Pages

Senin, 09 Februari 2015

Rindu untuk Annelies Mellema

Dia berada disana telah begitu lama. Berdiam diri tanpa ada sesosok makhluk pun yang tau keberadaannya, kecuali mungkin beberapa ekor kutu dan rayap. Terhimpit oleh lembar-lembar yang hampir sama tuanya: kertas-kertas yang mungkin telah ditulis sedari tahun 1890-an. 
Ia, selembar kertas tua, berdiam diri macam benda mati, padahal menyimpan jiwa yang begitu hebatnya. Ia, si kertas tua, menyimpan suatu bagian dari cinta diantara robeknya yang ketika terasa, nelangsa dibuatnya. 
Ia lah kertas tua bertuliskan rindu. Rindu seorang manusia. Rindu yang suci, rindu yang terbelenggu, rindu yang tertindas.
Hingga pada suatu masa, takdir jualah yang menghempasnya keluar dari sesak almari. Ia terjatuh, melayang, dan mendarat ditengah acuhnya lalu-lalang manusia. Ia yang tubuhnya telah rusak dan koyak, hingga hanya sebahagian potong saja tulisan padanya yang dapat terbaca, dengan sangat hina tergeletak nyana. Hingga akhirnya satu tangan meraih, sepasang mata membaca.
Setetes air mata mengakhiri cerita:


Anneliesku, apa kabarmu? 
Alangkah lamanya sudah kita dipisah. Lama pula tak kudapat kabar darimu. Kering sudah jiwaku sejak kau dirampas dariku. 
Ann, sehat kau? Banyak makanmu? Nyenyak tidurmu? Aku harap, sungguh berharap, orang-orang itu memperlakukanmu dengan baik dan selayaknya. 
Ann, bukan aku tak mau menyusulmu. Bukan Masmu tak peduli lagi denganmu. Bukan! Jangan pernah kau berpikir begitu. Sekalinya ada jalan bagiku untuk keluar dari sini, pastinya langsung kutuju dirimu.
Ann, berkabarlah padaku, pada mama. Ceritakanlah dirimu, agar dalam semu masih bisa kubelai rambut dan kulit pipimu. Agar bisa kusentuh ujung senyum mu. Entah kenapa, sekarang yang terbayang padaku adalah waktu kita pertama kali bertemu, di beranda rumah. Dan sewaktu kita berkuda di halaman belakang. Ingatkah kau akan itu, Ann? Aku yakin kau ingat. 
Ann, apakah kau rindu rumah? Rindu suara sunyi di ruang baca, atau suara sedikit riuh dari halaman belakang ketika pagi menyapa, pada sosok mama yang biasanya hilir mudik dari belakang ke muka.
Rindu kau, Ann?
 
Maka jadikanlah rindu itu sebagai bahan bakarmu, sebagai pelita tidurmu, sebagai selimutmu, agar kau bisa dengan afiat dan tegar menanti aku mengurai benang kusut ini.
Aku rindu kau, Ann ku, tunggulah aku menjemputmu pulang.






4 komentar: