sebuah novel, sebangsaku. Kupanggil novel itu, kutanyakan, bisakah kau lihat catatan yg baru saja di tulis di ponsel itu? Setelah mengiyakan, kuminta si novel membacakan. Bacakan yang kencang untuk semua benda di kamar, pintaku. Lalu ia mulai membacakan suatu cerita, memecah sunyi kamar, diantara kehangatan emosi yg tersisa, dibalut suara rintik gerimis sore yg kian mengeras:
Mimpi sore ini:
Berlatar sore, ketika aku dan temanku berplesir ke kosnya, seperti biasa rupa. Dan ketika hendak pulang, aku ajak dia cari makan, karena setelah ratusan berkisah dan cerita membuat kami lupa pada urusan perut. Setelah kami bertiga makan di luar, kami mulai melangkah pulang, yang anehnya saat itu, kami berjalan searah, meskipun kosku dan kosnya berbeda, dan lebih aneh lagi, temanku yang seorang menghilang. Dasar alam mimpi.
Kami berdua, aku dan dia, berjalan pelan menikmati sore yang gelap karna langitnya sudah hamil tua. Di jalan bercengkerama seperti biasa, ia pun cantik seperti biasa: tertawa, mencubit, memukul, sedang badan makin merapat, mungkin juga karna dorongan angin dingin kala itu. Lalu setelah sebuah tawa untuk suatu canda berakhir, ada suatu hening canggung yg tercipta, dimana senyum masih nyisa di tiap-tiap bibir yang mengatup rapat.
Hening pecah, ketika ia, oh Tuhan, dengan merdunya melantunkan lagu. Dia menyanyi! Ia menyanyi dengan suaranya yg lembut nan merdu itu, bernyanyi sebuah lagu cinta yang ceria, ah sial, tak mampu kuingat judulnya. Mendadak aku senyum lebih lebar, setelah mendengarkan ia melantunkan beberapa bait, aku ikut menyanyi pula! Ini hanya karna terbawa suasana, sedang nyanyiku bukanlah sama sekali tandingan suaranya. Kami bernyanyi berdua, berduet bersama, dimana setelah beberapa bait kunyanyikan, atas kuasa suatu alam yang bukan aku penguasanya, tanganku naik ke pundaknya, mendekap, atau memeluk? Entahlah, yang pasti aku lingkarkan sebelah lenganku, yg sedari tadi beku disampingnya, ke belakang lehernya untuk nyangkut di pundaknya. Tampak jelas kalau ia kaget, tapi tak ia hentikan dendangnya. Sekilas kutangkap senyum dibibirnya. Aih, tak berani ku pandang dengan lantang.
Lalu langit mendadak pecah: hujan turun! Gerimis deras menerjuni langit. Masih dalam pelukku, ku ajak ia berlari. Ia mengangguk lucu. Masih dalam pelukku, kami berlari, sembari tertawa, lalu menyanyi. Hah, tak berasa sedikitpun dingin di badan. Yang ada malah rasa hangat yang aneh yang menjalar sampai-sampai ke bulu tengkuk. Kami berlari dan bernyanyi hingga tiba di tempatku, dimana saat itu barulah kulepas pelukku dengan enggan. Lalu bersama berhadap tatap dalam senyum, dalam sunyi.
Jantung keparat. Aku terbangun karena debar jantung yang telah tak tentu ritmenya. Aku terbangun dari sebuah dunia yg mungkin hanyalah sebuah harapan tertumpuk, memupuk menumbuhkan bualan. Tapi aku ingin sekali melanjutkan mimpi ini. Menjadi racunkah atau bukan mimpi ini nanti mengarah, aku tak peduli.
Keluar kutukan yang bertuding diri sendiri. Aku malu.