"Karno mati !?" Agam berteriak setengah
tercekik. Mendadak bebulu halus di tangannya berdiri, dan kulitnya menebal berbintik menutupi pori-pori. Agam lalu lemas melisut di lantai, bersimpuh.
"Kapan ?", tanya Agam tanpa menatap orang yang sedari tadi masih tegak saja di hadapannya.
"Kapan ?", tanya Agam tanpa menatap orang yang sedari tadi masih tegak saja di hadapannya.
"Tadi pagi, aku baru terima
kabarnya kira-kira bakda zuhur tadi. Gam, kita semua sedih, tapi ini tentu
sudah takdir Tuhan, Gam".
Takdir? Agam merasa tak asing dengan kata itu. Tak terpikir mungkin bahwa kata yang seharusnya baik itu sekarang diterimanya dengan buruk.
Takdir? Agam merasa tak asing dengan kata itu. Tak terpikir mungkin bahwa kata yang seharusnya baik itu sekarang diterimanya dengan buruk.
"Ya,
takdir", sahut Agam sembari bangkit perlahan dengan berpegang pada knop
pintu tempat ia bersandar lemas. Lalu ia memutar knop untuk masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu
sambil terus memunggunginya, tak peduli sang pengabar tadi berteriak memanggil namanya di balik pintu
sana.
Agam lemas kembali ketika mengaung lagi di kepalanya kata-kata "Karno" berpasangan dengan "mati". Dan kembali merosot ke lantai, ia menutup mukanya dengan kedua tangan, dan menangis, terlebih ketika wajah Karno terngiang dalam gelapnya pejaman mata. Karno adalah sahabatnya dari kecil, dan kemarin, Karno meninju wajah Agam hingga darah meluber di bogemnya. Agam sekarang meraung, dan azan ashar mengisi rongga-rongga udara.
Agam lemas kembali ketika mengaung lagi di kepalanya kata-kata "Karno" berpasangan dengan "mati". Dan kembali merosot ke lantai, ia menutup mukanya dengan kedua tangan, dan menangis, terlebih ketika wajah Karno terngiang dalam gelapnya pejaman mata. Karno adalah sahabatnya dari kecil, dan kemarin, Karno meninju wajah Agam hingga darah meluber di bogemnya. Agam sekarang meraung, dan azan ashar mengisi rongga-rongga udara.
************
"Anjing",
karno meludah, "aku berkawan sama binatang rupanya"
Bogemnya berlumuran darah yang menetes ke tanah kering lapangan bola. Dilihatnya kepalan itu, lalu dilapnya dengan baju.
Bogemnya berlumuran darah yang menetes ke tanah kering lapangan bola. Dilihatnya kepalan itu, lalu dilapnya dengan baju.
"Muncul
lah lagi kau di depanku, ku cabut rusuk kau", gumam Karno keras sembari melangkah pergi. Agam masih berbaring menentang terik siang, dengan
pelipis dan hidung yang banjir darah. Sebenarnya ia masih bisa bangkit untuk
membalas sekedar 2-3 pukulan, tetapi ia tertahan di tanah lapang itu karena ia
sadar, candanya telah melewati batas. Mengolok istri yang baru dikawini sahabatnya
itu keterlaluan, meski istrinya juga adalah teman mereka, bahkan juga pernah
berkasih dengan Agam. Tapi maaf kebapa sulit sekali meluncur dari mulut? Terhalang besarnya malu dan ego yang terlalu tinggi? Agam menatap langit yang siang itu bersih dari awan. Terik
matahari seperti punya bunyi: mendesing. Ia menggapai rumput kering di
jangkauan tanggannya yang ia lebarkan itu, digegamnya, lalu ditariknya hingga
tercabut dari akar. Lalu Agam bangkit terduduk, dilemparnya rumput
digenggamannya itu ke udara.
************
************
Azan
maghrib berkumandang, menarik agam keras-keras dari lamunan setengah mimpi itu.
Agam tersentak, dan menyeka air matanya. Nyeri di pelipisnya masih terasa,
nyeri yang kembali mengingatkannya atas sahabatnya yang telah mati, dan dirinya
yang memikul dosa yang amat berat tanpa sempat meminta maaf, dan tidak akan
lagi ada kesempatan sampai kapanpun karena Karno telah mati, mati! Agam
menangis lagi dan isaknya berduet aneh dengan dengungan azan. Lalu Agam berdiri
tiba-tiba, melangkah menuju sumur belakang rumah. Sesampainya di sumur ia
gamang, mencoba mengingat-ingat bagaimana tata cara berwudhu. Terakhir kali ia
berwudhu dengan benar waktu kelas 6 SD, saat ujian akhir mata pelajaran agama
islam. Setelah teringat olehnya, ia mula membasuh bagian tubuhnya, lalu
melangkah ke kamar dan mengeluarkan seperangkat alat sholat yang berdebu dari
laci pucuk almari, dan sembahyang maghrib. 3 rakaat diselesaikannya, lalu ia
tepekur, diam tanpa doa, malah yang ada kutuk serapah yang ditujukan untuk
dirinya sendiri. Agam kembali menangis, meskipun sekampung tahu bahwa Agam
bukanlah pemuda cengeng, malah ditakuti oleh warga karena kerap mabuk dan
berkelahi sejak dari SMA. Dan dalam tangis kesekian kalinya itulah ia
mengangkat tangan, berdoa dalam linangan air mata perkasanya itu. Doanya didominasi
oleh kata maaf, kepada Tuhan, ibunya, dan Karno. Untuk Karno, maaf ini diulangnya
sekian banyak. Entah karna dia tak hapal doa lain atau memang itulah doa yang
ia inginkan paling-paling. Ia terus mengucap maaf hingga azan isya menjelang.
Dan ia merasa maaf nya belum sampai kepada tujuan, maka ia kembali berwudhu dan
sholat isya, dimana setelahnya ia tepekur hingga subuh, dan bakda subuh ia
tepekur hingga zuhur. Terus begitu hingga tiga hari tanpa tidur, makan atau
minum, hanya sisa air wudhu yang tanpa sengaja
mengalir masuk ke kerongkongannya.
Pada
isya hari ke empat, dalam tepekurnya ia tertidur. Dalam tidurnya ia tak lagi
berada di kamarnya yang sumpek berbau rokok itu, tapi ia ada di depan SDN 04,
mantan sekolahnya dulu, menunggu ibunya menjemput. Ibunya telah terlihat di
pengkolan jalan, agam ingin berteriak memanggil beliau tapi suaranya hanya
sampai pada pangkal lidah. Ketika sudah dihadapan, ia sadar ibunya masihlah
muda, tidak seperti yang ia ingat. Ibu menggenggam tangan agam dengan lembut
dan mengangdengnya pulang.
"Ibu
dengar kau berkelahi lagi?". Agam diam.
"Dengan
siapa?". Agam diam.
“Bukannya
ia temanmu?”. Agam mengangguk.
"Kalau
begitu, berdamailah dengannya". Agam menunduk.
"Mau
kau berdamai dengannya nak?". Agam diam.
"Mau
kau bertemu dengannya, minta maaf?". Agam berteriak, matanya terbuka,
keringatnya membasuh dari kening hingga dada, dan nafasnya macam nafas kuda.
Agam kembali ingin menangis, tapi ditahannya itu mata air ketika ia sadar, ia
tidak lagi berada di kamarnya. Ia berada di sebuah jalan, “bukankah ini jalan gang
depan rumah?”, pikir Agam. Ia melangkah kedepan, kebingungan, menuju pos ronda
ujung gang yang di sana terlihat ada seseorang. Agam ingin sekali bertanya kepada orang
itu meskipun belum tahu apa pertanyaannya. Ia menyeret langkahnya hingga tiba
di hadapan pemuda berpeci-berbatik yang sedang mengepulkan asap itu. Mata Agam
membelalak sebesar-besarnya ketika raut pemuda itu terlihat jelas. Itu
Karno! Dan Karno pun berteriak sekencangya ketika melihat rupa Agam. "Agam! Kau masih hidup ?!"
Biru, 8 mei '16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar