“Kalau bukan karena ibuku,
mungkin aku lebih memilih mati”
“Akhir-akhir ini, kalimat semacam
itu dengan segala variasinya terus bergaung di telinga bagian dalam, macam kutu
yang telah bersarang jauh di gendang telinga. Aku tak tahu kenapa, padahal
kupikir hidupku baik-baik saja. Apakah menjadi tiada sebegitu menariknya
sehingga terus muncul seperti ide brilian para pemikir-pemikir masyhur, yang
terus bergema jika tidak terjewantahkan menjadi kerja praktek yang nyata. Masalahnya,
jika suara ini ku ejawantahkan, aku mati. Selesai. Tamat. Nah di sini letak
anehnya, aku tidak mau mati! Aneh kan? Ide itu membawa-bawa nama ibuku sebagai
kalimat sebab; “kalau bukan karena ibuku,..”. Aku sangat menyayangi ibuku, dan
aku haqul yakin, jika aku mati
sekarang, ia tentu akan sangat sedih. Wong
aku sakit saja dia cemas bukan main. Dan juga, orang tua yang harus mengubur anaknya
sendiri adalah suatu hal yang ganjil. Membayangkannya harus hidup sendiri di
masa senja nya membuatku sesak. Tapi kukira itu hanya alasan yang kupaksakan
untuk masuk ke dalam kalimat bangsat itu. Karena kalau tidak, kalimatnya hanya
berupa; “mungkin aku lebih memilih mati”, tanpa ada pilihan lain di dalamnya
yang berarti: ya aku memang memilih mati. Tapi kan aku tak mau mati! Bangsat bukan?
Hidupku berjalan baik,
meskipun tidak meriah. Aku lahir di tengah keluarga yang menurutku ahaagia, berkecukupan,
lengkap, sedikit berbeda dengan keluarga orang tapi kupikir malah itu menjadi
poin plus bagi ku. Aku tumbuh bahagia, meski zonder prestasi. Hidupku lempeng
saja meski banyak peristiwa-peristiwa yang patut dikenang walaupun tanpa
bumbu-bumbu yang dapat dijadikan cerita sebuah buku. Aku lulusan universitas
terpandang, meskipun belum bekerja. Keaadaan fisikku cukup lengkap, tak ada yang
perlu dikeluhkan. Poinku adalah, hidupku lebih manis dari sebgian besar orang
di dunia. Tapi kenapa kalimat keparat itu bergaung? Apa yang kuharapkan dari
mati?
Memang, beberapa waktu
terakhir aku merasa lelah, meski tidak melakukan apa-apa, lah wong aku
pengangguran kok. Sumber kelelahanku samar-samar, kadang kupikir karena aku
terlalu overthinking terhadap sesuatu. Kadang kupikir mungkin karena aku selalu
berusaha menjadi oraang lain demi mendapat perhatiaan. Dan kurasa mungkin juga
karena aku selalu membanding-bandingkan hidupku dengan hidup orang lain. Karena
zaman sekarang, semua orang serba pamer hidup, dan mau tidak mau kita terlibat
dalam arus pameran itu. Mungkin kupikir, itulah kenapa aku kerap berpikir mati.
Karena jika mati, kita tidak perlu memikirkan semua itu lagi. Sebuah solusi
yaang gampang, sebetulnya. Yang bikin sulit adalah: aku tidak mau mati! Astaga,
jadi orang kok susah amat. Semua serba dilema, serba paradoks.
Kupikir akulah yang
membuat hidupku susah, bukan hidup itu sendiri. Selalu ingin punya arti, selalu
ingin punya posisi, selalu melakukan sesuatu dengan label ikhlas padahal mah cuma memuaskan ego pribadi. Mungkin dalam
mati aku berharap diakui, tapi aku takut jika matiku ternyata tidak diakui, aku
jadi tidak bisa konfirmasi! Bukankah nyeleneh?! Dasar manusia milenial. Terus-menerus
mengeluh tentang hidup yang tak sesuai cita-cita. Merasa berpikir luas padahal
berpandangan sempit. Ah, kukira itulah yang membuatku lelah. Serba lelah
padahal tidak bekerja, memang tidak berguna. Kadang kupikir lebih bagus kiamat
saja, biar tidak susah-susah memikirkan masa depan, ya ngga? Bagaimana menurutmu?”
“Eh? Sorryyy aku lagi komenin IG,
tadi kamu cerita apa?”
bdg, 28 Apr' 2017