Badai
Tuan telah berlalu
Salahkah
ku menuntut mesra?
Tiap
pagi menjelang
Kau
di sampingku
Ku
aman ada bersama mu
Diluar masih hujan deras. Angin dingin khas hujan sore
merangsek masuk melalui sela-sela teralis jendela yang kacanya sengaja
dibiarkan terbuka. Tepat di samping
jendela, di atas meja yang penuh dengan buku-buku, gelas kopi, dan alat-alat
tulis, ia membaringkan kepalanya di atas lengan yang dilipat disusun menjadi pembaringan empuk yang sederhana, sedang wajahnya terang disinari cahaya sore yang kelabu, dan
rambutnya diterpa cahaya dari sebuah laptop yang tebuka menyala. Dilayarnya, terbuka
sebuah tulisan tentang masa lalu dan masa depan, ditulisnya sendiri sebagai
pengingat untuk sebuah kehidupan yang ia rayakan. Seantero kamar yang
berdinding biru namun gelap tanpa cahaya lampu, hanya cahaya langit mendung meneduhkan mengisi ruang dan bebenda kamar, bergema lagu-lagu indah
tentang hidup dan kenangan. Baginya, kenangan adalah pisau bermata dua. Tentu
berhasil menimbulkan senyum dan tawa, tetapi bersamaan juga dengan sesak di
dada. Sesak untuk waktu-waktu yang hilang, dan tak 'kan bisa di ulang, sedang di
depan entah takdir apa yang akan memeluknya. Sesungguhnya ia takut, ia takut
kalau saja ia tak 'kan lagi bisa merayakan hidup seperti sekarang, merayakan
sepenuhnya dengan semua indera, mem-persetan-kan saja semua luka akibat jatuh
dan bangun diantara semua tawa.
Selamanya
Sampai kita tua
Sampai
jadi debu
Ku
di liang yang satu
Ku
di sebelahmu
Kepalanya masih berbantalkan lengan,
menghadap ke jendela, memandang setiap rintik yang dianugerahkan langit untuk
jiwa-jiwa yang mengharap dari doa-doa yang dipanjatkan. Ia pun juga begitu,
meski kadang terasa baginya doa-doa itu monoton, dan doanya yang paling jujur
adalah saat-saat ia berbaring diam seperti ini: doa-doa yang ia ucapkan tidak dengan bahasa apapun. Kenangan adalah pisau bermata dua. Dan ia sadar setiap
manusia ditakdirkan untuk hidup dengan berjalan di antara dua mata tersebut. Bahwa
nanti kita akan tersakiti itu adalah kepastian, dan yang tidak pasti hanyalah
sejauh mana kebahagiaan akan datang. Ia masih memandang keluar jendela, di
antara dinding-dinding biru dan alunan nada indah yang menggema. Tanpa alasan
yang mudah dijelaskan, sore ini ia remuk redam. Ia masih memandang ke luar
sana, di terpa cahaya kelabu langit sore yang menyingkap semua kenangan dan
harapan dengan cahaya mendung-nya. Hujan perlahan berhenti, berkurang, dan
hanya menyisakan dingin yang abu-abu, tetapi di tempat lain hujan baru saja
akan memulai lagi rintik sendu nya: di atas meja di sebelah jendela,
berbantalkan tangan yang terlipat, ia membaringkan kepalanya, meneteskan air
mata.
Badai
Puan telah berlalu
Salahkah
ku menuntut mesra?
Tiap
taufan menyerang
Kau
di sampingku
Kau
aman ada bersama ku
Biru, 16 Maret '16